KETIKA sebagian besar umat Islam meramaikan momen halalbihalal dan bermaaf-maafan pada Hari Raya Idul Fitri 1444 H, kita dikejutkan dengan peristiwa penembakan di gedung pusat Majelis Ulama Indonesia (MUI) Selasa (2/5). Dua pegawai MUI menjadi korban luka dalam peristiwa tersebut. Pelakunya telah dinyatakan tewas.
Sempat muncul spekulasi peristiwa ini merupakan bentuk aksi terorisme. Namun, spekulasi itu telah ditepis dalam pernyataan Direktur Reserse Kriminal Umum (Dirreskrimum) Polda Metro Jaya Kombespol Hengki Haryadi bahwa aksi ini bukan tindakan terorisme dan pelaku tidak terafiliasi dengan jaringan teroris.
Jika bukan aksi terorisme, lalu apa yang menjadi motif pelaku penembakan? Dua surat pelaku yang telah beredar luas di media sosial bisa menjadi petunjuk awal. Surat pertama yang ditujukan kepada ketua MUI berisi dua hal penting. Pertama, permohonan pelaku untuk bertemu dengan ketua MUI. Kedua, seruan pelaku kepada ketua MUI untuk mempersatukan umat. Surat kedua ditujukan kepada Kapolda Metro Jaya yang bernada ancaman jika keinginan pelaku bertemu dengan ketua MUI tidak difasilitasi.
Mencermati isi surat tersebut, secara sosiologis, motif pelaku menunjukkan gejala milenarianisme. Karakteristik dasar milenarianisme adalah percaya terhadap hari kehancuran atau hari kiamat yang kian dekat dikaitkan dengan ketidakadilan dan hegemoni penguasa.
Milenarianisme umumnya berupa kelompok atau gerakan keagamaan, sosial, atau politik yang memiliki keyakinan tentang transformasi besar dalam masyarakat ke arah yang positif atau sebaliknya negatif (Howell, 2001; Bruinessen, 2007).
Dalam sejarah panjang negeri ini, gerakan milenarianisme telah berkali-kali muncul, tenggelam, dan muncul kembali. Al Makin (2017) menyebutkan, 600 gerakan milenarianisme pernah muncul di bumi Nusantara.
Dowson (2003) menyebutkan, ada tiga tipe milenarianisme. Pertama, penolakan dunia (world rejecting). Tipe ini berusaha mengubah dunia dengan semangat spiritualitas baru. Kedua, penerimaan dunia (world affirming). Tipe ini biasanya bersifat sinkretis. Bentuknya berupa layanan terapi penyembuhan. Ketiga, kompromi pada dunia (world accommodating) yang biasanya berupa kombinasi dari tipe pertama dan kedua.
Dalam kasus penembakan di MUI, pelaku tidak terikat dengan gerakan keagamaan, sosial, atau politik tertentu. Fenomena ini bisa menjadi varian baru dalam milenarianisme. Penulis menyebutnya dengan milenarianisme individual. Menariknya, meski tidak terkait dengan kelompok tertentu, pelaku memiliki karakter yang sama dengan gerakan milenarianisme pada umumnya. Setidaknya mirip tipe world rejecting.
Dalam isi surat pertama tersirat jelas kekecewaan pelaku terhadap kondisi umat yang tercerai-berai. Karena itu, dia ingin bertemu dengan ketua MUI untuk mengajak mempersatukan umat. Hal ini menurut pelaku adalah perintah dari Tuhan dan Rasul. Si pelaku mengaku sebagai wakil nabi. Tampak sekali pelaku mengalami keterasingan dari komunitasnya.
Karakter seperti ini sejalan dengan yang diuraikan Bryan Wilson (1973) dan Gregory Baum (1975). Menurut mereka, milenarianisme dan gerakan keagamaan baru muncul dari keterasingan dalam komunitas agama tertentu. Mereka muncul sebagai respons terhadap masalah-masalah sosial seperti keterpurukan ekonomi dan politik serta ketiadaan figur-figur teladan.
Dalam setiap kondisi sosial, ekonomi, politik, dan budaya yang buruk, milenarianisme akan selalu muncul. Seorang milenarianis biasanya menempatkan dirinya sebagi reformis, pemberontak terhadap status quo, dan penyelamat. Namun, dalam kasus di MUI, pelaku hanya memosisikan dirinya sebagai penyampai pesan, bukan penyelamat. Bahkan, dalam surat kedua, dia bersumpah siap mati jika pesan tersebut tidak tersampaikan kepada ketua MUI.
Fenomena milenarianisme individual ini mengingatkan penulis pada pengalaman dua bulan lalu saat bertemu dengan kawan lama. Dia seorang muslim yang taat dan hidup dalam keluarga religius. Kawan itu mengisahkan, suatu ketika dirinya menemukan anaknya yang masih kelas 2 SMA mengurung diri di kamar sampai beberapa hari dalam kondisi ketakutan. Setelah dilakukan pendekatan, akhirnya sang anak mau keluar dan mengungkapkan masalahnya.
Betapa terkejutnya kawan tersebut. Rupanya, penyebab sang anak ketakutan adalah terpengaruh khotbah tentang hari kiamat dari seorang tokoh agama lain yang ditontonnya pada salah satu aplikasi media sosial. Khotbah berbahasa Inggris yang berdurasi kurang dari dua menit itu mampu menghipnosis sang anak hingga terpapar milenarianisme. Butuh waktu cukup lama untuk menyadarkan kembali anaknya.
Yang jelas, milenarianisme bukan kejahatan kemanusiaan. Berbeda dengan terorisme. Namun, milenarianisme berpotensi menjadi ancaman jika tidak mendapatkan ruang ekspresi. Kalaupun milenarianisme dianggap menyimpang dari agama resmi, tugas pemerintah, termasuk MUI, adalah memberikan edukasi dan persuasi, bukan mengkriminalisasi. (*)
*) MOHAMMAD AFFAN, Kandidat Doktor Studi Islam UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta, Dosen dan Peneliti di Centre for Social and Religious Studies (CenSoRS) STAI Darul Ulum