Tahun 1995, Bejo
menyampaikan niatnya untuk berhenti bekerja dan ingin mandiri. Jelas saja Koh
Han kaget dan khawatir akan nasib Bejo selanjutnya. Padahal, saat minta izin
itu, Bejo sudah punya usaha ayam sebanyak 1.000 ekor.
SUDIYONO,
Palangka
Raya
USAHA Bejo tak
bertahan lama akibat terdampak krisis moneter tahun 1996-1997. Saat itu harga
pakan sangat tinggi, sebaliknya harga penjualan rendah. Bejo jatuh bangkrut
dengan menyisakan uang Rp1,5 juta di tangannya.
Bejo pun terpaksa
menjual sepeda motor Honda CB 75 yang sudah dimodifnya. Dijual seharga Rp600
ribu. Padahal motor itu dibelinya Rp900 ribu dan menghabiskan Rp400 ribu untuk
biaya modifikasinya.
Dengan berbekal uang itulah,
Bejo nekat merantau ke Kalimantan. Sudah barang tentu tanpa pamit. Sesampai di
Palangka Raya, Bejo bingung. Berbekal uang Rp900 ribu sebagai modal, dia
membeli sepeda dan buah-buahan di pasar. Bejo merintis usaha dengan berjualan
pencok buah keliling. Bejo yang saat itu tinggal dengan keluarganya di Jalan G
Obos, berjualan pencok di kawasan Bukit Hindu.
Rupanya di Bukit Hindu itu
Bejo bingung mencari jalan pulang dan tersesat hingga menjelang malam. Saat malam,
barulah Bejo bisa menemukan Jalan Tjilik Riwut melalui Jalan Kelud, samping
Mapolda Kalteng. Begitu sampai di jalan besar, Bejo tak tahu arah jalan pulang.
Ia bertanya kepada seorang tukang bakso, yang malah menyesatkannya sampai
Tangkiling.
Sesampai di Tangkiling,
Bejo bertanya-tanya pada warga sekitar. Akhirnya ia balik arah ke Palangka Raya.
Yang diingatnya dalah jalan yang biasa dilalui ke pasar. Karena itu, dia
memutuskan untuk langsung ke pasar belanja buah-buahan. Bejo tiba di rumah
pukul 23.00 WIB dan langsung dimarahi keluarganya.
Tahun 1999, Bejo
diminta pulang ke Jawa. Rupanya Bejo mau dinikahkan dengan gadis pilihan orang tuanya.
“Istri saya itu pilihan Allah melalui perantara orang tua saya. Dia mau jadi
istri saya dan diajak kerja keras, dengan catatan saya harus salat lima waktu.
Saya jawab saat itu, gampang kalau cuma salat lima waktu. Tapi praktiknya saya
belum salat juga,†katanya tersenyum.
Setelah nikah, dengan
modal awal Rp900 ribu, Bejo dan sang istri mulai merintis kehidupan baru di
Palangka Raya. Keduanya tinggal di sebuah barak hingga lahirnya anak pertama. Pada
2001, saat terjadi kerusuhan di Sampit, istri dan anaknya dipulangkan ke Jawa.
Sebab, barak sewaannya ikut menjadi korban pembakaran.
Saat itu, Bejo sudah
punya sepeda motor Honda Supra. Sepeda motor itu dijualnya. Dengan menjual
sepeda motor itu, dia mendapat untung Rp400 ribu. Dari sinilah Bejo menemukan
jalan untuk menekuni bisnis otomotif. Sejak saat itu Bejo mulai sering membeli
motor bekas, membersihkan, lalu menjualnya kembali. Begitu seterusnya. Hingga
akhirnya dia mempunyai cukup modal untuk join bisnis dengan orang lain. Dari
modal Rp100 juta, Rp25 juta digunakannya untuk membuka showroom sepeda motor
bekas di Jalan Diponegoro, depan RSAD.
