25.9 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Dulu Hanya Terbaring, Kini Sudah Beraktivitas Normal

Bayangan menakutkan
kemoterapi dan operasi, menjadi penyebab para penderita kanker payudara memilih
pengobatan alternatif. Akibatnya, para penderita baru mau ke pengobatan medis,
setelah kanker masuk stadium tiga atau empat. Kankernya sudah membesar, dan
kondisi tubuhnya sudah drop.

MOHAMMAD
ISMAIL, Palangka Raya

KAMIS (13/6) pagi pekan
lalu, ruang tunggu Poliklinik Onkologi RSUD dr Doris Sylvanus dipenuhi pasien.
Sebagian besar perempuan. Spesialisasi Bedah Onkologi, dr Faison SpB (K)
Onk  bersama para medis, sudah tiba di
ruangnya. Kalteng Pos, berkesempatan berbincang sebentar dengan beberapa pasien.
Di antaranya Maria Goreti (47) yang baru menjalani operasi dan Fitriayani (42)
yang menjalani kemoterapi.

Maria Goreti (47) satu
dari sekian pasien kanker payudara yang menjalani pengobatan. Pertama kali
masuk ke RSUD dr Doris Sylvanus pertengahan tahun 2018. Kondisinya sudah drop.
Ia harus dibawa menggunakan mobil ambulans, karena ia hanya bisa terbaring.
Kankernya sudah masuk stadium empat.

“Setelah masuk RSUD dr
Doris Sylvanus dilakukan pemeriksaan sampel (biopsy) oleh dr Faison, saya
dinyatakan kanker payudara stadium empat,” ujar Maria setelah ia diperiksa oleh
dokter bedah tumor.

Karena sudah masuk
stadium lanjut, kanker tak bisa langsung dioperasi. Ia menjalani rawat inap
satu bulan. Setelah dibolehkan pulang, ia menjalani rawat jalan dan kemoterapi
setiap 21 hari . Menurut Maria, kemoterapi ini untuk mematikan sel kankernya
agar tidak menyebar sebelum menjalani operasi.

Hampir setahun
menjalani perawatan, kondisi Maria semakin membaik. Awal Februari lalu, Kalteng
Pos sempat berkomunikasi dengan Maria. Ia sudah bisa beraktifitas  normal. 
Setelah memenuhi syarat secara medis, akhir April lalu, akhirnya dr
Faison SpB(K) Onk, melakukan operasi.

“Sudah dioperasi
kankernya. Payudara sudah diangkat. Saat ini sedang menjalani pemulihan dengan
kemoterapi sebanyak 12 kali. Satu kali satu bulan,”ujar Maria yang pagi itu
datang ke Poliklinik Onkologi RSUD dr Doris Sylvanus untuk mengganti perban di
bekas operasi.

Baca Juga :  Resmikan PTSP, Diskusi, dan Pasar Murah

Bagaimana perasaan
Maria setelah operasi? Ia mengaku kondisi fisik dan pikirannya sudah lebih
nyaman. Jika sebelum operasi, ia masih kepikiran kanker yang ada di tubuhnya.
“Jadi sudah lebih ringan. Sudah tidak ada beban lagi, setelah dioperasi,” ujarnya
pagi itu ditemani oleh suaminya, Budi Daya.

Awalnya tahun 2013
Maria  merasakan gatal di benjolan
sekitar payudara. Setelah mencari tahu dan bertanya ke temannya yang dokter,
dicurigai kanker. Namun ketika itu, ia tak berani ke rumah sakit, karena takut
divonis kanker. Seiring waktu, benjolan bertambah besar, dan gatalnya bertambah
parah.

Puncaknya tahun 2017.
Maria drop kondisinya sangat lemah. Saat itu leher tak bisa digerakan. Mulut
tak mampu bicara. Ia hanya terbaring di ranjang. Selang oksigen pun terpasang
untuk membantu bernapas.

“Saya hanya bisa
terbaring. Kondisi sangat lemah. Sampai Juni 2018, saya dapat kunjungan dari dr
Theo ke rumah,” cerita Maria. Ketika itu 
dr Theomendorong agar Maria segera berobat ke RSUD dr Doris Sylvanus.
Meski awalnya takut, karena kondisinya sudah lemah, Maria pun akhirnya bersedia
berobat.

Ditanya tentang rasa
kemoterapi, menurut Maria setiap pasien berbeda-beda. Tergantung daya tahan
tubuh pasien. Ada yang merasakan sakit saat dikemoterapi, ada juga yang tidak.
Namun, efeknya semua pasien hampir sama. Yakni, rambut rontok, tidak selera
makan, dan rasa mual-mual.

