25.6 C
Jakarta
Saturday, November 23, 2024

Tane’ Olen Dijaga Ketat Hukum Adat Suku Uma’ Lung

Sempat mengikuti Equator Prize 2019 dalam ajang
bergengsi United Nations Development Programs (UNDP), Kecamatan Malinau Selatan
Hilir, tepatnya Desa Wisata Setulang direkomendasikan kembali unjuk kelestarian
hutannya di Equator Prize 2020.

 

LISAWAN YOSEPH LOBO,
Malinau

 

DI
tengah maraknya pembukaan lahan baru, suku Uma’ Lung bersikeras menjaga ribuan
hektare hutan di Desa Wisata Setulang, Kecamatan Malinau Selatan Hilir,
Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara (Kaltara).

Berkat kegigihan dan kekompakan warga setempat,
tidak tanggung-tanggung, 2020 ini direkomendasikan kembali oleh United Nations
Development Programs (UNDP) atau Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa,
untuk mengikuti ajang bergengsi antarkomunitas suku adat di belahan dunia.

Pada 2019 lalu, Desa Wisata Setulang ini sempat
mengikuti Equator Prize 2019. Meski belum membuahkan hasil yang manis, justru
kabar membanggakan kembali datang pada 2020 ini. Provinsi Kaltara patut
berbangga dengan Desa Wisata Setulang, Malinau yang direkomendasikan langsung
oleh UNDP untuk kembali berpartisipasi dalam ajang Equator Prize 2020.

Bukan tanpa alasan. Tak hanya kondisi alamnya
yang mendukung. Flora dan fauna di dalam hutannya ini juga dipagari ketat oleh
hukum adat. Dinilai sangat cocok dengan tema Equator Prize 2020, yakni tentang
ekosistem alam.

Baca Juga :  Tembus Eropa, Dapat Ide dari Permintaan Klien

“Tentunya ini kabar baik bagi kami, karena
direkomendasikan untuk ikut kegiatan tersebut pada 2020 ini. Karena tema kali ini
lebih cocok dengan Desa Setulang, karena benar-benar kembali ke alam,” kata Eka
Setiawan selaku Camat Malinau Selatan Hilir kepada Radar Tarakan (Grup Kalteng
Pos), Kamis (9/1).

 

Lantas, apa keistimewaan Desa Setulang ini?
Konon, Kabupaten Malinau termasuk salah satu kabupaten konservasi di Indonesia
yang dideklarasikan pada 14 tahun silam, tepatnya 5 Juli 2005. Wilayah itu
ditetapkan sebagai kawasan Hearth of Borneo alias Jantung Borneo.

Nah, salah satu wilayahnya yang memiliki
kawasan hutan lindung atau Tane’ Olen adalah Desa Wisata Setulang ini. Hutan
ini juga disebut hutan larangan, karena dilindungi hukum adat suku setempat.
Luasnya sekitar 5.314 hektare. Di wilayah ini mayoritas didiami oleh suku Dayak
Kenyah subsuku Uma’ Long.

Konon di hutan ini terdapat flora dan fauna
yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat setempat. Yang menariknya adalah
bentuk kepedulian dan upaya yang dilakukan suku Dayak Uma’ Long untuk
melindungi dan melestarikan hutan itu.

Padahal sekarang ini banyak tawaran untuk
pembukaan lahan baru. Namun, suku Uma’ Long teguh pada pendirian mereka sejak
leluhurnya. Tidak ingin mengorbankan hutan.

Baca Juga :  Dibacakan oleh Ibu, Anak Langsung Nyantol

Konon dari hutan itulah yang menjadi sumber
mata pencaharian masyarakat setempat. Tidak tanggung-tanggung, suku Uma’ Long
memberlakukan hukum adat pada Tane’ Olen demi menjunjung tinggi kelestarian
flora dan fauna di dalam hutan itu. Menebang sebatang pohon pun tidak
diperkenankan oleh masyarakat setempat melalui hukum adat. Alhasil, hingga
sekarang ini Tane’ Olen masih menjadi hutan yang asri. Beragam flora dan fauna ada
di dalamnya.

“Dalam hal ini, Pemerintah Kabupaten Malinau
sangat mendukung Desa Wisata Setulang ikut lomba tersebut. Bentuk perhatian
lainnya dari Bupati Malinau, komitmen dan mendukung inisiatif inovatif dari
masyarakat suku Uma’ Long. Misalnya, membangun fasilitas serta sarana dan
prasarana untuk mendukung Desa Wisata Setulang,” bebernya.

Selain Pemerintah Kabupaten Malinau, tentu
masyarakat Malinau Selatan Hilir juga mengharapkan dukungan dari seluruh
masyarakat Kalimantan Utara dalam ajang Equator Prize 2020 ini.

