27.1 C
Jakarta
Saturday, April 27, 2024

Berdebat dengan Suami, Batal Sewa Tim Dokumentasi

Pandemi Covid-19
memaksa para ibu hamil menjauh dari rumah sakit (RS), bahkan untuk sekadar
kontrol kehamilan. Ada yang sampai ditangani enam bidan sekaligus saat
persalinan.

 

BAYU PUTRA,
Sidoarjo-Jakarta


KEHAMILAN kali ini
begitu membahagiakan Dini Nastiti Wardani. Dia hamil anak kedua dan berjenis
kelamin perempuan. Serasa lengkap sudah keluarga kecilnya, karena anak
pertamanya laki-laki.

Dia dan suami, Achmad
Firdaus, pun menyiapkan segalanya. Menjalani kontrol rutin di salah satu RS di
bilangan Surabaya Selatan.

Dokternya spesialis
obgyn yang dahulu pernah menanganinya saat hamil anak pertama. Dia juga sudah
memesan tempat di RS tersebut untuk persiapan kelahiran, yang diperkirakan
terjadi awal April.

Saat semuanya berjalan
seperti yang direncanakan, datanglah si tamu tak diundang bernama virus corona.
Melahirkan saja sudah proses mendebarkan. Masih harus ditambah tuntutan
berhati-hati dengan virus pemicu penyakit Covid-19 yang telah merenggut banyak
nyawa di berbagai negara.

Dini sudah pasti tak
sendirian yang khawatir. Puluhan atau ratusan ibu hamil lainnya di penjuru
tanah air tentu juga demikian, sejak kasus positif pertama Covid-19 diumumkan
Presiden Jokon Widodo pada awal Maret lalu.

Apalagi, di sejumlah
daerah sempat tercatat pertautan ibu melahirkan dengan kasus Covid-19. Di
Ngawi, Jawa Timur, misalnya. Jawa Pos Radar Ngawi melaporkan, dua pekan lalu
seorang perempuan yang diindikasi terinfeksi Covid-19 menjalani proses
persalinan di RSUD dr Soeroto, Ngawi.

Pasien dalam pengawasan
(PDP) berusia 24 tahun asal Kecamatan Karanganyar yang mulai menjalani isolasi
sejak Rabu (8/4) itu, melahirkan bayi perempuan keesokan harinya (9/4). ”Menjelang
magrib, terlahir normal dengan berat tiga kilogram,” terang drg Endah Pratiwi,
Kabid Penanggulangan dan Pencegahan Penyakit Dinkes Ngawi.

 

Pasca persalinan, ibu
dan bayi dirawat di ruang terpisah. Pihak rumah sakit pun langsung melakukan
rapid test ulang kepada ibu beserta bayi yang baru dilahirkan. ”Ibunya negatif.
Untuk hasil tes bayinya belum diketahui,” imbuhnya.

Tercatat pula dua bayi
berusia 8 dan 11 bulan di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara yang berstatus
PDP (pasien dalam pengawasan) dan kemudian meninggal. 

Di Yogyakarta juga ada
bayi PDP yang meninggal. Di sisi lain, di Jogja juga ada bayi 4 bulan positif
Covid-19 yang berhasil sembuh.

Sejak kasus positif
pertama pada awal Maret, berbagai kebijakan jaga jarak untuk mencegah penularan
menyusul dilakukan. Termasuk bekerja di rumah alias work from home. 

Dini pun mendengar
informasi bahwa RS tempat dia berencana melakukan persalinan digunakan
menangani pasien Covid-19 dan sedang kekurangan APD (alat pelindung diri).
Konsekuensinya, bila hendak melahirkan, dia pasti akan masuk UGD (unit gawat
darurat) terlebih dahulu.

Kecemasannya otomatis
bertambah. ”Padahal, di UGD itu yang sakit bukan cuma mau melahirkan aja, tapi
ada orang kecelakaan, demam berdarah, macam-macam penyakit,” ujar penyiar radio
itu saat berbincang dengan Jawa Pos, akhir pekan lalu.

