Labuan Bajo dikenal dengan wisata
alamnya yang eksotis. Namun, warga setempat ingin budaya mereka juga mampu
menjadi daya pikat. Desa Liang Ndara siap dikunjungi untuk mendapati pesona
itu.
DEBORA
DANISA SITANGGANG, Labuan
Bajo, Jawa Pos
JARAKNYA hanya 30 menit dari pusat-Labuan Bajo. Naik
bukit ke arah tenggara, Desa Liang Ndara berdiri cantik. Memang fisik desa itu
belum semeriah yang dibayangkan seperti desa wisata. Namun, pemandangan khas
perbukitannya menarik pemerintah setempat untuk menyulap desa tersebut menjadi
pusat wisata budaya.
Tamu akan disambut papan penanda yang sudah dihias
warna-warni di depan kampung. Karena terletak di perbukitan, jalanan dalam
kampung pun cukup curam. Tersusun dari petak-petak batu, alih-alih aspal atau
jalan tanah.
Untuk sementara, tidak ada bangunan utama semacam
gedung serbaguna untuk menerima pengunjung. Wisatawan bisa datang ke rumah
warga langsung. Salah satu yang kerap didatangi dan jadi semacam base camp
adalah rumah milik Kristoforus Nison, akrab disapa Kristo.
Kristo merupakan pemimpin sanggar bernama Riang Tana
Tiwa. Nama itu punya arti â€menjaga warisan leluhurâ€. Riang Tana Tiwa hanya satu
dari enam sanggar masyarakat yang ada di sekitar wilayah Melo, tempat Desa
Liang Ndara berada. Dari sanggar-sanggar itulah budaya setempat bertahan dan
dilestarikan.
Rumah Kristo bertingkat dua. Dengan ruang pertemuan
kecil berlantai kayu di lantai bawah. Ada halaman berumput hijau khusus untuk
mengadakan penyambutan tamu. Halaman itu bisa dilihat leluasa dari lantai 2
rumahnya yang berbentuk teras kayu. Di teras itulah para tamu biasanya
dipersilakan duduk dan menikmati suguhan budaya Liang Ndara.
Sabtu (7/12) pagi itu Kristo dan warga lainnya
kedatangan tamu dari dinas pariwisata kabupaten/kota se-Provinsi Riau.
Kebetulan, anggota sanggar yang juga warga setempat sudah bersiap dengan
dandanan dan kostum mereka untuk menyambut para tamu. Penari perempuan
mengenakan satin hijau muda. Sementara penari laki-laki bertelanjang dada
dengan sarung tenun dan hiasan kepala.
Menari adalah salah satu roh utama seni budaya di desa
tersebut. â€Bahkan, 80 persen warga di sini semuanya bisa menari, main musik,
dan nyanyi,†ujarnya. Meski begitu, warga Liang Ndara menganggap kegiatan
masyarakat dengan kearifan lokal lainnya, seperti bercocok tanam atau berkebun,
juga termasuk dalam seni budaya.
Ada yang menarik dalam acara penyambutan itu.
Bapak-bapak yang menari diiringi musik, yang semuanya dimainkan ibu-ibu. Sudah
seperti pemain gamelan di Jawa, tangan ibu-ibu tersebut begitu lincah menabuh
alat perkusi tradisional dan mengiringi laki-laki yang menari caci.
Tari caci adalah salah satu tarian utama dalam
rangkaian penyambutan tamu di Liang Ndara. Kristo menjelaskan, ada beberapa
versi caci di Manggarai Barat. Ada yang menganggapnya tarian perang. Tetapi, di
Liang Ndara, caci dianggap sebagai bentuk rasa syukur dan penghormatan terhadap
Sang Pencipta.
Penari caci dibekali dua perlengkapan. Satu berbentuk
busur panjang dan satu perisai. Perisai disebut toda, yang merupakan simbol
bumi. Sementara busur disebut koret, simbol langit. Filosofinya, manusia semua
hidup di bawah langit dan di atas bumi yang sama. â€Sehingga tidak mungkin kita
diberi cobaan melebihi kemampuan kita, melebihi langit atau bumi,†jelas
Kristo.
Caci tidak boleh ditarikan perempuan. Itulah yang
membuat para perempuan menjadi pemain musik. â€Sebenarnya kalau yang main
(musik) laki-laki tidak masalah. Tapi, di sini rohnya sudah seperti itu bahwa
yang main musik adalah perempuan,†terangnya. Bukan cuma tari caci yang mereka
iringi. Semua tarian juga, termasuk tarian yang dimainkan warga perempuan
lainnya.
Sebagai perintis desa wisata budaya, warga Liang Ndara
mulai berbenah. Mereka otomatis akan menyajikan pertunjukan seni tari lengkap
sebagai paket wisata. Selain caci, mereka menarikan tari panen dan tari bambu.
Bahkan, dalam tari bambu, di mana para penari melompati bambu yang bergerak,
para tamu juga bisa ikut. Menjajal ketangkasan.
Dengan pemandangan eksotis, pemerintah setempat
berpikir untuk mengembangkan wisata yang melibatkan pengunjung dalam kehidupan
warga lokal. Alih-alih hotel sebagai tempat penginapan, mereka bakal
menyediakan homepod. Baru ada satu yang sudah terpasang di desa itu, tidak jauh
dari gerbang desa.
Bentuknya unik. Seperti telur. Di dalamnya terdapat
dua lantai, yang salah satunya dipakai untuk tempat tidur. Homepod itu bisa
dibongkar. Supaya wisatawan bisa memilih lokasi mana di desa untuk menginap
dalam homepod.
â€Itu bisa dipindahkan. Tinggal dibongkar, kemudian
dipasang lagi di tempat lain. Sekarang sedang musim model wisata yang nomaden
atau berpindah tempat begitu,†jelas Kepala Dinas Pariwisata Manggarai Barat
Agustinus Rinus.
Desa tersebut memang belum seramai wisata laut Labuan
Bajo. Namun, warga dan pemerintah terus berbenah. Pada 2020 jumlah homepod akan
ditambah. Gedung pusat wisata budaya akan dibangun. Jumlah wisatawan diharapkan
semakin meningkat. Bagi yang berkunjung ke Labuan Bajo, sempatkan mampir ke
desa wisata budaya itu. Sebab, bukan hanya alamnya, budayanya juga tak kalah
menawan.