31.7 C
Jakarta
Saturday, April 27, 2024

Ormas Perempuan dalam Pusaran Pemilu

SETIAP hajatan demokrasi lima tahunan, perempuan diyakini menjadi ceruk pendulang suara bagi kontestan pemilu. Jumlahnya yang besar membuat perempuan menjadi target yang sangat potensial. Berdasar daftar pemilih tetap (DPT) Pemilu 2024, pemilih perempuan berjumlah 102,58 juta jiwa. Lebih banyak dibanding pemilih laki-laki yang berjumlah 102,21 juta pemilih.

Sebagai pemilih potensial, keputusan politik perempuan cenderung masih dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya. Salah satunya adalah dinamika yang terjadi dalam organisasi kemasyarakatan (ormas) perempuan. Ke mana arah politik ormas perempuan memiliki pengaruh yang cukup signifikan bagi pilihan politik anggotanya.

Tidak hanya itu, ormas perempuan juga bisa menjadi jembatan penghubung antara partai politik dan masyarakat perempuan. Baik sebagai pendulang suara dalam pemilu maupun sebagai candradimuka perekrutan kandidat peserta pemilu. Ormas perempuan menjadi tempat pendadaran kapasitas kepemimpinan para perempuan.

Dari 437 ormas perempuan yang tercatat di Kementerian Dalam Negeri, ada beberapa ormas perempuan yang sangat potensial memengaruhi keputusan politik perempuan di Indonesia. Di antaranya Muslimat, Fatayat, Aisyiyah, dan Nasyiatul Aisyiyah. Ormas-ormas perempuan itu menjadi sayap perempuan dari organisasi Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.

Hal ini tentu tidak berlebihan, apalagi ormas perempuan ini memiliki anggota dengan jumlah jutaan orang yang menyebar hingga ke akar rumput. Ormas perempuan ini sudah berusia matang dan mempunyai program serta struktur kaderisasi berjenjang yang sistematis. Serta telah mampu melahirkan perempuan-perempuan hebat yang sangat potensial.

 

Peran Ormas Perempuan

Oleh sebab itu, selama proses pemilihan umum, ormas perempuan mempunyai peran besar dalam memastikan pemilu berjalan dengan adil, demokratis, transparan, dan mencerminkan prinsip-prinsip kesetaraan gender. Di antara peran itu adalah, pertama, peran memberikan pendidikan politik bagi para pemilih perempuan, terutama yang menjadi kadernya.

Baca Juga :  Memberantas Kekerasan Guru dalam Pendidikan

Kampanye ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran perempuan akan pentingnya partisipasi dalam proses pemilihan umum. Membuka wawasan akan hak-hak politik perempuan yang berorientasi kesetaraan gender. Serta memastikan bahwa perempuan memahami peran dan hak-hak mereka dalam proses demokrasi

Peran ini sangat urgen karena berdasar data KPU pada Pemilu 2019 yang lalu, jumlah pemilih perempuan sekitar 70,5 juta jiwa atau sekitar 49,73 persen dari total pemilih di Indonesia. Hal itu menunjukkan bahwa jumlah pemilih perempuan mempunyai peran besar dalam menentukan hasil pemilihan umum.

Di sisi lain, jumlah pemilih perempuan yang hampir mencapai separo pemilih ini ternyata masih menghadapi beberapa tantangan. Di antaranya adanya kesenjangan gender dalam akses informasi dan partisipasi politik. Selain itu, sistem patriarki yang terjadi dalam lingkup keluarga serta tekanan sosial sangat memengaruhi pengambilan keputusan para pemilih perempuan.

Peran kedua, ormas perempuan dapat memainkan peran pengawasan atas berlangsungnya tahapan pemilihan umum yang penuh integritas. Dengan memastikan proses pemilu berjalan sesuai undang-undang. Mencakup pengawasan terhadap potensi kecurangan pemilu, pelanggaran hak-hak politik perempuan, serta potensi adanya intimidasi terhadap perempuan dalam pemilu

Persoalan intimidasi ini sangat mungkin terjadi pada perempuan, baik sebagai pemilih, sebagai kandidat perempuan, maupun sebagai penyelenggara pemilu. Sebagaimana yang pernah terjadi pada ketua Panwascam Genteng, Banyuwangi, pada 2020 lalu. Perempuan penyelenggara pemilu yang mengalami intimidasi verbal ketika menjalankan tugas sebagai pengawas pemilu pada pilkada yang lalu.

Peran ketiga, ormas perempuan dapat memainkan peran perlindungan dan advokasi terhadap kekerasan politik berbasis gender. Dengan melakukan pemantauan serta pelaporan atas insiden kekerasan terhadap pemilih, kandidat maupun penyelenggara pemilu perempuan, serta mendorong perlindungan hukum bagi perempuan selama proses pemilihan umum berlangsung.