Baca Juga :  Responsif, Gubernur Belikan Rumah untuk Dillah Bersaudara

Di tengah kegalauan
tersebut, sang suami memberikan alternatif untuk melahirkan di rumah bersalin
di dekat kediaman mereka di Waru, Sidoarjo. Firdaus beralasan, di rumah
bersalin hanya ada ibu yang hendak melahirkan, juga pasien ibu dan anak. Hanya,
berbeda dengan RS, kali ini proses bersalin akan ditangani bidan.

Alasan Firdaus masuk
akal. Bisa jadi, imun ibu kuat. Namun, bayi adalah kelompok rentan.

Masalahnya, selama ini
Dini lebih percaya dokter spesialis untuk urusan anak. Usulan sang suami itu
pun sempat menimbulkan perdebatan kecil di antara keduanya.

Dengan sabar, sang
suami memberikan gambaran lengkap. Apa saja risiko bersalin di RS dan rumah
bersalin. Di RS, dia harus masuk UGD dulu. Di rumah bersalin langsung ditangani
bidan.

Di RS pasien beragam,
sedangkan di rumah bersalin hanya ibu dan anak dengan keperluan yang terbatas.
Risiko terpapar SARS CoV-2, si virus pemicu Covid-19, di RS lebih besar
ketimbang di rumah bersalin.

Selain itu, biaya
melahirkan di rumah bersalin lebih murah ketimbang RS. Dengan demikian, alokasi
dananya bisa digunakan untuk memaksimalkan pemenuhan kebutuhan si buah hati setelah
melahirkan. Apalagi, jarak dari kediaman lebih dekat ke rumah bersalin ketimbang
ke RS.

Dan yang utama, menurut
sang suami, yang menentukan kemampuan dalam menangani kelahiran itu bukanlah
pendidikan tinggi. Melainkan pengalaman dan jam terbang.

Akhirnya, mulailah Dini
kontrol ke rumah bersalin. Kekhawatirannya awalnya terbukti: peralatannya serbamanual.
Dini yang sebelumnya selalu menggunakan USG, sempat stres saat menggunakan alat
manual. Apalagi, dia juga diharuskan mengecek darah, urine, dan tekanan jantung
di puskesmas.

Tapi, rupanya, standar
puskesmas sudah sangat baik. Di tengah pandemi, mereka yang suhunya di atas 38
derajat Celsius disarankan untuk tidak berobat di puskesmas agar mendapat
penanganan yang lebih baik.

Bidan puskesmas juga
menyarankan dia untuk tidak bersalin di RS. Sebab, bayi termasuk kelompok yang
rentan tertular Covid-19.

Dengan memantapkan
hati, akhirnya dia melahirkan di rumah bersalin. Pada 2 April siang, Dini dan
suami tiba di rumah bersalin. Langsung masuk ruang bersalin dalam kondisi
bukaan 3.

Diprediksi baru 5–8 jam
lagi baru lahir. Tapi, kurang dari satu jam sudah bukaan 6 dan kontraksi setiap
5 menit. Akhirnya bidan langsung ambil tindakan.

Tidak
tanggung-tanggung, ada enam bidan yang menangani dia. “Bagian nyemangatin,
ambil kepala bayi, jahit-menjahit, angkat bayi, bersihkan darah, sama bagian
rawat bayi,” tutur perempuan kelahiran 10 September 1989 itu.

Akhirnya, pada pukul
14.35, lahirlah putri kecil mereka yang diberi nama Retorika Khanza Falsafani,
dengan prosedur kelahiran normal. Dini lega. Sejumlah kekhawatirannya karena
melahirkan bukan di RS seperti yang direncanakan akibat pandemi Covid-19, tak
terbukti.

