PERKEMBANGAN teknologi digital yang begitu pesat telah mengubah gaya hidup dan cara bertindak manusia sehari-hari. Digitalisasi dan transformasi digital telah mendorong berbagai sistem yang ada menjadi lebih efisien, mudah, dan transparan. Transformasi itu bisa dilihat misalnya dalam interaksi jual beli, kegiatan ekonomi, maupun aktivitas pendidikan, yang berubah dari dunia nyata ke dunia maya.
Pemilihan umum (pemilu) di Indonesia juga telah mengadopsi dan menggunakan teknologi informasi untuk mempermudah kerja-kerja di lapangan. Salah satu bentuk teknologi yang digunakan adalah electronic recapitulation atau e-rekap, yaitu tahapan rekapitulasi suara setelah proses pemungutan suara. E-rekap yang dikenal dengan sistem penghitungan suara atau situng digunakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada Pemilu 2019 dan Pilkada 2020.
Namun, e-rekap ini dalam praktiknya belum bisa menggantikan rekapitulasi suara berjenjang manual yang menjadi acuan hasil pemilu. Beberapa kendala e-rekap di antaranya kesiapan sumber daya manusia, infrastruktur digital/internet yang belum merata (kesenjangan infrastruktur digital), dan belum menjadi kesepakatan politik peserta pemilu. Semua kendala itu membuat e-rekap hanya menjadi data pembanding perolehan suara updated yang bisa diakses publik.
Pemilih Generasi Digital
Demokrasi akan memiliki kualitas baik jika punya legitimasi kuat yang lahir dari partisipasi politik rakyat. Partisipasi akan terlihat ketika rakyat terlibat secara aktif dalam kehidupan berpolitik seperti pemilihan presiden, pemilihan kepala daerah (pilkada), atau pemilihan anggota DPRD (baik di pusat maupun di daerah). Dalam level terendah, partisipasi politik bisa dilihat dalam pemilihan kepala desa (pilkades).
Dalam konteks demokrasi Indonesia dewasa ini, kelompok anak-anak muda memiliki peran penting dan strategis dalam menentukan baik tidaknya ataupun tinggi rendahnya partisipasi pemilu. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan menyatakan pemuda sebagai warga negara Indonesia dalam rentang usia 16 hingga 30 tahun. Dalam perkembangannya, mereka kemudian disebut sebagai generasi Z dan generasi milenial. Dua kelompok itu juga sering diidentikkan dengan generasi digital. Sebab, dalam aktivitas sehari-hari, mereka selalu terhubung dengan teknologi digital seperti gadget, smartphone, dan internet.
Badan Pusat Statistik (BPS) mendefinisikan generasi Z sebagai penduduk yang lahir antara 1997 sampai 2012, sedangkan generasi milenial lahir antara 1981 hingga 1996. Berdasar hasil Sensus Penduduk 2020, dari 270,2 juta jiwa populasi Indonesia, sebanyak 53,81 persen di antaranya merupakan gabungan dari dua generasi tersebut. Perinciannya, sebanyak 27,94 persen generasi Z dan 25,87 persen generasi milenial.
Data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2020 menyebutkan, penetrasi internet di Indonesia saat ini telah menjangkau 196,7 juta orang. Laporan agensi pemasaran We Are Social dan platform manajemen media sosial Hootsuite pada Januari 2021 mengungkap bahwa sekitar 170 juta penduduk Indonesia aktif menggunakan media sosial.
Pengguna media sosial terbesar berada pada rentang usia 25 hingga 34 tahun yang masuk dalam generasi milenial dan Z. Laporan itu juga mengungkap bahwa rata-rata orang Indonesia menghabiskan 3 jam 14 menit tiap hari untuk mengakses media sosial. Aplikasi media sosial terpopuler yang digunakan secara berurutan adalah YouTube, WhatsApp, Instagram, Facebook, dan Twitter.