Baca Juga :  Media 'Flashcard' dalam Pembelajaran Bahasa Inggris untuk Anak Berkebutuhan Khusus

Hal itu penting dilakukan. Sebab, sering kali muncul kekerasan berbasis gender dalam pemilu, baik fisik maupun nonfisik. Seperti yang saat ini marak adalah pelecehan dan kekerasan online yang ditujukan untuk melemahkan keterlibatan perempuan dalam pemilu. Ada juga kasus pemecatan caleg perempuan dan intimidasi terhadap caleg perempuan.

Peran keempat, memberikan pendampingan dan dukungan terhadap perempuan yang terlibat dalam politik, terutama yang menjadi kader ormas perempuan. Peran tersebut dilakukan melalui pengembangan kapasitas dan pelatihan, untuk menguatkan keterampilan leadership dan komunikasi publik yang efektif. Sehingga perempuan dapat berkontribusi maksimal dalam politik praktis.

Semua peran ormas perempuan di atas menemukan relevansinya selama proses pemilu. Karena pemilih perempuan berjumlah lebih banyak daripada pemilih laki-laki. Ormas perempuan harus menjadi garda terdepan dalam memastikan suara perempuan diakui dan dihormati. Melalui pengawasan yang cermat, advokasi yang gigih, dan upaya pemberdayaan yang masif dan berkelanjutan.

Di titik ini, ormas perempuan harus menjadi agen perubahan dalam menciptakan demokrasi yang lebih inklusif. Bisa lebih mengukuhkan lagi kesetaraan gender di berbagai bidang. Mendorong perempuan bisa lebih berdaya dan mampu memberdayakan orang lain. Membuat perempuan sanggup memanusiakan dirinya dan memanusiakan orang lain.

Oleh sebab itu, keberhasilan sesungguhnya Pemilu 2024 dapat tercapai jika setiap warga negara, tanpa memandang gender, merasakan dampak positif dari proses pemilu. Tidak sekadar dampak yang sifatnya simbolis semata. Akan tetapi terciptanya ruang demokrasi yang egaliter, inklusif, dan partisipatif bagi seluruh warga bangsa. (*)

*) Ainna Amalia F.N, Akademisi, Peneliti, dan Pengurus Wilayah Fatayat NU Jawa Timur

SETIAP hajatan demokrasi lima tahunan, perempuan diyakini menjadi ceruk pendulang suara bagi kontestan pemilu. Jumlahnya yang besar membuat perempuan menjadi target yang sangat potensial. Berdasar daftar pemilih tetap (DPT) Pemilu 2024, pemilih perempuan berjumlah 102,58 juta jiwa. Lebih banyak dibanding pemilih laki-laki yang berjumlah 102,21 juta pemilih.

Sebagai pemilih potensial, keputusan politik perempuan cenderung masih dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya. Salah satunya adalah dinamika yang terjadi dalam organisasi kemasyarakatan (ormas) perempuan. Ke mana arah politik ormas perempuan memiliki pengaruh yang cukup signifikan bagi pilihan politik anggotanya.

Tidak hanya itu, ormas perempuan juga bisa menjadi jembatan penghubung antara partai politik dan masyarakat perempuan. Baik sebagai pendulang suara dalam pemilu maupun sebagai candradimuka perekrutan kandidat peserta pemilu. Ormas perempuan menjadi tempat pendadaran kapasitas kepemimpinan para perempuan.

Dari 437 ormas perempuan yang tercatat di Kementerian Dalam Negeri, ada beberapa ormas perempuan yang sangat potensial memengaruhi keputusan politik perempuan di Indonesia. Di antaranya Muslimat, Fatayat, Aisyiyah, dan Nasyiatul Aisyiyah. Ormas-ormas perempuan itu menjadi sayap perempuan dari organisasi Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.

Hal ini tentu tidak berlebihan, apalagi ormas perempuan ini memiliki anggota dengan jumlah jutaan orang yang menyebar hingga ke akar rumput. Ormas perempuan ini sudah berusia matang dan mempunyai program serta struktur kaderisasi berjenjang yang sistematis. Serta telah mampu melahirkan perempuan-perempuan hebat yang sangat potensial.

 

Peran Ormas Perempuan

Oleh sebab itu, selama proses pemilihan umum, ormas perempuan mempunyai peran besar dalam memastikan pemilu berjalan dengan adil, demokratis, transparan, dan mencerminkan prinsip-prinsip kesetaraan gender. Di antara peran itu adalah, pertama, peran memberikan pendidikan politik bagi para pemilih perempuan, terutama yang menjadi kadernya.

