31.7 C
Jakarta
Saturday, April 27, 2024

Memadukan Seni dengan Selera Pelanggan

Meski bekerja hanya mengandalkan pesanan,
Ahmad John Yonata tak pernah merasa jenuh. Tetap menekuni pekerjaannya meski
telah puluhan tahun. Menghasilkan karya dengan bermodal peralatan seadanya.

 

AINUR
ROFIQ
,
Palangka Raya

 

LAMPU neon 20 watt menyala terang di atas kepala
Ahmad John Yonata. Tangan kanan memegang alat pelebur, sementara tangan kirinya
memegang jepitan. Sore itu, Oong – sapaan akrab Ahmad John Yonata- sedang
mengolah emas batangan menjadi olahan emas siap jual. Di ruangan berukuran 3×5
meter itu, mata Oong lebih sering menatap emas yang diletakkan di atas batu
bata untuk dilebur. 

Ruangan itu berada di bagian depan rumahnya yang
terletak di sekitar Jalan Rajawali. Ada dua meja yang dipergunakan untuk
menaruh peralatan tradisional untuk mengolah emas. Di meja lainnya, terlihat
secangkir kopi hitam yang menjadi teman setianya dalam mencari ide dan
inspirasi.

Kakek berusia 67 tahun itu sudah menjadi
pengrajin emas sejak 1968 silam. Tepat setelah lulus sekolah menengah atas
(SMA). Ilmu itu didapatnya dari orang tua.

Pada usianya yang sudah uzur, pria kelahiran
Kuala Kapuas ini tetap semangat menekuni pekerjaannya. Bukan karena upah yang
didapatnya terbilang cukup lumayan, tapi memang ia sangat mencintai seni dalam
membuat kerajinan berbahan baku emas. Kalung, gelang, dan cincin merupakan buah
karyanya.

Usai memang tak bisa dibohongi. Ketika masa
mudanya, ia mampu membuat 30 cincin polos dalam sehari. Sedangkan untuk kalung,
dalam sehari bisa menghasilkan dua.

“Kalau sekarang, untuk membuat gelang saja
saya butuh waktu tiga hari,” ujarnya kepada Kalteng pos.

Baca Juga :  Kisah Pilu Empat Bersaudara Meninggal Beruntun karena Covid-19

Menurut Oong, sehari-hari ia mengandalkan pesanan
dari pemilik toko emas di Pasar Besar, Kota Palangka Raya. Kebetulan, ketika
penulis menemaninya membuat olahan emas, ia mendapat pesanan untuk membuat
sebuah cincin, kalung, serta gelang dari emas murni 99 seberat 100 gram. Pemesan
biasanya menyerahkan batangan emas murni 99.

Dalam membuat kerajinan, kakek yang sudah punya
empat cucu itu masih menggunakan peralatan tradisional. Digerakkan secara
manual. Meski dengan peralatan jauh dari kata modern, Oong bukan hanya bisa
menghasilkan karya perhiasan emas polos. Kakek berkaca mata itu juga bisa
membuat motif ukir dan abjad, motif-motif kekinian, serta mengkuti selera
pelanggan.

“Dalam pengerjaan, saya tetap memadukan seni
dan selera pelanggan,” ungkapnya.

Upah yang didapat relatif. Tergantung dari
hitungan berat emas. “Satu gram emas dihargai Rp10 ribu,” sebutnya seraya
menyeruput kopi.

 

Pria kelahiran 1952 itu pun memperlihatkan
proses pembuatan. Ada perkakas sederhana yang sudah ia modifikasi. Sisanya menggunakan
peralatan modern seperti alat pres, kikir, dan sikat emas. Tak ada oven  atau alat pencetak. Hanya ada pelat besi untuk
membuat dan mengukur ketebalan. Emas itu dileburkan dengan api dari las, serta
dibantu dengan pompa yang diinjak-injak agar bisa menghasilkan api yang lebih
besar. Dengan cara demikian, proses peleburan emas bisa menjadi lebih cepat.