Fakta bahwa digitalisasi begitu cepat terjadi dan penggunaan media sosial yang didominasi generasi Z dan milenial yang juga merupakan pemilih terbesar dalam pemilu dan pilkada merupakan sebuah realitas empiris yang tak bisa diabaikan dalam demokrasi kita.
Digitalisasi Pemilu
Kecepatan digitalisasi dan pandemi yang mendorong transformasi dalam berbagai sektor semestinya turut mendorong digitalisasi pemilu dan demokrasi di Indonesia. Pelaksanaan e-rekap di Pemilu 2019 dan Pilkada 2020 bisa menjadi pintu masuk inovasi digitalisasi pemilu itu sendiri
Berdasar catatan Kemendagri dalam rentang 2013–2020, sedikitnya 1.572 desa di 23 kabupaten/kota di seluruh Indonesia telah melaksanakan pilkades dengan pemungutan suara secara elektronik atau e-voting. Selain efektif dan efisien, penggunaan e-voting dalam pilkades ternyata dapat mengeliminasi permasalahan KTP ganda, daftar pemilih tetap (DPT), serta surat suara rusak atau tidak sah.
Dalam skala global, hasil riset Lembaga Internasional untuk Demokrasi dan Pendampingan Pemilu (International IDEA), terdapat 106 negara yang telah menerapkan teknologi pemilu. Bentuknya seperti tabulasi perolehan suara, pendaftaran dan verifikasi pemilih, serta e-voting. Beberapa negara yang menggunakan mesin e-voting untuk pemilu nasional maupun lokal antara lain India, Filipina, Belgia, dan Brasil.
Namun, ada juga negara yang memilih kembali ke pemilu manual dan meninggalkan e-voting seperti Belanda dan Jerman. Salah satu alasannya adalah masalah security (keamanan) dan kelemahan sehingga mengakibatkan menurunnya kepercayaan pemilih (distrust). Di Indonesia, ide terkait pelaksanaan pemilihan elektronik atau e-voting pada Pemilu 2024 mulai diperbincangkan dalam level penyelenggara pemilu, pemerintah, DPR, partai politik, para ahli, dan pemerhati demokrasi.
Menurut pendapat kami, pelaksanaan e-voting akan mampu memberikan kontribusi positif bagi kemajuan demokrasi di Indonesia, membangun kepercayaan kepada penyelenggara pemilu, menambah kredibilitas pada hasil pemilu, dan meningkatkan efisiensi keseluruhan proses pemilu. Implementasi e-voting juga akan mampu memodernisasi proses pemilu dan memperkuat demokrasi substantif.
Karena akan meningkatkan interaksi antara warga negara dan pemerintah melalui platform e-partisipasi berbasis teknologi informasi dan komunikasi. Masyarakat bisa melakukan pengawasan melalui mekanisme digital dan berbagai platform media sosial yang sudah menjadi bagian budaya di era digital saat ini.
Upaya mewujudkan pemilu digital juga harus diikuti dengan persiapan dan penyediaan langkah-langkah keamanan serta keandalan teknologi untuk mengatasi potensi kelemahan e-voting. Transparansi dan keterbukaan data harus dijamin. Proses perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi dipublikasikan melalui mekanisme digital untuk menjamin kredibilitas e-voting serta menghadirkan kepercayaan (trust) di masyarakat.
Di sisi lain, pembangunan infrastruktur digital di berbagai daerah dan percepatan penguatan ekosistem ekonomi digital dengan menyiapkan sumber daya manusia oleh pemerintah memberi harapan sekaligus fakta empiris bahwa digitalisasi pemilu dan demokrasi sudah bisa kita jalankan. Berangkat dari pemikiran tersebut, kami mengusulkan sudah saatnya kita melakukan pemilu digital dan e-voting pada Pemilu dan Pilkada 2024. Tujuannya, partisipasi rakyat dalam pemilu makin tinggi, kualitas demokrasi makin baik, dan tatanan kehidupan bernegara makin demokratis. (*)
*) SOEKARWO Anggota Dewan Pertimbangan Presiden Republik Indonesia (Wantimpres RI), pengajar Pascasarjana Unair