Dalam perjalanannya
timbul ketidakcocokan dengan rekan join bisnisnya. Bejo memutuskan menghentikan
joinnya. Berdiri sendiri. Karena sangat getol memburu motor lelang, Bejo sering
dijuluki sebagai orang gila.
“Karena dalam mengikuti
lelang tidak pernah berhitung. Misalnya dalam 10 unit ada tujuh yang rusak
parah, dan hanya tiga yang baik, tetap saya ambil. Sementara peserta lelang yang
lain masih hitung-hitung,†cerita Bejo.
Showroom motor milik
Bejo terus berkembang. Tak kurang dari 100 unit sepeda motor terpajang. Meski
demikian, Bejo tetaplah bekerja keras. Mesih berjualan pencok keliling. Tak
hanya itu, Bejo masih berburu buah jambu ke rumah-rumah warga. Dia membeli bahkan
memetik sendiri. Tak kenal waktu. Bahkan malam hari masih mau memanjat pohon
jambu.
Seiring terus
membaiknya omzet usaha, Bejo mulai melirik kendaraan roda empat. Mobil pertama yang
dibelinya adalah Suzuki Katana Long. Sebenarnya mobil ini untuk dipakainya
sendiri. Akan tetapi, bersama mobil itu dia pernah ditabrak angkot di depan
PDAM Jalan A Yani. Sempat pula masuk parit di Jalan Seth Adji. Setelah
diperbaiki, akhirnya mobil itu dijualnya. Selanjutnya dia membeli mobil Toyota
Kijang LGX seharga Rp90 juta. Mobil itu dijual kembali dengan keuntungan yang sedikit.
Lebih sedikit dari rata-rata orang lain menjualnya. Beli lagi, jual lagi. Beli
lagi, jual lagi. Begitu seterusnya.
Sejak saat itu, Bejo
mulai fokus di usaha roda empat. Dia mulai mengurangi membeli kendaraan roda
dua.Hingaa akhirnya tahun 1998, berdirilah showroom mobil Bejo Motor. Semenjak itu
bisnisnya terus berkembang. Omzet terus menggelembung. Bejo menjadi pengusaha
yang tak bisa dipandang sebelah mata di Palangka Raya. Meski begitu, ia tetap
sosok yang sederhana. Sosok yang pekerja keras. Tetap menjadi mantan paman
penjual pencok keliling.
Sekitar tahun 2010,
Bejo ditipu mitra bisnisnya di Jakarta. Dia mengalami kerugian Rp2-3 miliar.
Sebagai seorang yang terlahir dari keluarga yang beragama, Bejo berusaha tabah
atas peristiwa itu. Dia mengadukan masalahnya kepada orang tua di Jawa. Orang tuanya
pun tak tahu jika Bejo telah menjadi pengusaha besar. Yang mereka tahu; Bejo
hanyalah penjual pencok.
Dalam situasi itu, sang
istri tidak membiarkan suaminya terus terpuruk. Selalu menguatkan. Terus-menerus
mengingatkan Bejo pentingnya pegangan agama. Sang istri juga tak
bosan-bosannya, selalu dan selalu menegur suaminya jika belum membayar zakat. Begitu
pun dengan sang ayah di Jawa yang selalu menanyakan bejo soal amalan agama.
“Saya ditanya bagaimana
salatmu? Saya jawab kalau ingat. Bagaimana zakatmu? Saya jawab tidak mudeng (tidak paham). Saya ditanya
bagaimana kurbanmu? Saya jawab tidak mudeng.
Akhirnya saya dikasih tahu ayah, kalau zakat harta itu 2,5 persen,†ceritanya.
Sejak saat itulah, Bejo mulai merintis kehidupan
religi baru, yang sebenarnya senantiasa diingatkan istrinya sejak awal menikah.
Bejo mulai menjalani perintah agama sebagaimana saran orang tua dan sang istri.
Dia membeli sapi untuk kurban, membayar zakat, dan senantiasa bersedekah. (ce/bersambung)