30 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Cerita Bos Arisan Terlilit Utang hingga Buka Warung Esek-esek

DELAPAN tahun lalu, MT, 43, tiba-tiba ditinggal suaminya. Dia lari bersama perempuan lain. Meninggalkan MT dengan tiga anaknya yang masih kecil-kecil. Anak pertama 11 tahun, anak kedua 9 tahun. Bahkan, anak bungsunya baru lahir saat itu.

Dunia seolah runtuh menimpanya. Saat itu bahkan dikenangnya sebagai masa paling buruk dalam hidupnya. Suami kabur, anak-anak butuh uang. Sementara untuk bekerja di luar kota, MT tidak tega meninggalkan anak-anaknya.

MT sebenarnya aktif dalam kegiatan arisan waktu itu. Dia bahkan seorang juragan arisan. Namun, di saat yang sama arisan yang dikelolanya bangkrut.

“Saya jadi ketua arisan waktu itu. Saya yang bertanggung jawab. Tapi uang banyak dibawa lari anggota. Utang saya pun menumpuk. Total Rp 320 juta. Beban ini saya pikul sendirian,” katanya mengenang.

Saat itu, untuk minta bantuan pada orang tuanya tak mungkin. Sebab, dua tahun sebelum suaminya kabur dan menikah dengan perempuan lain, orang tuanya meninggal.

MT yang berpenampilan kalem ini sempat mencoba bertahan. Seorang diri membesarkan tiga anaknya. Dan sedikit demi sedikit membayar utang arisan akibat ulah anggotanya.

Namun, beban hidup yang berat dan utang yang tak kunjung lunas membuatnya tak tahan. Dia pun kabur dari desanya, tiga tahun silam. Kemudian bersembunyi di sebuah warung di daerah pantura di Kabupaten Probolinggo.

“Dulu warung ini milik SR. Saya kabur ke sini. SR lalu pindah dan menyerahkan warung ini ke saya. Bahkan, izinnya sudah atas nama saya,” katanya.

Memang, tanah yang ditempati warungnya adalah milik negara. Namun, MT tetap merasa beruntung.

“Kalau ingat beban saya dulu, beruntung saya tidak bunuh diri,” guman perempuan berkulit kuning langsat ini.

Baca Juga :  Kisah Pahit Ojol Saat Mendapat Order Fiktif

Meski terbelit masalah hidup, MT tidak pernah berniat mempekerjakan perempuan untuk jadi pemuas nafsu sesaat para lelaki. Kondisi yang menuntunnya menjadi mucikari seperti sekarang.

Saat ia menempati warungnya, sejumlah perempuan muda datang padanya. Berniat bekerja di warungnya. MT pun paham jenis pekerjaan yang dimaksud. Dia pun menerimanya. “Warung kalau tidak ada bunganya, ya tidak ramai. Tidak ada tawon yang datang,” katanya.

Mereka yang bekerja di tempatnya datang silih berganti. Jumlahnya tidak tentu. Kadang tiga orang, kadang satu orang. Beberapa bulan ini bahkan jarang datang.

“Mungkin karena sepi. Kadang tiga hari ada tiga orang. Kadang satu orang. Saat ini cuma satu,” lanjutnya.

MT sendiri mengaku hanya memfasilitasi anak buahnya bekerja. Bahkan, MT tidak pernah terlibat dalam proses transaksi. Transaksi anak buahnya dengan para tamu dilakukan sendiri.

“Untuk sekali transaksi saya dapat Rp 15 ribu, tidak lebih. Ya biaya sewalah. Saya juga tidak pernah minta harga tinggi. Kasihan. Mereka juga mencari uang di sini,” ujarnya.

Selain uang dari anak buahnya, MT mengaku penghasilan warungnya sudah cukup. “Yang datang pasti pesan minum kan. Jadi dari sana penghasilan saya,” ujarnya.

Dari hasil kerjanya itu, sebagian besar utang sudah terbayar. Bahkan, seorang anaknya sudah lulus SMA.

“Alhamdulillah anak pertama saya sudah lulus. Utang saya juga sudah tinggal Rp 98 juta,” ujarnya.

Lain lagi kisah MY, 54. Perempuan periang itu blak-blakan mengisahkan perjalanan hidupnya menjadi mucikari. Dengan dandanan ala tahun 1970-an. Alis diukir hitam pekat dan bedak yang begitu kontras dengan warna kulit.

