26.7 C
Jakarta
Tuesday, April 8, 2025

Jadi Sales Sisir Dilakoni, Aktivis NGO Ditekuni

Meski lahir di desa terpencil, namun putra asli Dayak
lulusan Universitas Palangka Raya (UPR) ini membuktikan bahwa ia mampu
bersaing. Berkat kerja keras dan ketekunannya, kini Murianson menduduki jabatan
General Manager di Global Group yang membawahi tiga Hotel Global di Palangka
Raya.

AZUBA,
Palangka Raya

SENYUM
ramah dan gesture energik menyambut kehadiran penulis. Meski sibuk, lelaki yang
kini menjabat sebagai GM Global Group ini tetap berkenan meluangkan waktunya.

Murianson, merupakan putra asli Dayak dari Desa
Bundar Kecamatan Dusun Selatan Kabupaten Barito Selatan (Barsel). Meski lahir
dari desa terpencil, ia mengaku bangga lantaran pola pikir para orangtua di
desanya sudah sangat maju.

“Mereka malu jika anaknya tidak sekolah. Lebih
baik susah, dari pada anaknya tidak sekolah,” kenang Murianson ditemui di Royal
Global Hotel Palangka Raya, belum lama ini.

Seiring berjalannya waktu, lulusan Universitas
Palangka Raya (UPR) ini, telah membuktikan bahwa dirinya mampu bersaing. Buktinya,
kini Ia berhasil menjadi GM Global Group yang membawahi tiga hotel di Palangka
Raya. Jabatan yang diraihnya saat ini tentu tidak instan. Ada perjuangan mesti
dilakukan.

Lulus dari SMA, melalui undangan, Murianson
diterima di Jurusan Ekonomi UPR. Di saat kuliah inilah, ada kisah yang masih
membekas dalam kenangannya hingga kini. Ia kehilangan uangnya dan milik
temannya yang dititipkan untuk membayar SPP. Kebingungan melanda dirinya,
karena tak mungkin meminta uang kepada orangtuanya untuk mengganti uang yang
hilang.

Untunglah ada tawaran kerja menjadi sales.
Akhirnya, demi untuk mengembalikan uang temannya dan membayar SPP, ia harus
bekerja menjadi sales sisir rambut dan pisau. Hari demi hari ia jalani tanpa
rasa malu. Untuk berkeliling dari satu tempat ke tempat lain, kadang harus naik
angkot untuk mencari lokasi yang berbeda. Ia juga menjual dagangannya kepada
PNS-PNS yang ada di Pemko Palangka Raya.

Baca Juga :  Upaya Pengobatan Mulai dari Penyakit Medis dan Non Medis

“Saat berjualan, saya bertemu dengan
teman-teman kuliah. Teman saya tanya. Kenapa jualan. Jadi saya jelaskan saja,
dari pada saya mencuri. Lucunya teman-teman saya malah nanya lagi. Sudah makan
belum. Jadi saya bilang, saya mau makan, asalkan barang saya dibeli. Setelah
saya makan, dagangan saya betul dibeli,”cerita Murianson kepada Kalteng Pos.

Hari demi ia lalui, kuliah nyabi sales. Lucunya
saat ia berjualan ada seorang ibu yang mau membeli dagangannya. Sebelum membeli
semua dagangan dia, ibu itu membelikan dia makanan. Setelah makan, ia kaget,
karena ibu itu ternyata menawarkan dia untuk menjadi menantu. “Saya tertawa,
tapi saya jelaskan, saya menolak karena masih kuliah,”ungkapnya.  

Empat tahun kuliah, tepatnya pada tahun 2002
akhirnya gelar sarjana dapat ia sandang. Enam bulan setelah itu, ia diterima
bekerja di Care Internasional, sebuah lembaga NGO internasional yang bergerak
di bidang kesehatan, api dan pertanian. Meski tidak nyambung dengan gelar
S1-nya, tapi ia tetap tekun menjalaninya dan belajar dari awal.

“Saat itu saya satu-satunya lulusan yang tidak
sesuai bidang pekerjaan dan diterima. Sementara yang diterima lainnya adalah
bidang kesehatan. Tapi saya punya prinsip, tidak ada sesuatu yang tidak bisa
saya kerjakan,” ungkapnya.

Ia tekun melakukan tugasnya. Terus belajar dari
nol dengan banyak membaca buku dan bertanya kepada pimpinannya yang seorang
dokter. Terbukti, selama 3,5 tahun ia berhasil mengejar temannya yang merupakan
lulusan dari bidang kesehatan.

Ia mampu membentuk kader posyandu, menghitung
asupan gizi setiap makanan, menghitung ukuran gizi anak-anak dan ibu hamil.
Dari sepuluh orang yang bekerja saat itu, memang awalnya ia mendapat peringkat
paling bawah. Namun akhirnya ia mampu membalap dengan mendapatkan posisi di
tengah, lalu menempati peringkat kedua.