Baca Juga :  Memberantas Kekerasan Guru dalam Pendidikan

Kampanye ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran perempuan akan pentingnya partisipasi dalam proses pemilihan umum. Membuka wawasan akan hak-hak politik perempuan yang berorientasi kesetaraan gender. Serta memastikan bahwa perempuan memahami peran dan hak-hak mereka dalam proses demokrasi

Peran ini sangat urgen karena berdasar data KPU pada Pemilu 2019 yang lalu, jumlah pemilih perempuan sekitar 70,5 juta jiwa atau sekitar 49,73 persen dari total pemilih di Indonesia. Hal itu menunjukkan bahwa jumlah pemilih perempuan mempunyai peran besar dalam menentukan hasil pemilihan umum.

Di sisi lain, jumlah pemilih perempuan yang hampir mencapai separo pemilih ini ternyata masih menghadapi beberapa tantangan. Di antaranya adanya kesenjangan gender dalam akses informasi dan partisipasi politik. Selain itu, sistem patriarki yang terjadi dalam lingkup keluarga serta tekanan sosial sangat memengaruhi pengambilan keputusan para pemilih perempuan.

Peran kedua, ormas perempuan dapat memainkan peran pengawasan atas berlangsungnya tahapan pemilihan umum yang penuh integritas. Dengan memastikan proses pemilu berjalan sesuai undang-undang. Mencakup pengawasan terhadap potensi kecurangan pemilu, pelanggaran hak-hak politik perempuan, serta potensi adanya intimidasi terhadap perempuan dalam pemilu

Persoalan intimidasi ini sangat mungkin terjadi pada perempuan, baik sebagai pemilih, sebagai kandidat perempuan, maupun sebagai penyelenggara pemilu. Sebagaimana yang pernah terjadi pada ketua Panwascam Genteng, Banyuwangi, pada 2020 lalu. Perempuan penyelenggara pemilu yang mengalami intimidasi verbal ketika menjalankan tugas sebagai pengawas pemilu pada pilkada yang lalu.

Peran ketiga, ormas perempuan dapat memainkan peran perlindungan dan advokasi terhadap kekerasan politik berbasis gender. Dengan melakukan pemantauan serta pelaporan atas insiden kekerasan terhadap pemilih, kandidat maupun penyelenggara pemilu perempuan, serta mendorong perlindungan hukum bagi perempuan selama proses pemilihan umum berlangsung.

Baca Juga :  Media 'Flashcard' dalam Pembelajaran Bahasa Inggris untuk Anak Berkebutuhan Khusus

Hal itu penting dilakukan. Sebab, sering kali muncul kekerasan berbasis gender dalam pemilu, baik fisik maupun nonfisik. Seperti yang saat ini marak adalah pelecehan dan kekerasan online yang ditujukan untuk melemahkan keterlibatan perempuan dalam pemilu. Ada juga kasus pemecatan caleg perempuan dan intimidasi terhadap caleg perempuan.

Peran keempat, memberikan pendampingan dan dukungan terhadap perempuan yang terlibat dalam politik, terutama yang menjadi kader ormas perempuan. Peran tersebut dilakukan melalui pengembangan kapasitas dan pelatihan, untuk menguatkan keterampilan leadership dan komunikasi publik yang efektif. Sehingga perempuan dapat berkontribusi maksimal dalam politik praktis.

Semua peran ormas perempuan di atas menemukan relevansinya selama proses pemilu. Karena pemilih perempuan berjumlah lebih banyak daripada pemilih laki-laki. Ormas perempuan harus menjadi garda terdepan dalam memastikan suara perempuan diakui dan dihormati. Melalui pengawasan yang cermat, advokasi yang gigih, dan upaya pemberdayaan yang masif dan berkelanjutan.

Di titik ini, ormas perempuan harus menjadi agen perubahan dalam menciptakan demokrasi yang lebih inklusif. Bisa lebih mengukuhkan lagi kesetaraan gender di berbagai bidang. Mendorong perempuan bisa lebih berdaya dan mampu memberdayakan orang lain. Membuat perempuan sanggup memanusiakan dirinya dan memanusiakan orang lain.

Oleh sebab itu, keberhasilan sesungguhnya Pemilu 2024 dapat tercapai jika setiap warga negara, tanpa memandang gender, merasakan dampak positif dari proses pemilu. Tidak sekadar dampak yang sifatnya simbolis semata. Akan tetapi terciptanya ruang demokrasi yang egaliter, inklusif, dan partisipatif bagi seluruh warga bangsa. (*)

*) Ainna Amalia F.N, Akademisi, Peneliti, dan Pengurus Wilayah Fatayat NU Jawa Timur

Terpopuler

Artikel Terbaru