Pompa yang dimaksud adalah kempusan, sebuah pompa
yang dihubungkan dengan slang untuk mengeluarkan angin. Sistem kerjanya seperti
pedal gas. Semakin cepat diinjak, maka semakin banyak angin yang mendorong
bensin keluar dari tangki, lalu menyemburkan api dari las.

Baca Juga :  Konsistensi Merawat Literasi dan Keberagaman

Setelah melebur, cairan panas itu dituangkan
ke pipa kecil yang setengah bagiannya terbuka. Lalu dimasukkan ke air. Emas pun
tercetak panjang. Selanjutnya digiling hingga menjadi lempengan pipih dan
panjang. Proses tersebut dilakukan berulang-ulang hingga berbentuk seperti
kawat tebal.

Para pengrajin emas atau kawat menggunakan
sebuah pelat besi dengan 39 lubang berbeda-beda ukuran. Mulai dari 0,26 mm
hingga 2,8 mm. Alat inilah yang digunakan untuk meratakan ketebalan kawat emas.

Setelah kawat emas menjadi sama tebal, salah
satu ujung kawat diletakkan ke alat penjepit bor yang ujungnya terdapat roda
gigi. Otomatis ketika diputar, kawat emas itu akan melilit spiral. Selanjutnya,
kawat yang berbentuk per (pegas) itu dipotong untuk menghasilkan lingkaran.

“Satu demi satu kepingan itu digabung menggunakan
penjepit, membentuk rantai panjang. Pada tahap ini, ketelitian dan kerapian
sangat diperlukan. Jika telah selesai dipatri dengan bubuk emas, selanjutnya dipanaskan
kembali supaya menyatu. Agar terlihat rapi, dikikir kembali kalung emasnya.
Cukup mudah kan membuat rantai emas,” ucapnya sembari tertawa kecil..

Soal durasi waktu pembuatan, menurut Oong,
sangat tergantung pada tingkat kerumitan motif. Misalnya, cincin yang relatif
kecil, tentu saja berbeda dengan kalung corak rantai. Cincin yang sederhana
desainnya akan lebih cepat proses pembuatannya dibandingkan membuat kalung yang
bisa memakan waktu berhari-hari. (ce/ram)

Meski bekerja hanya mengandalkan pesanan,
Ahmad John Yonata tak pernah merasa jenuh. Tetap menekuni pekerjaannya meski
telah puluhan tahun. Menghasilkan karya dengan bermodal peralatan seadanya.

 

AINUR
ROFIQ
,
Palangka Raya

 

LAMPU neon 20 watt menyala terang di atas kepala
Ahmad John Yonata. Tangan kanan memegang alat pelebur, sementara tangan kirinya
memegang jepitan. Sore itu, Oong – sapaan akrab Ahmad John Yonata- sedang
mengolah emas batangan menjadi olahan emas siap jual. Di ruangan berukuran 3×5
meter itu, mata Oong lebih sering menatap emas yang diletakkan di atas batu
bata untuk dilebur. 

Ruangan itu berada di bagian depan rumahnya yang
terletak di sekitar Jalan Rajawali. Ada dua meja yang dipergunakan untuk
menaruh peralatan tradisional untuk mengolah emas. Di meja lainnya, terlihat
secangkir kopi hitam yang menjadi teman setianya dalam mencari ide dan
inspirasi.

Kakek berusia 67 tahun itu sudah menjadi
pengrajin emas sejak 1968 silam. Tepat setelah lulus sekolah menengah atas
(SMA). Ilmu itu didapatnya dari orang tua.

Pada usianya yang sudah uzur, pria kelahiran
Kuala Kapuas ini tetap semangat menekuni pekerjaannya. Bukan karena upah yang
didapatnya terbilang cukup lumayan, tapi memang ia sangat mencintai seni dalam
membuat kerajinan berbahan baku emas. Kalung, gelang, dan cincin merupakan buah
karyanya.

Usai memang tak bisa dibohongi. Ketika masa
mudanya, ia mampu membuat 30 cincin polos dalam sehari. Sedangkan untuk kalung,
dalam sehari bisa menghasilkan dua.

“Kalau sekarang, untuk membuat gelang saja
saya butuh waktu tiga hari,” ujarnya kepada Kalteng pos.