MY mengaku sudah 17 tahun menjadi mucikari. Saat usianya 37 tahun. Kala itu, AM suaminya meninggal. MY yang sedang hamil tua harus berjuang seorang diri membesarkan anak bungsunya.

Baca Juga :  Sempat Bangkrut, Pernah Ditipu Rp2-3 Miliar

“Karena tidak ada bapaknya, saya bekerja seperti ini. Ini untuk membesarkan dan membiayai sekolah anak. Saat ini anak yang terakhir sudah kelas dua SMA,” ujarnya.

Saat itu, MY berjualan sendirian di warungnya. Warung yang bertahan hingga saat ini di jalur pantura di Kabupaten Probolinggo.

Saat membuka warungnya, MY pun mengaku didatangi sejumlah perempuan yang mengatakan ingin bekerja di warungnya. Apalagi kalau bukan menjadi pekerja seks komersial (PSK). MY pun menerima para perempuan itu bekerja. Alasannya untuk menambah penghasilan.

Maka MY pun menyiapkan tempat bagi para perempuan itu untuk bekerja. Melayani lelaki hidung belang yang datang pada mereka.

“Setiap ada tamu saya dapat Rp 20 ribu. Tapi saya dak tahu mereka dapat berapa ya. Jadi kalau dak ada kembangnya, warung kan memang tidak ramai,” ujarnya.

Jumlah PSK di warungnya juga pasang surut. Namun, saat ini sudah lama anak buahnya tak datang ke tempatnya.

“Sudah hampir sepekan tak datang. Kabarnya sudah ada yang kerja enak di pabrik. Ya syukur bisa ada di jalan yang bagus,” ujarnya lagi sembari tertawa.

Meski terkesan menikmati, MT maupun MY mengaku sejatinya tidak tenang menjalani profesinya. Namun, karena kebutuhan ekonomi yang tinggi, mereka pun nekat.

Selain itu, para mucikari ini telah beberapa kali terjaring razia Satpol PP Kabupaten Probolinggo. Lagi-lagi, karena alasan kebutuhan hidup mereka kembali ke jalan tersebut.

“Ya tidak takut, tapi tidak nantang juga. Seperti nelayan saja kan. Kalau mereka takut ombak, takut kapal karam, kapan bisa dapat ikan,” ujar MY. 

DELAPAN tahun lalu, MT, 43, tiba-tiba ditinggal suaminya. Dia lari bersama perempuan lain. Meninggalkan MT dengan tiga anaknya yang masih kecil-kecil. Anak pertama 11 tahun, anak kedua 9 tahun. Bahkan, anak bungsunya baru lahir saat itu.

Dunia seolah runtuh menimpanya. Saat itu bahkan dikenangnya sebagai masa paling buruk dalam hidupnya. Suami kabur, anak-anak butuh uang. Sementara untuk bekerja di luar kota, MT tidak tega meninggalkan anak-anaknya.

MT sebenarnya aktif dalam kegiatan arisan waktu itu. Dia bahkan seorang juragan arisan. Namun, di saat yang sama arisan yang dikelolanya bangkrut.

“Saya jadi ketua arisan waktu itu. Saya yang bertanggung jawab. Tapi uang banyak dibawa lari anggota. Utang saya pun menumpuk. Total Rp 320 juta. Beban ini saya pikul sendirian,” katanya mengenang.

Saat itu, untuk minta bantuan pada orang tuanya tak mungkin. Sebab, dua tahun sebelum suaminya kabur dan menikah dengan perempuan lain, orang tuanya meninggal.

MT yang berpenampilan kalem ini sempat mencoba bertahan. Seorang diri membesarkan tiga anaknya. Dan sedikit demi sedikit membayar utang arisan akibat ulah anggotanya.

Namun, beban hidup yang berat dan utang yang tak kunjung lunas membuatnya tak tahan. Dia pun kabur dari desanya, tiga tahun silam. Kemudian bersembunyi di sebuah warung di daerah pantura di Kabupaten Probolinggo.

“Dulu warung ini milik SR. Saya kabur ke sini. SR lalu pindah dan menyerahkan warung ini ke saya. Bahkan, izinnya sudah atas nama saya,” katanya.

Memang, tanah yang ditempati warungnya adalah milik negara. Namun, MT tetap merasa beruntung.

“Kalau ingat beban saya dulu, beruntung saya tidak bunuh diri,” guman perempuan berkulit kuning langsat ini.