Baca Juga :  Lihat Pocong Bermata Hitam sampai Tak Bisa Bergerak

Setelah program kesehatan selesai. Masih di
Care Internasional, ia dikontrak lagi dan masuk ke program pertanian. Berhasil
menjalankan program pertanian, ia masuk ke program api. Akhirnya ia berhasil
melewati dengan baik dan diberikan penghargaan, berupa jabatan.

Pertama kali, ia diberikan jabatan fasilitator
lapangan. Jabatan ini diberikan karena ia mampu menggoalkan perencanaan desa.
Bahkan saat itu, ia satu-satunya fasilitator lapangan yang berani presentasi di
depan bupati di Kapuas.

Kemudian Murianson dipercaya lagi menjabat
sebagai PO, PTO, asisten manager, manager, hingga akhirnya ia menjadi spesialis
manager. Ketika menjadi manager ia berusia 31 tahun. Saat itu ia merupakan
manager termuda, diantara manager Care Internasional yang ada di Indonesia.

Saat hendak menjadi manajer, Ia diminta
memaparkan presentasi di instansi pemerintah. Ketika memperkenalkan diri
sebagai lulusan dari UPR, ternyata ada dosen dari UPR yang menjadi narasumber.
Mendengar itu, dosen tersebut bangga, bahkan setiap dosen tersebut membuat
tesis selalu menyebutkan namanya, bahwa lulusan UPR sudah bisa bersaing dengan
daerah luar.

“Saya juga pernah mengikuti tes di lembaga KFCP
(Kalimantan Forests and Climate Partnership), kerja sama antara Indonesia
dengan Australia. Saat itu ada lima orang yang bersaing, semuanya rata-rata
lulusan dari luar negeri, ada juga yang doktor, ada yang S2, sementara saya
hanya lulusan S1 UPR. Tapi saya yang terpilih menjadi spesialis pelibatan
masyarakat,” bebernya.

Dari sana Murianson
mengambil simpulan bahwa dimanapun tempat kuliah, jika punya potensi dan
kemauan, tidak akan kalah bersaing dengan lulusan dari luar negeri sekalipun.
“Bukan tempat kuliah yang menentukan seseorang sukses, tapi diri sendiri yang
menentukan orang itu mau menjadi apa,” tegas lelaki yang aktif berorganisasi
sejak SMP ini. (*/bersambung)

Meski lahir di desa terpencil, namun putra asli Dayak
lulusan Universitas Palangka Raya (UPR) ini membuktikan bahwa ia mampu
bersaing. Berkat kerja keras dan ketekunannya, kini Murianson menduduki jabatan
General Manager di Global Group yang membawahi tiga Hotel Global di Palangka
Raya.

AZUBA,
Palangka Raya

SENYUM
ramah dan gesture energik menyambut kehadiran penulis. Meski sibuk, lelaki yang
kini menjabat sebagai GM Global Group ini tetap berkenan meluangkan waktunya.

Murianson, merupakan putra asli Dayak dari Desa
Bundar Kecamatan Dusun Selatan Kabupaten Barito Selatan (Barsel). Meski lahir
dari desa terpencil, ia mengaku bangga lantaran pola pikir para orangtua di
desanya sudah sangat maju.

“Mereka malu jika anaknya tidak sekolah. Lebih
baik susah, dari pada anaknya tidak sekolah,” kenang Murianson ditemui di Royal
Global Hotel Palangka Raya, belum lama ini.

Seiring berjalannya waktu, lulusan Universitas
Palangka Raya (UPR) ini, telah membuktikan bahwa dirinya mampu bersaing. Buktinya,
kini Ia berhasil menjadi GM Global Group yang membawahi tiga hotel di Palangka
Raya. Jabatan yang diraihnya saat ini tentu tidak instan. Ada perjuangan mesti
dilakukan.

Lulus dari SMA, melalui undangan, Murianson
diterima di Jurusan Ekonomi UPR. Di saat kuliah inilah, ada kisah yang masih
membekas dalam kenangannya hingga kini. Ia kehilangan uangnya dan milik
temannya yang dititipkan untuk membayar SPP. Kebingungan melanda dirinya,
karena tak mungkin meminta uang kepada orangtuanya untuk mengganti uang yang
hilang.

Untunglah ada tawaran kerja menjadi sales.
Akhirnya, demi untuk mengembalikan uang temannya dan membayar SPP, ia harus
bekerja menjadi sales sisir rambut dan pisau. Hari demi hari ia jalani tanpa
rasa malu. Untuk berkeliling dari satu tempat ke tempat lain, kadang harus naik
angkot untuk mencari lokasi yang berbeda. Ia juga menjual dagangannya kepada
PNS-PNS yang ada di Pemko Palangka Raya.