Baca Juga :  Kisah Pilu Empat Bersaudara Meninggal Beruntun karena Covid-19

Menurut Oong, sehari-hari ia mengandalkan pesanan
dari pemilik toko emas di Pasar Besar, Kota Palangka Raya. Kebetulan, ketika
penulis menemaninya membuat olahan emas, ia mendapat pesanan untuk membuat
sebuah cincin, kalung, serta gelang dari emas murni 99 seberat 100 gram. Pemesan
biasanya menyerahkan batangan emas murni 99.

Dalam membuat kerajinan, kakek yang sudah punya
empat cucu itu masih menggunakan peralatan tradisional. Digerakkan secara
manual. Meski dengan peralatan jauh dari kata modern, Oong bukan hanya bisa
menghasilkan karya perhiasan emas polos. Kakek berkaca mata itu juga bisa
membuat motif ukir dan abjad, motif-motif kekinian, serta mengkuti selera
pelanggan.

“Dalam pengerjaan, saya tetap memadukan seni
dan selera pelanggan,” ungkapnya.

Upah yang didapat relatif. Tergantung dari
hitungan berat emas. “Satu gram emas dihargai Rp10 ribu,” sebutnya seraya
menyeruput kopi.

 

Pria kelahiran 1952 itu pun memperlihatkan
proses pembuatan. Ada perkakas sederhana yang sudah ia modifikasi. Sisanya menggunakan
peralatan modern seperti alat pres, kikir, dan sikat emas. Tak ada oven  atau alat pencetak. Hanya ada pelat besi untuk
membuat dan mengukur ketebalan. Emas itu dileburkan dengan api dari las, serta
dibantu dengan pompa yang diinjak-injak agar bisa menghasilkan api yang lebih
besar. Dengan cara demikian, proses peleburan emas bisa menjadi lebih cepat.

Pompa yang dimaksud adalah kempusan, sebuah pompa
yang dihubungkan dengan slang untuk mengeluarkan angin. Sistem kerjanya seperti
pedal gas. Semakin cepat diinjak, maka semakin banyak angin yang mendorong
bensin keluar dari tangki, lalu menyemburkan api dari las.

Baca Juga :  Konsistensi Merawat Literasi dan Keberagaman

Setelah melebur, cairan panas itu dituangkan
ke pipa kecil yang setengah bagiannya terbuka. Lalu dimasukkan ke air. Emas pun
tercetak panjang. Selanjutnya digiling hingga menjadi lempengan pipih dan
panjang. Proses tersebut dilakukan berulang-ulang hingga berbentuk seperti
kawat tebal.

Para pengrajin emas atau kawat menggunakan
sebuah pelat besi dengan 39 lubang berbeda-beda ukuran. Mulai dari 0,26 mm
hingga 2,8 mm. Alat inilah yang digunakan untuk meratakan ketebalan kawat emas.

Setelah kawat emas menjadi sama tebal, salah
satu ujung kawat diletakkan ke alat penjepit bor yang ujungnya terdapat roda
gigi. Otomatis ketika diputar, kawat emas itu akan melilit spiral. Selanjutnya,
kawat yang berbentuk per (pegas) itu dipotong untuk menghasilkan lingkaran.

“Satu demi satu kepingan itu digabung menggunakan
penjepit, membentuk rantai panjang. Pada tahap ini, ketelitian dan kerapian
sangat diperlukan. Jika telah selesai dipatri dengan bubuk emas, selanjutnya dipanaskan
kembali supaya menyatu. Agar terlihat rapi, dikikir kembali kalung emasnya.
Cukup mudah kan membuat rantai emas,” ucapnya sembari tertawa kecil..

Soal durasi waktu pembuatan, menurut Oong,
sangat tergantung pada tingkat kerumitan motif. Misalnya, cincin yang relatif
kecil, tentu saja berbeda dengan kalung corak rantai. Cincin yang sederhana
desainnya akan lebih cepat proses pembuatannya dibandingkan membuat kalung yang
bisa memakan waktu berhari-hari. (ce/ram)

Terpopuler

Artikel Terbaru