Baca Juga :  Kisah Pahit Ojol Saat Mendapat Order Fiktif

Meski terbelit masalah hidup, MT tidak pernah berniat mempekerjakan perempuan untuk jadi pemuas nafsu sesaat para lelaki. Kondisi yang menuntunnya menjadi mucikari seperti sekarang.

Saat ia menempati warungnya, sejumlah perempuan muda datang padanya. Berniat bekerja di warungnya. MT pun paham jenis pekerjaan yang dimaksud. Dia pun menerimanya. “Warung kalau tidak ada bunganya, ya tidak ramai. Tidak ada tawon yang datang,” katanya.

Mereka yang bekerja di tempatnya datang silih berganti. Jumlahnya tidak tentu. Kadang tiga orang, kadang satu orang. Beberapa bulan ini bahkan jarang datang.

“Mungkin karena sepi. Kadang tiga hari ada tiga orang. Kadang satu orang. Saat ini cuma satu,” lanjutnya.

MT sendiri mengaku hanya memfasilitasi anak buahnya bekerja. Bahkan, MT tidak pernah terlibat dalam proses transaksi. Transaksi anak buahnya dengan para tamu dilakukan sendiri.

“Untuk sekali transaksi saya dapat Rp 15 ribu, tidak lebih. Ya biaya sewalah. Saya juga tidak pernah minta harga tinggi. Kasihan. Mereka juga mencari uang di sini,” ujarnya.

Selain uang dari anak buahnya, MT mengaku penghasilan warungnya sudah cukup. “Yang datang pasti pesan minum kan. Jadi dari sana penghasilan saya,” ujarnya.

Dari hasil kerjanya itu, sebagian besar utang sudah terbayar. Bahkan, seorang anaknya sudah lulus SMA.

“Alhamdulillah anak pertama saya sudah lulus. Utang saya juga sudah tinggal Rp 98 juta,” ujarnya.

Lain lagi kisah MY, 54. Perempuan periang itu blak-blakan mengisahkan perjalanan hidupnya menjadi mucikari. Dengan dandanan ala tahun 1970-an. Alis diukir hitam pekat dan bedak yang begitu kontras dengan warna kulit.

MY mengaku sudah 17 tahun menjadi mucikari. Saat usianya 37 tahun. Kala itu, AM suaminya meninggal. MY yang sedang hamil tua harus berjuang seorang diri membesarkan anak bungsunya.

Baca Juga :  Sempat Bangkrut, Pernah Ditipu Rp2-3 Miliar

“Karena tidak ada bapaknya, saya bekerja seperti ini. Ini untuk membesarkan dan membiayai sekolah anak. Saat ini anak yang terakhir sudah kelas dua SMA,” ujarnya.

Saat itu, MY berjualan sendirian di warungnya. Warung yang bertahan hingga saat ini di jalur pantura di Kabupaten Probolinggo.

Saat membuka warungnya, MY pun mengaku didatangi sejumlah perempuan yang mengatakan ingin bekerja di warungnya. Apalagi kalau bukan menjadi pekerja seks komersial (PSK). MY pun menerima para perempuan itu bekerja. Alasannya untuk menambah penghasilan.

Maka MY pun menyiapkan tempat bagi para perempuan itu untuk bekerja. Melayani lelaki hidung belang yang datang pada mereka.

“Setiap ada tamu saya dapat Rp 20 ribu. Tapi saya dak tahu mereka dapat berapa ya. Jadi kalau dak ada kembangnya, warung kan memang tidak ramai,” ujarnya.

Jumlah PSK di warungnya juga pasang surut. Namun, saat ini sudah lama anak buahnya tak datang ke tempatnya.

“Sudah hampir sepekan tak datang. Kabarnya sudah ada yang kerja enak di pabrik. Ya syukur bisa ada di jalan yang bagus,” ujarnya lagi sembari tertawa.

Meski terkesan menikmati, MT maupun MY mengaku sejatinya tidak tenang menjalani profesinya. Namun, karena kebutuhan ekonomi yang tinggi, mereka pun nekat.

Selain itu, para mucikari ini telah beberapa kali terjaring razia Satpol PP Kabupaten Probolinggo. Lagi-lagi, karena alasan kebutuhan hidup mereka kembali ke jalan tersebut.

“Ya tidak takut, tapi tidak nantang juga. Seperti nelayan saja kan. Kalau mereka takut ombak, takut kapal karam, kapan bisa dapat ikan,” ujar MY. 

Terpopuler

Artikel Terbaru