32.7 C
Jakarta
Tuesday, December 2, 2025

Rendang dan Empati untuk Masyarakat Sumatera Barat

BENCANA alam menimpa silih berganti. Hampir setiap tahun ada bencana alam terjadi di negeri ini. Baik bencana hidrometeorologi, gempa bumi, gunung meletus, longsor, dan sebagainya.

Di balik duka yang menimpa korban, rakyat Indonesia bergegas berbuat. Bergegas membantu mengurangi beban dan duka yang dialami para korban. Rakyat Indonesia mengambil peran, mulai dari menjadi relawan membantu para korban di lokasi bencana.

Bagi yang tidak kuat fisiknya, tetapi memiliki sedikit rezeki, mereka menitipkan bantuan lewat lembaga filantropi atau lembaga sosial. Bahkan ada yang datang langsung membawa beras berkarung-karung, baju berlusin, selimut berlembar untuk para korban mereka tidak kelaparan, tidak kedinginan.

Masyarakat Sumatera Barat memiliki caranya sendiri mengirim bantuan untuk korban bencana. Berkirim rendang yang jumlahnya berton-ton. Baik untuk korban bencana gempa di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB); Palu, Sulawesi Tengah (Sulteng), erupsi gunung Semeru di Jawa Timur; Gunung Agung di Bali; gempa bumi di Cianjur, Jawa Barat (Jabar); korban banjir besar di Bener Meriah, Aceh; tsunami yang melanda Banten-Lampung, dan beberapa daerah lainnya.

Kini di Sumatera Barat terdapat ratusan orang meninggal dunia akibat dilanda banjir bandang (galodo). Berdasar data Badan SAR Nasional (Basarnas) per 1 Desember 2025 pukul 21.00 WIB, jumlah korban meningga dunia akibat banjir bandang di Sumbar 166 orang, sebanyak 116 jiwa masih dalam pencarian, dan 29.483 telah dievakuasi.

Rakyat Bantu Rakyat

Semenjak viralnya video-video banjir bandang di media sosial (medsos) terkait Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Aceh, masifnya pemberitaan media arus utama yang menunjukkan begitu mencekamnya bencana alam, para penggiat sosial, pekerja kreatif, novelis, dan publik figur, bergerak melalui akun mereka menggalang dana dari publik.

Electronic money exchangers listing
Baca Juga :  Polemik Frasa ”Tanpa Persetujuan Korban”

Mereka menggandeng lembaga sosial dan filantropi. Mereka mengetuk hati masyarakat Indonesia untuk bahu membahu mengurangi beban dan mengobati duka keluarga korban agar tetap tabah.

Selang beberapa hari total bantuan terkumpul mencapai miliaran rupiah. Bantuan pun dikirim dan diantar langsung. Mereka menembus jalan-jalan yang terputus, dan daerah-daerah terisolasi dengan cara bergotong royong.

Gelombang bantuan pun datang dari para perantau Minangkabau. Tanpa dimobilisasi, mereka bergerak menghubungi sanak keluarganya berkirim bantuan dengan cara sendiri tanpa komando.

Mereka mengakses sanak keluarga yang masih selamat untuk dijadikan perpanjangan tangan membantu saudara-saudara yang tertimpa bencana. Minimal bantuan itu membuat yang terkena bencana bisa makan. Perut mereka tidak kosong. Baju bisa diganti karena sudah kuyup kena hujan dan banjir.

Selain itu, ada para relawan lainnnya yang mewakafkan tenaga dan pikirannya membantu mencari dan menyelamatkan korban di lokasi bencana. Hingga hari ini pencarian masih berlangsung. Segudang harapan masih ditumpukan keluarga korban kepada relawan.

Cara itu dilakukan masyarakat karena geramnya publik terhadap pernyataan pihak-pihak tertentu yang melukai hati mereka. Lambannya sikap pemerintah memberi respons terhadap bencana. Lebih parah lagi, publik marah terhadap banjir bandang ini tidak sekadar membawa air bah.

Ada yang lebih parah dari itu, potongan kayu-kayu gelondongan yang hanyut dari hulu sungai. Jumlahnya begitu banyak. Semua itu diklaim oleh pihak-pihak tertentu hanya sisa potongan kayu tua. Padahal potongan kayu ukurannya besar. Potongannya presisi. Potongan itulah yang menyeret pondasi rumah warga di tepi sungai.