Justru banyak
pengalaman baru yang dia dapat dari persalinan di tengah pandemi. Mulai
profesionalnya para bidan, keintiman dengan sang buah hati, hingga ke hal-hal
kecil seperti makanan. “Menunya bahkan lebih enak daripada menu di RS,”
katanya, lantas tertawa.

Baca Juga :  Umat Dibatasi Mengikuti Tawur Kesanga, Doakan Musibah Cepat Berakhir

Bahkan, pihak rumah
bersalin menyarankan Dini menggunakan BPJS, karena tidak ada tindakan darurat
atau ekstra. Namun, yang terpenting, dia mendapati rumah bersalin menerapkan
protokol kesehatan yang ketat.

Semua pengunjung juga
wajib mengenakan masker. Disediakan wastafel, sabun, dan hand sanitizer.
Pengaturan jarak antarmanusia pun dilakukan dengan baik.

“Semua nakes (tenaga
kesehatan) pakai baju lengan panjang dan sarung tangan karet rangkap dua.
Lengkap dengan jilbab, masker, kacamata, dan kaus kaki,” tambahnya.

Pengalaman sedikit
berbeda dialami Yunita Setyahati. Sejak awal, Yunita dan suami, Miftahulhayat,
memang merencanakan untuk melahirkan di bidan, tidak jauh dari kediamannya di Citayam,
Depok.

Hanya, untuk kontrol
kehamilan, Yunita memang memilih di RS. Tapi, itu terakhir dia lakukan saat
usia kandungannya 36 pekan.

 

Sebab, pada awal Maret
pihak RS sudah memberlakukan protokol ekstra setelah presiden mengumumkan dua
kasus pertama Covid-19 di Indonesia. Mulai pengecekan suhu tubuh hingga
penggunaan hand sanitizer saat akan masuk RS.

Karena jumlah pasien
makin banyak, pemerintah pun menganjurkan untuk berada di rumah saja. “Saya
tidak melanjutkan kontrol di rumah sakit, hanya di bidan saja,” terangnya Rabu
(22/4). 

Yunita hanya keluar
rumah seminggu sekali, itu pun ke bidan untuk kontrol. Dia melakukan berbagai
aktivitasnya di rumah untuk menjaga imunitas. Yakni, yoga dan makan makanan
sehat. Dia berupaya agar kebutuhan gizinya benar-benar terkontrol selama di
rumah.

Selebihnya, bila
berbelanja, khususnya kebutuhan bayi, dia memilih secara daring. “Banyak sekali
perubahan dalam persiapan persalinan,” lanjut perempuan kelahiran 29 Juni 1992
itu.

Yunita memilih untuk
melahirkan dengan metode gentle birth. Namun, karena pandemi, klinik bidan
tempat Yunita melahirkan melarang kehadiran pihak lain di ruang bersalin. Hanya
suami yang boleh mendampingi. Jadilah tim dokumentasi batal disewa.

Akhirnya, pada 13 April
lalu lahirlah putri pertama Yunita dan Miftahul. Mereka memberi nama sang putri
Kala Jenaka.

Pengalaman menjalani
kehamilan hingga melahirkan di tengah pandemi memang sempat memunculkan
kekhawatiran bagi para ibu. Sejumlah rencana terkait persalinan juga batal
terlaksana.

Namun, bagi Yunita,
kekhawatiran itu pupus karena peran sang suami. “Suami memberikan energi
positif agar saya tidak stres atau terlalu cemas dengan situasi pandemi ini,” tutur
ibu rumah tangga itu.

Dini dan Yunita kini
menikmati perannya sebagai ibu. Tidak ada kunjungan dari kawan ataupun kerabat,
karena kondisi pandemi tidak memungkinkan itu terjadi.

Sisi positifnya, itu membuat mereka makin punya
banyak waktu untuk intim dengan si kecil. Sembari menyiapkan cerita untuk
dikisahkan kepada para upik tersebut kelak, tentang bagaimana ibunya melahirkan
mereka ke dunia di tengah pandemi mematikan. 

