Site icon Prokalteng

Pengalaman Mendaki Gunung Merbabu: Duduk Bersama Sosok Mirip Teman di Jalur Pendakian

Ilustrasi-Kisah misteri. (Dok. Jawa Pos)

TAHUN 2015 hobi mendaki gunung mulai populer. Septa dan sembilan temannya pun tertarik dengan aktivitas populer baru itu. Namun, kesan pertama menaklukkan Gunung Merbabu via Selo bukan keindahannya, melainkan langsung bertemu sosok penjaga Batu Tulis.

Saat itu syarat mendaki pun belum seketat sekarang. Tanpa pengalaman dan pengetahuan tentang gunung, mereka bersepuluh nekat mendaki.

Berangkat dari Kota Solo selepas salat Magrib ditunaikan. Perjalanan menuju base camp ditempuh sekitar satu jam. Pukul 20.00 Septa dan kelompoknya memutuskan memulai pendakian.

Perjalanan dari base camp menuju pos 1 terbilang normal. Jalur yang masih didominasi layaknya kebun sedikit demi sedikit memasuki kawasan hutan. Pohon-pohon besar hingga semak-semak mulai terlihat rimbun. Tampak dari sorot lampu senter masih menjangkau cukup jauh.

Saat itu pendakian tergolong masih ramai. Apalagi Sabtu-Minggu. Terdapat beberapa rombongan yang juga memilih mendaki di malam hari. Namun, jaraknya tidaklah berdekatan.

Sekitar satu jam perjalanan, sampailah di pos 1. Sembari meneguk kopi yang dibawa dari base camp, Septa dan rombongannya juga ngemil untuk menambah tenaga.

Sepuluh menit istirahat, perjalanan kembali dilanjutkan menuju pos 2. Jalur semakin lebat. Tidak ada lagi kebun-kebun. Hanya ada semak dan pohon besar. Udara yang semakin dingin pun membuat rombongan ini mengurangi berhenti berjalan.

Tak terasa sampailah mereka di pos 2. Sama seperti istirahat sebelumnya, kopi kembali diteguk. Tak banyak beristirahat karena udara semakin menusuk, mereka memutuskan melanjutkan perjalanan menuju pos 3.

Vegetasi hutan mulai berkurang. Jalur kini lebih terbuka, yang terlihat padang sabana dan pepohonan setinggi dada orang dewasa. Sorot sinar bulan menambah pencahayaan karena sudah tidak terhalang pepohonan.

Namun, tiba-tiba Septa dan teman-temannya saling melirik. Hidung mereka seketika dikagetkan dengan bau yang begitu harum. Aroma itu tidak berlangsung lama, seperti hanya numpang lewat. ”Jika wangi edelweiss jelas bukan karena aromanya sangat menusuk hidung,” katanya.

Tanpa berpikir aneh-aneh, mereka pun terus melanjutkan perjalanan. Hingga sampailah di pos 3. Lahan kosong yang cukup luas ini tidak banyak tenda berdiri. Meski informasinya pos 3 salah satu yang menjadi lokasi pendirian tenda.

Waktu sudah menunjukkan sekitar pukul 23.00. Tenaga sudah terkuras, badan sudah kedinginan. Rasanya ingin bermalam di pos 3. Namun, rombongan memiliki target mendaki sampai puncak. Jika ditempuh dari pos 3 masih jauh. Akhirnya diputuskan bermalam di sabana 1. Jaraknya tidaklah jauh. Tapi harus melewati jalur Batu Tulis. Jalur paling ekstrem pendakian via Selo. Selain terjal, tanjakan itu juga sangat miring.

Rombongan memulai berjalan untuk melewati Batu Tulis. Namun, begitu sampai di tengah, ada anggota yang terpisah. Dua orang dengan jarak 10 meter di paling depan, satu orang di belakangnya, dan tujuh orang memilih istirahat sejenak di paling bawah.

Septa merupakan orang yang berada di tengah itu sendirian. Karena lelah, dia memutuskan istirahat. Duduk di tanah sembari pandangan melihat ke bawah. ”Suara riuh tujuh orang teman saya masih terdengar. Jaraknya paling juga 10 meteran,” katanya.

Setelah melihat ke bawah, Septa lalu menengok ke atas. Mengecek dua temannya yang memilih berjalan duluan. Tidak terlihat senter. Pandangan pun dia sejajarkan kembali dengan tubuhnya. ”Sontak di situ langsung saya kaget kok ini anak di sini, kan tadi sama rombongan bawah,” ujar Septa.

Jarak 1 meter di depannya. Pada gundukan tanah di bawah kaki Septa, duduk seseorang yang menyerupai salah satu temannya. Baju, postur tubuh, syal yang dikenakan, rambut, sama persis. ”Bedanya, dia hanya diam memandang bawah. Beberapa detik saya pandang, ga ada respons,”

Septa pun baru menyadari, suara riuh rombongan di bawah yang sebelumnya keras terdengar menjadi sunyi. Tidak ada suara apa pun di lokasi itu. ”Ga bisa ke mana-mana. Mau lari, tapi jalurnya terjal dan miring banget. Tidak memungkinkan,” katanya.

Yang bisa dia lakukan saat itu hanya berteriak sekencang-kencangnya. Memanggil nama teman yang berada di atas dan di bawah. Tidak ada respons. ”Saat saya berteriak itu sambil menoleh ke atas. Tapi, pas pandangan kembali ke bawah, sosok itu sudah hilang,” imbuhnya.

Anehnya, beberapa detik kemudian, suara tujuh temannya yang ada di bawah kembali riuh. Diikuti mereka yang mulai tampak. ”Akhirnya saya naik bareng mereka,” ucap pria 33 tahun itu.

Gangguan tidak berhenti di situ. Telinga Septa yang sedang mendengarkan musik lewat headset sebelah tiba-tiba ada yang berbisik sangat jelas. ”Hati-hati, jalannya licin.”

Dia mencoba ngobrol dengan teman-temannya untuk mengaburkan apa yang sedang terjadi. Tak terasa sampailah di sabana 1. Tenda pun didirikan dan memasak untuk mengisi perut yang kosong.

Sembari makan, Septa nyeletuk ke teman-temannya. ”Tadi pas aku teriak ada yang dengar tidak?” Temannya pun tidak ada yang mendengar. Padahal jaraknya tidak lebih dari 10 meter. ”Setelah saya teriak itu, hanya berselang tidak sampai dua menit rombongan bawah muncul. Kalau jaraknya jauh, tidak secepat itu,” tutur Septa. (leh/c19/son/jpg)

 

Exit mobile version