Banjir bandang tidak hanya lewat ke sungai-sungai yang mengalir selama ini. Banjir bandang lewat di jalur yang bukan jalur air. Hal itu yang membuat rumah-rumah dan kampung-kampung tenggelam. Masyarakat tidak sempat menyelamatkan harta bendanya.

Baca Juga :  Kemarau Diprediksi Empat Bulan, Kalteng Waspadai Potensi Karhutla

Aparat Datang Mengevakuasi dan Bersihkan Material Banjir

Tidak elok rasanya jika melupakan peran dari aparat kepolisian, petugas Basarnas, Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB), Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), dan relawan sosial lainnya. Mereka hadir dari hari pertama menyelamatkan apa yang bisa diselamatkan.

Mengevakuasi warga yang terkepung banjir. Hingga kini mereka masih bahu membahu membantu warga. Aparat-aparat itu juga bagian dari keluarga korban. Mereka menempatkan hati nuraninya menyelamatkan para korban.

Publik Mendesak Tanggap Darurat Bencana Nasional

Derasnya gelombang penggalangan bantuan dari masyarakat sipil karena Pemerintah tidak membuat pernyataan soal tanggap bencana yang cepat. Ditambah ada pernyataan bencana itu hanya mencekam di media sosial.

Kondisi disebut telah membaik. Nyatanya, masih ada warga yang belum tersentuh bantuan. Bantuan tidak bisa terkirim karena akses yang putus. Pun ada bantuan, pengiriman hanya dari udara.

Desakan publik terhadap Pemerintah mengerahkan bantuan logistik untuk korban bencana karena para korban adalah masyarakat Indonesia. Mereka punya hak yang sama atas perhatian Pemerintah. Kenapa gerakan bantuan dari pemerintah tidak secepat bencana yang terjadi di daerah lain.

Ini bukan sekadar luka dan bencana di Sumatera Barat. Bukan sekadar rendang yang belum sampai ke lokasi bencana untuk mengganjal perut warga yang berhasil evakuasi. Tapi, luka hati saudara-saudara kita di Sumatera Utara dan Aceh.

Mereka lebih miris lagi. Mereka menangis karena bantuan tidak secepat harapannya. Tidak secepat bantuan pemerintah yang mereka lihat di televisi atau media-media sosial.

BENCANA alam menimpa silih berganti. Hampir setiap tahun ada bencana alam terjadi di negeri ini. Baik bencana hidrometeorologi, gempa bumi, gunung meletus, longsor, dan sebagainya.

Di balik duka yang menimpa korban, rakyat Indonesia bergegas berbuat. Bergegas membantu mengurangi beban dan duka yang dialami para korban. Rakyat Indonesia mengambil peran, mulai dari menjadi relawan membantu para korban di lokasi bencana.

Bagi yang tidak kuat fisiknya, tetapi memiliki sedikit rezeki, mereka menitipkan bantuan lewat lembaga filantropi atau lembaga sosial. Bahkan ada yang datang langsung membawa beras berkarung-karung, baju berlusin, selimut berlembar untuk para korban mereka tidak kelaparan, tidak kedinginan.

Electronic money exchangers listing

Masyarakat Sumatera Barat memiliki caranya sendiri mengirim bantuan untuk korban bencana. Berkirim rendang yang jumlahnya berton-ton. Baik untuk korban bencana gempa di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB); Palu, Sulawesi Tengah (Sulteng), erupsi gunung Semeru di Jawa Timur; Gunung Agung di Bali; gempa bumi di Cianjur, Jawa Barat (Jabar); korban banjir besar di Bener Meriah, Aceh; tsunami yang melanda Banten-Lampung, dan beberapa daerah lainnya.

Kini di Sumatera Barat terdapat ratusan orang meninggal dunia akibat dilanda banjir bandang (galodo). Berdasar data Badan SAR Nasional (Basarnas) per 1 Desember 2025 pukul 21.00 WIB, jumlah korban meningga dunia akibat banjir bandang di Sumbar 166 orang, sebanyak 116 jiwa masih dalam pencarian, dan 29.483 telah dievakuasi.

Rakyat Bantu Rakyat

Semenjak viralnya video-video banjir bandang di media sosial (medsos) terkait Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Aceh, masifnya pemberitaan media arus utama yang menunjukkan begitu mencekamnya bencana alam, para penggiat sosial, pekerja kreatif, novelis, dan publik figur, bergerak melalui akun mereka menggalang dana dari publik.