Pandemi Covid-19
memaksa para ibu hamil menjauh dari rumah sakit (RS), bahkan untuk sekadar
kontrol kehamilan. Ada yang sampai ditangani enam bidan sekaligus saat
persalinan.

 

BAYU PUTRA,
Sidoarjo-Jakarta


KEHAMILAN kali ini
begitu membahagiakan Dini Nastiti Wardani. Dia hamil anak kedua dan berjenis
kelamin perempuan. Serasa lengkap sudah keluarga kecilnya, karena anak
pertamanya laki-laki.

Dia dan suami, Achmad
Firdaus, pun menyiapkan segalanya. Menjalani kontrol rutin di salah satu RS di
bilangan Surabaya Selatan.

Dokternya spesialis
obgyn yang dahulu pernah menanganinya saat hamil anak pertama. Dia juga sudah
memesan tempat di RS tersebut untuk persiapan kelahiran, yang diperkirakan
terjadi awal April.

Saat semuanya berjalan
seperti yang direncanakan, datanglah si tamu tak diundang bernama virus corona.
Melahirkan saja sudah proses mendebarkan. Masih harus ditambah tuntutan
berhati-hati dengan virus pemicu penyakit Covid-19 yang telah merenggut banyak
nyawa di berbagai negara.

Dini sudah pasti tak
sendirian yang khawatir. Puluhan atau ratusan ibu hamil lainnya di penjuru
tanah air tentu juga demikian, sejak kasus positif pertama Covid-19 diumumkan
Presiden Jokon Widodo pada awal Maret lalu.

Apalagi, di sejumlah
daerah sempat tercatat pertautan ibu melahirkan dengan kasus Covid-19. Di
Ngawi, Jawa Timur, misalnya. Jawa Pos Radar Ngawi melaporkan, dua pekan lalu
seorang perempuan yang diindikasi terinfeksi Covid-19 menjalani proses
persalinan di RSUD dr Soeroto, Ngawi.

Pasien dalam pengawasan
(PDP) berusia 24 tahun asal Kecamatan Karanganyar yang mulai menjalani isolasi
sejak Rabu (8/4) itu, melahirkan bayi perempuan keesokan harinya (9/4). ”Menjelang
magrib, terlahir normal dengan berat tiga kilogram,” terang drg Endah Pratiwi,
Kabid Penanggulangan dan Pencegahan Penyakit Dinkes Ngawi.

 

Pasca persalinan, ibu
dan bayi dirawat di ruang terpisah. Pihak rumah sakit pun langsung melakukan
rapid test ulang kepada ibu beserta bayi yang baru dilahirkan. ”Ibunya negatif.
Untuk hasil tes bayinya belum diketahui,” imbuhnya.

Tercatat pula dua bayi
berusia 8 dan 11 bulan di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara yang berstatus
PDP (pasien dalam pengawasan) dan kemudian meninggal. 

Di Yogyakarta juga ada
bayi PDP yang meninggal. Di sisi lain, di Jogja juga ada bayi 4 bulan positif
Covid-19 yang berhasil sembuh.

Sejak kasus positif
pertama pada awal Maret, berbagai kebijakan jaga jarak untuk mencegah penularan
menyusul dilakukan. Termasuk bekerja di rumah alias work from home. 

Dini pun mendengar
informasi bahwa RS tempat dia berencana melakukan persalinan digunakan
menangani pasien Covid-19 dan sedang kekurangan APD (alat pelindung diri).
Konsekuensinya, bila hendak melahirkan, dia pasti akan masuk UGD (unit gawat
darurat) terlebih dahulu.

Kecemasannya otomatis
bertambah. ”Padahal, di UGD itu yang sakit bukan cuma mau melahirkan aja, tapi
ada orang kecelakaan, demam berdarah, macam-macam penyakit,” ujar penyiar radio
itu saat berbincang dengan Jawa Pos, akhir pekan lalu.

