Site icon Prokalteng

Keberhasilan Penguasa, Kegagalan Rakyat

Presiden Joko Widodo didampingi panglima TNI dan Kapolri saat membuka Nusantara TNI Fun Run 2024 di kawasan Ibu Kota Nusantara (IKN) kemarin (6/10). (VIDEO SETPRES)

DALAM formula kekuasaan, kekuasaan dinilai sukses jika penguasa tersebut berhasil mempertahankan masa kekuasaan sesuai dengan prosedur hukum dan politik yang juga dikuasainya.

Kemudian, hingga waktunya, penguasa tersebut harus berganti, seolah-olah juga sesuai dengan aturan dan hukum yang berlaku.

Itulah yang terjadi, bukan hanya 10 tahun terakhir, tapi bisa jadi bahkan 20 tahun terakhir, atau utamanya setelah kekuasaan Soeharto dihentikan dengan paksa.

Penguasa dinilai berhasil jika warganya bingung, kehidupan tambah payah, yang nempel dengan kekuasaan hidup mewah foya-foya. Sementara hampir semua warga hanya bisa berteriak-teriak di pinggiran dalam kecemasan dan ketidakpastian masa depan.

Sekali lagi, penguasa keren adalah ketika warganya berseteru sendiri sesama warga, tidak berdaya berhadapan dengan kekuasaan yang hebat tersebut.

Dapat dipahami bahwa semakin warga dalam keadaan kacau, tambah miskin, tambah turun mutu kehidupannya, hal sebaliknya terjadi bahwa kekuasaan berjalan semakin kuat.

Dalam konteks ini, walau kekuasaan Soeharto pernah kuat, tapi dari ilmu kekuasaan, dia gagal sebagai penguasa sukses. Memang, warga perlu waktu hingga 20 tahun lebih mengonsolidasikan dirinya untuk menghancurkan kekuasaan Soeharto. Waktu itu, walau agak terlambat, yang penting warga berhasil.

Sebaliknya, berbeda dengan kasus Gus Dur. Dari ilmu kekuasaan, Gus Dur bukanlah penguasa yang berhasil. Gus Dur itu orang berilmu tinggi yang tidak bakat jadi penguasa.

Karena kebesaran hatinya, dia membiarkan politik atas nama warga yang menguat. Walaupun Gus Dur adalah penguasa gagal, justru karena kegagalannya itu, beliau dipuja oleh warga yang berhasil menyelamatkan kekuasaannya yang gagal.

Sebenarnya, berdasar undang-undang, waktu yang tersedia untuk menjadikan penguasa atau warga yang sukses ada 5 tahun. Mungkin bukan waktu yang cukup lama untuk urusan politik kenegaraan. Penguasa yang cerdas itu, walaupun kelihatan bodoh, dengan cepat mengaktifkan kekuasaannya dengan cara memilih para menteri, yang bisa menghambat keberhasilan dan kemajuan warga.

Artinya, keberhasilan kekuasaan di lapis kedua adalah para penguasa yang berhasil membuat warganya sibuk administrasi, sibuk seremoni, sibuk berbagai kegiatan yang tidak berhubungan dengan kemajuan substansial, kemajuan peradaban, bahkan kemajuan keberanian moral. Jadi, semakin warga sibuk dengan tetek bengek tidak penting, maka semakin kelihatan berhasil para menteri itu.

Memang, sebagai implikasinya, ada dua kesibukan. Pertama, kesibukan warga untuk basa-basi struktural dan administratif. Kedua, kesibukan warga untuk bertahan hidup dicelah-celah politik menteri yang sukses; sibuk mencari makan, sibuk sikut-sikutan, sibuk mencela, dan sibuk memperlihatkan keberhasilan para menterinya.

Dalam dua kesibukan yang berbeda tersebut, warga kehilangan kecerdasannya untuk, seharusnya, mengaktifkan dan mengonsolidasikan dirinya agar para penguasa sebaiknya tidak perlu berhasil.

Dengan demikian, peristiwa kekuasaan Jokowi justru memperlihatkan keberhasilan atas kekuasaannya. Bahwa amanat dan mandat seorang presiden dalam dunia beradab agar warga (rakyat) menjadi lebih sejahtera, mendapat keadilan, hidup bebas dari ketakutan dan kecemasan, hidup dengan saling menghargai, dan bisa hidup bermartabat, itu soal lain. Itu bukan soal kekuasaan. Itu soal, bagaimana bangsa ini masih memiliki fantasi bernegara secara ideal.

Masalahnya, yang dihadapi warga adalah ilmu kekuasaan yang tidak untuk peradaban, tetapi untuk kekuasaan itu sendiri. Dalam situasi dan kondisi itu, warga juga perlu belajar menjadi warga yang berhasil. Perlu strategi bagaimana warga mengonsolidasikan dirinya agar mumpuni sebagai warga yang berhasil.

Pertama, memang warga aksesnya serba terbatas, dan serba bergantung teritorialisasi dan ekonominasi negara (dalam hal ini pemerintah yang berkuasa). Akan tetapi, paling tidak warga masih memiliki kesempatan, jika kompak, untuk tidak menyelebrasi kekuasaan-kekuasaan yang langsung menyentuh warga. Memang berat, karena sebagian warga justru menikmati keterbatasannya.

Kedua, memilih dan berkonsolidasi dengan pemimpin warga lokal yang diketahui pasti bisa dipercaya dan punya akses untuk bernegosiasi dengan penguasa pusat. Hal ini pun sangat sulit. Banyak pemimpin lokal yang pada mulanya bisa dipercaya, akhirnya, berhasil juga dirayu oleh para penguasa yang lebih tinggi untuk menikmati apa yang disebut sebagai keberhasilan kekuasaan. (*)

*) APRINUS SALAM, Pengajar di Pascasarjana FIB UGM

Exit mobile version