“Meski merasakan
dampaknya tidak selera makan dan mual, namun Maria tetap memaksakan untuk
makan. Jika tidak makan, maka tubuhnya akan bertambah drop,”kata Maria.

Baca Juga :  Jadi Ibu Sukses Multitasking di Era Digital

Maria berharap
pengalaman ini tak dialami perempuan lain. Ia pun mengajak perempuan lain tidak
takut periksa ke dokter atau rumah sakit jika menemukan gejala seperti dirinya.
Sebab semakin cepat diketahui, semakin cepat pengobatannya. Diharapkan
penderita kanker tidak berkecil hati dan tetap semangat serta untuk segera
memeriksakan diri sedini mungkin jika ada keluhan.

Menurut dr Faison,
dukungan keluarga, teman-teman sangat penting bagi setiap pasien kanker dalam
proses pengobatan. Terutama dukungan dari suami. Rata-rata pasien yang saya
tangani memiliki semangat untuk sembuh besar. Suami mereka juga sangat
mendukung. “Salah satunya Ibu Maria. Suaminya sangat mendukung sekali. Setiap
kali berobat selalu mengantarkan,” sebutnya.

Pengobatan kanker ini
juga dihadapkan pada pola pikir dan persepsi sebagian besar masyarakat yang
masih tidak tepat. Jadi pasien takut untuk berobat secara medis. Akhirnya
memilih pengobatan nonmedis atau alternatif. Kemudian, setelah parah dan
stadium lanjut yakni stadium tiga dan empat, baru kembali ke pengobatan medis,
ke dokter dan rumah sakit.

“Hampir 90 persen yang
datang ke rumah sakit dan saya tangani, kondisinya sudah stadium tiga dan
empat. Sebagian riwayat pengobatannya dengan alternatif. Sedangkan yang datang
masih stadium awal satu atau dua, tidak sampai sepuluh orang,” ujar dr Faison
kepada Kalteng Pos.

“Jika bisa di stadium
awal, harapan keberhasilannya lebih bagus. Hasil ini berkorelasi dengan
stadium. Makin kecil stadium, makin mudah menangani, makin besar harapan
berhasilnya pengendalian kanker. Dalam bedah tumor atau onkologi, kami tidak
menyebutnya sembuh, tapi terkendali,” ujar dr Faison yang pernah bertugas di
RSUD dr Murdjani Sampit ini. (*/bersambung)

Bayangan menakutkan
kemoterapi dan operasi, menjadi penyebab para penderita kanker payudara memilih
pengobatan alternatif. Akibatnya, para penderita baru mau ke pengobatan medis,
setelah kanker masuk stadium tiga atau empat. Kankernya sudah membesar, dan
kondisi tubuhnya sudah drop.

MOHAMMAD
ISMAIL, Palangka Raya

KAMIS (13/6) pagi pekan
lalu, ruang tunggu Poliklinik Onkologi RSUD dr Doris Sylvanus dipenuhi pasien.
Sebagian besar perempuan. Spesialisasi Bedah Onkologi, dr Faison SpB (K)
Onk  bersama para medis, sudah tiba di
ruangnya. Kalteng Pos, berkesempatan berbincang sebentar dengan beberapa pasien.
Di antaranya Maria Goreti (47) yang baru menjalani operasi dan Fitriayani (42)
yang menjalani kemoterapi.

Maria Goreti (47) satu
dari sekian pasien kanker payudara yang menjalani pengobatan. Pertama kali
masuk ke RSUD dr Doris Sylvanus pertengahan tahun 2018. Kondisinya sudah drop.
Ia harus dibawa menggunakan mobil ambulans, karena ia hanya bisa terbaring.
Kankernya sudah masuk stadium empat.

“Setelah masuk RSUD dr
Doris Sylvanus dilakukan pemeriksaan sampel (biopsy) oleh dr Faison, saya
dinyatakan kanker payudara stadium empat,” ujar Maria setelah ia diperiksa oleh
dokter bedah tumor.

Karena sudah masuk
stadium lanjut, kanker tak bisa langsung dioperasi. Ia menjalani rawat inap
satu bulan. Setelah dibolehkan pulang, ia menjalani rawat jalan dan kemoterapi
setiap 21 hari . Menurut Maria, kemoterapi ini untuk mematikan sel kankernya
agar tidak menyebar sebelum menjalani operasi.

Hampir setahun
menjalani perawatan, kondisi Maria semakin membaik. Awal Februari lalu, Kalteng
Pos sempat berkomunikasi dengan Maria. Ia sudah bisa beraktifitas  normal. 
Setelah memenuhi syarat secara medis, akhir April lalu, akhirnya dr
Faison SpB(K) Onk, melakukan operasi.