Baca Juga :  Upaya Pengobatan Mulai dari Penyakit Medis dan Non Medis

“Saat berjualan, saya bertemu dengan
teman-teman kuliah. Teman saya tanya. Kenapa jualan. Jadi saya jelaskan saja,
dari pada saya mencuri. Lucunya teman-teman saya malah nanya lagi. Sudah makan
belum. Jadi saya bilang, saya mau makan, asalkan barang saya dibeli. Setelah
saya makan, dagangan saya betul dibeli,”cerita Murianson kepada Kalteng Pos.

Hari demi ia lalui, kuliah nyabi sales. Lucunya
saat ia berjualan ada seorang ibu yang mau membeli dagangannya. Sebelum membeli
semua dagangan dia, ibu itu membelikan dia makanan. Setelah makan, ia kaget,
karena ibu itu ternyata menawarkan dia untuk menjadi menantu. “Saya tertawa,
tapi saya jelaskan, saya menolak karena masih kuliah,”ungkapnya.  

Empat tahun kuliah, tepatnya pada tahun 2002
akhirnya gelar sarjana dapat ia sandang. Enam bulan setelah itu, ia diterima
bekerja di Care Internasional, sebuah lembaga NGO internasional yang bergerak
di bidang kesehatan, api dan pertanian. Meski tidak nyambung dengan gelar
S1-nya, tapi ia tetap tekun menjalaninya dan belajar dari awal.

“Saat itu saya satu-satunya lulusan yang tidak
sesuai bidang pekerjaan dan diterima. Sementara yang diterima lainnya adalah
bidang kesehatan. Tapi saya punya prinsip, tidak ada sesuatu yang tidak bisa
saya kerjakan,” ungkapnya.

Ia tekun melakukan tugasnya. Terus belajar dari
nol dengan banyak membaca buku dan bertanya kepada pimpinannya yang seorang
dokter. Terbukti, selama 3,5 tahun ia berhasil mengejar temannya yang merupakan
lulusan dari bidang kesehatan.

Ia mampu membentuk kader posyandu, menghitung
asupan gizi setiap makanan, menghitung ukuran gizi anak-anak dan ibu hamil.
Dari sepuluh orang yang bekerja saat itu, memang awalnya ia mendapat peringkat
paling bawah. Namun akhirnya ia mampu membalap dengan mendapatkan posisi di
tengah, lalu menempati peringkat kedua.

Baca Juga :  Lihat Pocong Bermata Hitam sampai Tak Bisa Bergerak

Setelah program kesehatan selesai. Masih di
Care Internasional, ia dikontrak lagi dan masuk ke program pertanian. Berhasil
menjalankan program pertanian, ia masuk ke program api. Akhirnya ia berhasil
melewati dengan baik dan diberikan penghargaan, berupa jabatan.

Pertama kali, ia diberikan jabatan fasilitator
lapangan. Jabatan ini diberikan karena ia mampu menggoalkan perencanaan desa.
Bahkan saat itu, ia satu-satunya fasilitator lapangan yang berani presentasi di
depan bupati di Kapuas.

Kemudian Murianson dipercaya lagi menjabat
sebagai PO, PTO, asisten manager, manager, hingga akhirnya ia menjadi spesialis
manager. Ketika menjadi manager ia berusia 31 tahun. Saat itu ia merupakan
manager termuda, diantara manager Care Internasional yang ada di Indonesia.

Saat hendak menjadi manajer, Ia diminta
memaparkan presentasi di instansi pemerintah. Ketika memperkenalkan diri
sebagai lulusan dari UPR, ternyata ada dosen dari UPR yang menjadi narasumber.
Mendengar itu, dosen tersebut bangga, bahkan setiap dosen tersebut membuat
tesis selalu menyebutkan namanya, bahwa lulusan UPR sudah bisa bersaing dengan
daerah luar.

“Saya juga pernah mengikuti tes di lembaga KFCP
(Kalimantan Forests and Climate Partnership), kerja sama antara Indonesia
dengan Australia. Saat itu ada lima orang yang bersaing, semuanya rata-rata
lulusan dari luar negeri, ada juga yang doktor, ada yang S2, sementara saya
hanya lulusan S1 UPR. Tapi saya yang terpilih menjadi spesialis pelibatan
masyarakat,” bebernya.

Dari sana Murianson
mengambil simpulan bahwa dimanapun tempat kuliah, jika punya potensi dan
kemauan, tidak akan kalah bersaing dengan lulusan dari luar negeri sekalipun.
“Bukan tempat kuliah yang menentukan seseorang sukses, tapi diri sendiri yang
menentukan orang itu mau menjadi apa,” tegas lelaki yang aktif berorganisasi
sejak SMP ini. (*/bersambung)

Terpopuler

Artikel Terbaru