Baca Juga :  Responsif, Gubernur Belikan Rumah untuk Dillah Bersaudara

Di tengah kegalauan
tersebut, sang suami memberikan alternatif untuk melahirkan di rumah bersalin
di dekat kediaman mereka di Waru, Sidoarjo. Firdaus beralasan, di rumah
bersalin hanya ada ibu yang hendak melahirkan, juga pasien ibu dan anak. Hanya,
berbeda dengan RS, kali ini proses bersalin akan ditangani bidan.

Alasan Firdaus masuk
akal. Bisa jadi, imun ibu kuat. Namun, bayi adalah kelompok rentan.

Masalahnya, selama ini
Dini lebih percaya dokter spesialis untuk urusan anak. Usulan sang suami itu
pun sempat menimbulkan perdebatan kecil di antara keduanya.

Dengan sabar, sang
suami memberikan gambaran lengkap. Apa saja risiko bersalin di RS dan rumah
bersalin. Di RS, dia harus masuk UGD dulu. Di rumah bersalin langsung ditangani
bidan.

Di RS pasien beragam,
sedangkan di rumah bersalin hanya ibu dan anak dengan keperluan yang terbatas.
Risiko terpapar SARS CoV-2, si virus pemicu Covid-19, di RS lebih besar
ketimbang di rumah bersalin.

Selain itu, biaya
melahirkan di rumah bersalin lebih murah ketimbang RS. Dengan demikian, alokasi
dananya bisa digunakan untuk memaksimalkan pemenuhan kebutuhan si buah hati setelah
melahirkan. Apalagi, jarak dari kediaman lebih dekat ke rumah bersalin ketimbang
ke RS.

Dan yang utama, menurut
sang suami, yang menentukan kemampuan dalam menangani kelahiran itu bukanlah
pendidikan tinggi. Melainkan pengalaman dan jam terbang.

Akhirnya, mulailah Dini
kontrol ke rumah bersalin. Kekhawatirannya awalnya terbukti: peralatannya serbamanual.
Dini yang sebelumnya selalu menggunakan USG, sempat stres saat menggunakan alat
manual. Apalagi, dia juga diharuskan mengecek darah, urine, dan tekanan jantung
di puskesmas.

Tapi, rupanya, standar
puskesmas sudah sangat baik. Di tengah pandemi, mereka yang suhunya di atas 38
derajat Celsius disarankan untuk tidak berobat di puskesmas agar mendapat
penanganan yang lebih baik.

Bidan puskesmas juga
menyarankan dia untuk tidak bersalin di RS. Sebab, bayi termasuk kelompok yang
rentan tertular Covid-19.

Dengan memantapkan
hati, akhirnya dia melahirkan di rumah bersalin. Pada 2 April siang, Dini dan
suami tiba di rumah bersalin. Langsung masuk ruang bersalin dalam kondisi
bukaan 3.

Diprediksi baru 5–8 jam
lagi baru lahir. Tapi, kurang dari satu jam sudah bukaan 6 dan kontraksi setiap
5 menit. Akhirnya bidan langsung ambil tindakan.

Tidak
tanggung-tanggung, ada enam bidan yang menangani dia. “Bagian nyemangatin,
ambil kepala bayi, jahit-menjahit, angkat bayi, bersihkan darah, sama bagian
rawat bayi,” tutur perempuan kelahiran 10 September 1989 itu.

Akhirnya, pada pukul
14.35, lahirlah putri kecil mereka yang diberi nama Retorika Khanza Falsafani,
dengan prosedur kelahiran normal. Dini lega. Sejumlah kekhawatirannya karena
melahirkan bukan di RS seperti yang direncanakan akibat pandemi Covid-19, tak
terbukti.

Justru banyak
pengalaman baru yang dia dapat dari persalinan di tengah pandemi. Mulai
profesionalnya para bidan, keintiman dengan sang buah hati, hingga ke hal-hal
kecil seperti makanan. “Menunya bahkan lebih enak daripada menu di RS,”
katanya, lantas tertawa.

