Site icon Prokalteng

Hampir Tidak Pernah Megajak Anak Jalan-Jalan, Pulang Temani Istri Mela

hampir-tidak-pernah-megajak-anak-jalan-jalan-pulang-temani-istri-mela

Mereka
patut mendapat apresiasi lebih. Tak banyak waktu berkumpul dengan keluarga.
Bahkan, demi tugas menanggulangi karhutla, ada yang rela tinggalkan istri hamil
tua

 

AGUS PRAMONO, Palangka Raya

 

PERALATAN pemadaman
sudah siap di bak mobil.  Mesin jinjing,
slang, sepatu, bertumpuk menjadi satu. Lima anggota Brigade Pengendalian
Kebakaran Hutan (Brigdalkarhut) sudah bersiap terjun ke lokasi kebakaran yang
memasuki wilayah Taman Nasional Sebangau (TNS). Kemarin siang (22/9), mereka
mendapat adanya titik panas di hutan di Kelurahan Marang, Palangka Raya.

Mobil dobel gardan
bertuliskan Polisi Hutan pun melaju. Untuk sampai ke lokasi, mereka bergerak
dari dalam kota  menuju Jalan Tjilik
Riwut Km 23 Palangka Raya. Belum sampai di situ, petugas harus masuk lagi.
Melewati jalan berkontur tanah pasir. Memiliki lebar empat meter. Melaju dengan
kecepatan sedang. Mengutamakan keselamatan. Tujuh kilometer berlalu, tiba di
lokasi.

Tampak hamparan pohon
sawit berdampingan dengan area TNS. Hanya dibatasi sekat kanal. Kebun sawit itu
separuh sudah ludes dilalap api. Kobaran api diduga berasal dari lahan tidur
persis di belakang kebun sawit.

“Area kami terbakar
juga karena api dari lahan punya warga,”ujar Danbrigdalkarhut TNS, Yussaupin
kepada Kalteng Pos.

Pria yang bekerja di
TNS sejak tahun 2007 itu menyebut, hutan terbakar di TNS tahun ini seluas 123,
67 hektare dari sekitar 500 ribu hektare. Paling luas di Kelurahan Marang.
Berbeda jauh dari karhutla tahun 2015 silam yang mencapai 16 ribu hektare hutan
di TNS terbakar.

“Kami ada 30 personel
dibantu tim yang lain rutin patrol, dengan mengecek kanal, melakukan pembasahan
dan menanggulangi kebakaran,”sebutnya.

Personel brigdalkarhut
langsung bergerak cepat. Siap “tempur”. Mesin jinjing, tiga rol slang ditenteng.
Kaki yang sudah dilindungii sepatu bot melangkah sejauh 400 meter melalui jalan
setapak.

Mesin jinjing merk
Honda diturunkan di pinggir sekat kanal. Airnya tampak sedikit. Warnanya
kemerah-merahan.

Byur…Satu personel
menceburkan diri sambil membawa slang pendek dilengkapi penyaring. Ukuran air
hanya sepinggang orang dewasa.

Sedikit mengalami
kendala. Tebalnya lumpur membuat kedua kaki petugas yang bernama Faulan itu
sulit bergerak. Slang itu pun ditenggelamkan. Mesin dihidupkan oleh rekannya.
Air tak mau keluar. Faulan merespon. Meminta rekannya menarik naik. Dilepas
sepatu bot di kaki kanannya. Air yang ada di dalam sepatu diguyurkan ke dalam
lubang mesin.

“Kita pancing”celetuknya.
Baru guyuran air  yang ada di sepatu kaki
kiri baru berhasil.

Mereka pun melakukan
pembasahan di titik-titik penghasil asap, yang bisa sewaktu-waktu kembali
terbakar. Air keluar tak begitu deras. Akibat air yang disedot tercampur
lumpur. Mereka tak peduli. Terus memegang nosel dan mengarahkan ke sasaran.

Satu jam berlalu, suara
helikopter terdengar pelan, kemudian nyaring. Mendekat ke arah kami. Membawa
air. Lalu mengebom tepat di kepulan asap yang berjarak 400 meter dari kami.
Helikopter waterbombing itu hilir mudik. Tak membiarkan pohon-pohon yang tinggi
menjulang terbakar dan roboh.

Petugas juga manusia.
Dua jam berlalu, sebagian istirahat sejenak. Melemaskan tangan dan
menyelonjorkan kaki yang penat. Mengusap keringat yang bercampur debu yang menempel
di wajah. Membasuh kedua mata yang dirasa sudah pedih oleh kabut asap dengan
air bersih.

Duduk di batang pohon
bekas terbakar, penulis ngobrol dengan mereka. Pertama adalah Faulan. Pria usia
kepala tiga itu di bulan Juli, Agustus, dan September ini super sibuk. Jarang
pulang. Hampir tidak pernah mengajak dua anaknya jalan-jalan mencari
hiburan. 

“Seminggu di hutan
(pemadaman atau patroli, red), pulang sehari beli kebutuhan dapur, lalu pergi
lagi,”katanya, sambil mengusap bulir keringat di keningnya.

Apalagi bulan ini
menjadi bulan yang berat. Berat untuk meninggalkan lama-lama keluarga kecilnya.
Lantaran, istrinya sudah hamil tua. Usia kehamilan sudah memasuki delapan
bulan. Demi tugas menanggulangi karhutla, dirinya rela.

Pria yang terlibat
pemadaman di area TNS empat tahun terakhir ini sedikit sedih, masih ada
karhutla di Kalteng. Tak jarang dirinya dan rekan-rekan menemukan hewan liar di
area TNS yang mati. Seperti ular, dan tenggiling.

“Semoga tidak ada
kebakaran lagi tahun depan,”harapnya.

Kisah totalitas petugas
juga ada di sosok M Widodo. Pemuda 28 tahun itu juga sama dengan rekan satu
regunya. Jarang pulang. Menerobos hutan berkilo-kilometer sudah pernah dilakukan.
Bermalam di hutan pernah dirasakan. Momen haru dan kebanggaan baginya adalah
ketika sempat menemani istri melahirkan, pertengahan bulan September ini.

Setelah sepekan
terlibat pemadaman, pemuda yang bergabung dalam tim pemadaman mulai tahun 2015
itu pulang ke rumah. Sebelum pergi berangkat, tiba-tiba istrinya Rahma Fauziah
merasa perutnya sakit. Merasa sudah waktunya melahirkan. Pemuda berkulit sawo
matang itu pun membawa istrinya ke rumah bersalin.

“Waktu itu Jumat pagi
masih ikut pemadaman.  Malamnya pulang.
Sabtu pagi buta, saya bawa ke rumah sakit. Terus Minggu pagi baru lahir anak
pertama kami yang bernama M Zavier Arsenio Widodo,”ujarnya sambil tersenyum
simpul.

“Tak lama-lama, seingat
saya dua hari setelah itu saya kerja lagi ikut memadamkan,”tambahnya.(*)

Exit mobile version