Baca Juga :  Polemik Frasa ”Tanpa Persetujuan Korban”

Mereka menggandeng lembaga sosial dan filantropi. Mereka mengetuk hati masyarakat Indonesia untuk bahu membahu mengurangi beban dan mengobati duka keluarga korban agar tetap tabah.

Selang beberapa hari total bantuan terkumpul mencapai miliaran rupiah. Bantuan pun dikirim dan diantar langsung. Mereka menembus jalan-jalan yang terputus, dan daerah-daerah terisolasi dengan cara bergotong royong.

Gelombang bantuan pun datang dari para perantau Minangkabau. Tanpa dimobilisasi, mereka bergerak menghubungi sanak keluarganya berkirim bantuan dengan cara sendiri tanpa komando.

Mereka mengakses sanak keluarga yang masih selamat untuk dijadikan perpanjangan tangan membantu saudara-saudara yang tertimpa bencana. Minimal bantuan itu membuat yang terkena bencana bisa makan. Perut mereka tidak kosong. Baju bisa diganti karena sudah kuyup kena hujan dan banjir.

Selain itu, ada para relawan lainnnya yang mewakafkan tenaga dan pikirannya membantu mencari dan menyelamatkan korban di lokasi bencana. Hingga hari ini pencarian masih berlangsung. Segudang harapan masih ditumpukan keluarga korban kepada relawan.

Cara itu dilakukan masyarakat karena geramnya publik terhadap pernyataan pihak-pihak tertentu yang melukai hati mereka. Lambannya sikap pemerintah memberi respons terhadap bencana. Lebih parah lagi, publik marah terhadap banjir bandang ini tidak sekadar membawa air bah.

Ada yang lebih parah dari itu, potongan kayu-kayu gelondongan yang hanyut dari hulu sungai. Jumlahnya begitu banyak. Semua itu diklaim oleh pihak-pihak tertentu hanya sisa potongan kayu tua. Padahal potongan kayu ukurannya besar. Potongannya presisi. Potongan itulah yang menyeret pondasi rumah warga di tepi sungai.

Banjir bandang tidak hanya lewat ke sungai-sungai yang mengalir selama ini. Banjir bandang lewat di jalur yang bukan jalur air. Hal itu yang membuat rumah-rumah dan kampung-kampung tenggelam. Masyarakat tidak sempat menyelamatkan harta bendanya.

Baca Juga :  Kemarau Diprediksi Empat Bulan, Kalteng Waspadai Potensi Karhutla

Aparat Datang Mengevakuasi dan Bersihkan Material Banjir

Tidak elok rasanya jika melupakan peran dari aparat kepolisian, petugas Basarnas, Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB), Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), dan relawan sosial lainnya. Mereka hadir dari hari pertama menyelamatkan apa yang bisa diselamatkan.

Mengevakuasi warga yang terkepung banjir. Hingga kini mereka masih bahu membahu membantu warga. Aparat-aparat itu juga bagian dari keluarga korban. Mereka menempatkan hati nuraninya menyelamatkan para korban.

Publik Mendesak Tanggap Darurat Bencana Nasional

Derasnya gelombang penggalangan bantuan dari masyarakat sipil karena Pemerintah tidak membuat pernyataan soal tanggap bencana yang cepat. Ditambah ada pernyataan bencana itu hanya mencekam di media sosial.

Kondisi disebut telah membaik. Nyatanya, masih ada warga yang belum tersentuh bantuan. Bantuan tidak bisa terkirim karena akses yang putus. Pun ada bantuan, pengiriman hanya dari udara.

Desakan publik terhadap Pemerintah mengerahkan bantuan logistik untuk korban bencana karena para korban adalah masyarakat Indonesia. Mereka punya hak yang sama atas perhatian Pemerintah. Kenapa gerakan bantuan dari pemerintah tidak secepat bencana yang terjadi di daerah lain.

Ini bukan sekadar luka dan bencana di Sumatera Barat. Bukan sekadar rendang yang belum sampai ke lokasi bencana untuk mengganjal perut warga yang berhasil evakuasi. Tapi, luka hati saudara-saudara kita di Sumatera Utara dan Aceh.

Mereka lebih miris lagi. Mereka menangis karena bantuan tidak secepat harapannya. Tidak secepat bantuan pemerintah yang mereka lihat di televisi atau media-media sosial.

Terpopuler

Artikel Terbaru