“Sudah dioperasi
kankernya. Payudara sudah diangkat. Saat ini sedang menjalani pemulihan dengan
kemoterapi sebanyak 12 kali. Satu kali satu bulan,”ujar Maria yang pagi itu
datang ke Poliklinik Onkologi RSUD dr Doris Sylvanus untuk mengganti perban di
bekas operasi.

Baca Juga :  Resmikan PTSP, Diskusi, dan Pasar Murah

Bagaimana perasaan
Maria setelah operasi? Ia mengaku kondisi fisik dan pikirannya sudah lebih
nyaman. Jika sebelum operasi, ia masih kepikiran kanker yang ada di tubuhnya.
“Jadi sudah lebih ringan. Sudah tidak ada beban lagi, setelah dioperasi,” ujarnya
pagi itu ditemani oleh suaminya, Budi Daya.

Awalnya tahun 2013
Maria  merasakan gatal di benjolan
sekitar payudara. Setelah mencari tahu dan bertanya ke temannya yang dokter,
dicurigai kanker. Namun ketika itu, ia tak berani ke rumah sakit, karena takut
divonis kanker. Seiring waktu, benjolan bertambah besar, dan gatalnya bertambah
parah.

Puncaknya tahun 2017.
Maria drop kondisinya sangat lemah. Saat itu leher tak bisa digerakan. Mulut
tak mampu bicara. Ia hanya terbaring di ranjang. Selang oksigen pun terpasang
untuk membantu bernapas.

“Saya hanya bisa
terbaring. Kondisi sangat lemah. Sampai Juni 2018, saya dapat kunjungan dari dr
Theo ke rumah,” cerita Maria. Ketika itu 
dr Theomendorong agar Maria segera berobat ke RSUD dr Doris Sylvanus.
Meski awalnya takut, karena kondisinya sudah lemah, Maria pun akhirnya bersedia
berobat.

Ditanya tentang rasa
kemoterapi, menurut Maria setiap pasien berbeda-beda. Tergantung daya tahan
tubuh pasien. Ada yang merasakan sakit saat dikemoterapi, ada juga yang tidak.
Namun, efeknya semua pasien hampir sama. Yakni, rambut rontok, tidak selera
makan, dan rasa mual-mual.

“Meski merasakan
dampaknya tidak selera makan dan mual, namun Maria tetap memaksakan untuk
makan. Jika tidak makan, maka tubuhnya akan bertambah drop,”kata Maria.

Baca Juga :  Jadi Ibu Sukses Multitasking di Era Digital

Maria berharap
pengalaman ini tak dialami perempuan lain. Ia pun mengajak perempuan lain tidak
takut periksa ke dokter atau rumah sakit jika menemukan gejala seperti dirinya.
Sebab semakin cepat diketahui, semakin cepat pengobatannya. Diharapkan
penderita kanker tidak berkecil hati dan tetap semangat serta untuk segera
memeriksakan diri sedini mungkin jika ada keluhan.

Menurut dr Faison,
dukungan keluarga, teman-teman sangat penting bagi setiap pasien kanker dalam
proses pengobatan. Terutama dukungan dari suami. Rata-rata pasien yang saya
tangani memiliki semangat untuk sembuh besar. Suami mereka juga sangat
mendukung. “Salah satunya Ibu Maria. Suaminya sangat mendukung sekali. Setiap
kali berobat selalu mengantarkan,” sebutnya.

Pengobatan kanker ini
juga dihadapkan pada pola pikir dan persepsi sebagian besar masyarakat yang
masih tidak tepat. Jadi pasien takut untuk berobat secara medis. Akhirnya
memilih pengobatan nonmedis atau alternatif. Kemudian, setelah parah dan
stadium lanjut yakni stadium tiga dan empat, baru kembali ke pengobatan medis,
ke dokter dan rumah sakit.

“Hampir 90 persen yang
datang ke rumah sakit dan saya tangani, kondisinya sudah stadium tiga dan
empat. Sebagian riwayat pengobatannya dengan alternatif. Sedangkan yang datang
masih stadium awal satu atau dua, tidak sampai sepuluh orang,” ujar dr Faison
kepada Kalteng Pos.

“Jika bisa di stadium
awal, harapan keberhasilannya lebih bagus. Hasil ini berkorelasi dengan
stadium. Makin kecil stadium, makin mudah menangani, makin besar harapan
berhasilnya pengendalian kanker. Dalam bedah tumor atau onkologi, kami tidak
menyebutnya sembuh, tapi terkendali,” ujar dr Faison yang pernah bertugas di
RSUD dr Murdjani Sampit ini. (*/bersambung)

Terpopuler

Artikel Terbaru