PALANGKARAYA, PROKALTENG.CO – Dedikasi tinggi dalam bertugas melayani masyarakat, sudag tertanam dalam jiwa para petugas pemadam kebakaran. Keberanian dalam menjinakkan kobaran api, ternyata harus dimiliki setiap pemadam. Bahkan ada sisi lain yang tak banyak diungkap ketika mereka harus berkorban dan merelakan luka yang diterima akibat menjalankan tugas mulianya itu.
Ya, Kasek Pengendalian Operasi dan Komunikasi Penyelamatan, Dinas Pemadam Kebakaran dan Penyelamatan (DPKP) Kota Palangkaraya, Sucipto misalnya. Salah satu sosok petugas pemadam kebakaran di Kota Palangkaraya ini yang memiliki dedikasi tinggi tersebut. Tak heran, jika ia diganjar penghargaan Aparatur Sipil Negara (ASN) terbaik oleh Pemerintah Kota (Pemko) Palangkaraya pada 2023 lalu.
“Dulu saya berpendidikan SLTA sebagai tenaga relawan pemadam kebakaran dan saya diangkat menjadi tenaga relawan tahun 1993. Saat itu masih SMA saya. Tahun 1993-1998 saya menjadi tenaga honorer di tahun 1998-2006. Tahun 2006 saya diangkat sebagai CPNS, satu tahun saya mengikuti prajabatan lalu saya menjadi PNS,” ucapnya saat ditemui Prokalteng.co, Sabtu, 17/2/2024).
Sucipto menceritakan, dirinya sempat merasakan momen kuliah sambil bertugas. Waktu 2 hari libur dalam seminggu, ia manfaatkan untuk kuliah. Dirinya wisuda pada tahun 2010.
Menurutnya, Sucipto mengambil S1 karena menjadi tenaga instruktur atau pelatih yang mengharuskan minimal S1. Sementara ia sudah memegang jabatan dan belum penyesuaian, akhirnya Sucipto mengikuti tes dan lolos dengan mendapatkan sertifikat.
“Saya tidak berpikir untuk menambah sarjana. Pelatihan sejak saya honorer, PNS sampai golongan 3, saya selalu ikut pelatihan pendidikan damkar. Di mana-mana sebagai modal di luar akademis. Akademis hanya pengantar adminsitrasi untuk mengembangkan pola pikir, untuk melancarkan perkerjaan mengikuti pelatihan sesuai bidang yang dipegang sebagai dasar. Agar lancar dalam menjalankan tugas di lapangan,” bebernya.
Dia menceritakan, awalnya tidak terpikirkan di benaknya untuk menjadi pegawai damkar. Dahulu ia melihat pemadam kekurangan orang, bahkan tidak ada tenaga relawan. Jadi ia memutuskan ikut dan ternyata menyenangi pekerjaan tersebut.
“Dulu sempat dibayar Rp 20 ribu untuk 1 hari pada tahun 1993-1998. Waktu itu uang segitu besar. Saya merasa senang walaupun panas dan hitam, karena saya liat pemadam adalah pekerjaan yang menyenangkan. Pada saat orang panik, kami hadir membantu. Saya tidak berpikir dulu saya harus menjadi PNS. Yang saya tahu, hanya ikut kerja ramai-ramai karena waktu itu masih muda 25 tahun dan senang ramai-ramai. Akhirnya menjadi hal yang menyenangkan sekali. Sampai sekarang, saya menyukai pekerjaan ini,” ucapnya dengan bangga.
Perjalanan waktu dalam menjalankan tugasnya, Sucipto pernah mengalami cedera yang cukup fatal hingga kaki kirinya patah, karena terhantam batang pohon.
“Rasanya sakit bukan main. saya dioperasi. Meski belum sembuh total, saya tetap melanjutkan pekerjaan. Sedikit berjalan berhenti, lalu jalan lagi. Kemudian berhenti jalan lagi. Pekerjaan saya, banyak sebagai pengarah di lapangan, unit perlu leader,” ungkapnya.
Meski mengalami cedera fatal, namun tak terlintas di benaknya untuk pensiun. Ia mencontohkan orang cacat saja masih mampu bekerja. Baginya tidak ada kalimat menyerah, karena hidup adalah tempat berusaha, kecuali sudah mati.
“Berbaring tidak harus di rumah. Kadang saya berbaring di lantai, di bawah pohon. Ketika saya ikut mobil damkar ke kemana-mana itu menyenangkan. Tiada duanya bagi saya walaupun kami makan di warung murah. Sembuh itu, karena senang bukan karena tertekan, kita bawa saja enjoy. Gaji saya bisa saya pertanggungjawabkan. Saya tidak mau makan gaji tetapi tidak pergi ke kantor,” tuturnya. Â (jef/hnd)