Baca Juga :  Umat Dibatasi Mengikuti Tawur Kesanga, Doakan Musibah Cepat Berakhir

Bahkan, pihak rumah
bersalin menyarankan Dini menggunakan BPJS, karena tidak ada tindakan darurat
atau ekstra. Namun, yang terpenting, dia mendapati rumah bersalin menerapkan
protokol kesehatan yang ketat.

Semua pengunjung juga
wajib mengenakan masker. Disediakan wastafel, sabun, dan hand sanitizer.
Pengaturan jarak antarmanusia pun dilakukan dengan baik.

“Semua nakes (tenaga
kesehatan) pakai baju lengan panjang dan sarung tangan karet rangkap dua.
Lengkap dengan jilbab, masker, kacamata, dan kaus kaki,” tambahnya.

Pengalaman sedikit
berbeda dialami Yunita Setyahati. Sejak awal, Yunita dan suami, Miftahulhayat,
memang merencanakan untuk melahirkan di bidan, tidak jauh dari kediamannya di Citayam,
Depok.

Hanya, untuk kontrol
kehamilan, Yunita memang memilih di RS. Tapi, itu terakhir dia lakukan saat
usia kandungannya 36 pekan.

 

Sebab, pada awal Maret
pihak RS sudah memberlakukan protokol ekstra setelah presiden mengumumkan dua
kasus pertama Covid-19 di Indonesia. Mulai pengecekan suhu tubuh hingga
penggunaan hand sanitizer saat akan masuk RS.

Karena jumlah pasien
makin banyak, pemerintah pun menganjurkan untuk berada di rumah saja. “Saya
tidak melanjutkan kontrol di rumah sakit, hanya di bidan saja,” terangnya Rabu
(22/4). 

Yunita hanya keluar
rumah seminggu sekali, itu pun ke bidan untuk kontrol. Dia melakukan berbagai
aktivitasnya di rumah untuk menjaga imunitas. Yakni, yoga dan makan makanan
sehat. Dia berupaya agar kebutuhan gizinya benar-benar terkontrol selama di
rumah.

Selebihnya, bila
berbelanja, khususnya kebutuhan bayi, dia memilih secara daring. “Banyak sekali
perubahan dalam persiapan persalinan,” lanjut perempuan kelahiran 29 Juni 1992
itu.

Yunita memilih untuk
melahirkan dengan metode gentle birth. Namun, karena pandemi, klinik bidan
tempat Yunita melahirkan melarang kehadiran pihak lain di ruang bersalin. Hanya
suami yang boleh mendampingi. Jadilah tim dokumentasi batal disewa.

Akhirnya, pada 13 April
lalu lahirlah putri pertama Yunita dan Miftahul. Mereka memberi nama sang putri
Kala Jenaka.

Pengalaman menjalani
kehamilan hingga melahirkan di tengah pandemi memang sempat memunculkan
kekhawatiran bagi para ibu. Sejumlah rencana terkait persalinan juga batal
terlaksana.

Namun, bagi Yunita,
kekhawatiran itu pupus karena peran sang suami. “Suami memberikan energi
positif agar saya tidak stres atau terlalu cemas dengan situasi pandemi ini,” tutur
ibu rumah tangga itu.

Dini dan Yunita kini
menikmati perannya sebagai ibu. Tidak ada kunjungan dari kawan ataupun kerabat,
karena kondisi pandemi tidak memungkinkan itu terjadi.

Sisi positifnya, itu membuat mereka makin punya
banyak waktu untuk intim dengan si kecil. Sembari menyiapkan cerita untuk
dikisahkan kepada para upik tersebut kelak, tentang bagaimana ibunya melahirkan
mereka ke dunia di tengah pandemi mematikan. 

Terpopuler

Artikel Terbaru