“Kegaitan ini juga difasilitasi oleh GIZ
Forclime. Harapan kami, Desa Wisata Setulang bisa mendapatkan penghargaan.
Karena ini penghargaan tingkat dunia. Karena ini penganugerahan per benua,”
tutupnya. (*/ce/eza)

Sempat mengikuti Equator Prize 2019 dalam ajang
bergengsi United Nations Development Programs (UNDP), Kecamatan Malinau Selatan
Hilir, tepatnya Desa Wisata Setulang direkomendasikan kembali unjuk kelestarian
hutannya di Equator Prize 2020.

 

LISAWAN YOSEPH LOBO,
Malinau

 

DI
tengah maraknya pembukaan lahan baru, suku Uma’ Lung bersikeras menjaga ribuan
hektare hutan di Desa Wisata Setulang, Kecamatan Malinau Selatan Hilir,
Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara (Kaltara).

Berkat kegigihan dan kekompakan warga setempat,
tidak tanggung-tanggung, 2020 ini direkomendasikan kembali oleh United Nations
Development Programs (UNDP) atau Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa,
untuk mengikuti ajang bergengsi antarkomunitas suku adat di belahan dunia.

Pada 2019 lalu, Desa Wisata Setulang ini sempat
mengikuti Equator Prize 2019. Meski belum membuahkan hasil yang manis, justru
kabar membanggakan kembali datang pada 2020 ini. Provinsi Kaltara patut
berbangga dengan Desa Wisata Setulang, Malinau yang direkomendasikan langsung
oleh UNDP untuk kembali berpartisipasi dalam ajang Equator Prize 2020.

Bukan tanpa alasan. Tak hanya kondisi alamnya
yang mendukung. Flora dan fauna di dalam hutannya ini juga dipagari ketat oleh
hukum adat. Dinilai sangat cocok dengan tema Equator Prize 2020, yakni tentang
ekosistem alam.

Baca Juga :  Tembus Eropa, Dapat Ide dari Permintaan Klien

“Tentunya ini kabar baik bagi kami, karena
direkomendasikan untuk ikut kegiatan tersebut pada 2020 ini. Karena tema kali ini
lebih cocok dengan Desa Setulang, karena benar-benar kembali ke alam,” kata Eka
Setiawan selaku Camat Malinau Selatan Hilir kepada Radar Tarakan (Grup Kalteng
Pos), Kamis (9/1).

 

Lantas, apa keistimewaan Desa Setulang ini?
Konon, Kabupaten Malinau termasuk salah satu kabupaten konservasi di Indonesia
yang dideklarasikan pada 14 tahun silam, tepatnya 5 Juli 2005. Wilayah itu
ditetapkan sebagai kawasan Hearth of Borneo alias Jantung Borneo.

Nah, salah satu wilayahnya yang memiliki
kawasan hutan lindung atau Tane’ Olen adalah Desa Wisata Setulang ini. Hutan
ini juga disebut hutan larangan, karena dilindungi hukum adat suku setempat.
Luasnya sekitar 5.314 hektare. Di wilayah ini mayoritas didiami oleh suku Dayak
Kenyah subsuku Uma’ Long.

Konon di hutan ini terdapat flora dan fauna
yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat setempat. Yang menariknya adalah
bentuk kepedulian dan upaya yang dilakukan suku Dayak Uma’ Long untuk
melindungi dan melestarikan hutan itu.

Padahal sekarang ini banyak tawaran untuk
pembukaan lahan baru. Namun, suku Uma’ Long teguh pada pendirian mereka sejak
leluhurnya. Tidak ingin mengorbankan hutan.

Baca Juga :  Dibacakan oleh Ibu, Anak Langsung Nyantol

Konon dari hutan itulah yang menjadi sumber
mata pencaharian masyarakat setempat. Tidak tanggung-tanggung, suku Uma’ Long
memberlakukan hukum adat pada Tane’ Olen demi menjunjung tinggi kelestarian
flora dan fauna di dalam hutan itu. Menebang sebatang pohon pun tidak
diperkenankan oleh masyarakat setempat melalui hukum adat. Alhasil, hingga
sekarang ini Tane’ Olen masih menjadi hutan yang asri. Beragam flora dan fauna ada
di dalamnya.

“Dalam hal ini, Pemerintah Kabupaten Malinau
sangat mendukung Desa Wisata Setulang ikut lomba tersebut. Bentuk perhatian
lainnya dari Bupati Malinau, komitmen dan mendukung inisiatif inovatif dari
masyarakat suku Uma’ Long. Misalnya, membangun fasilitas serta sarana dan
prasarana untuk mendukung Desa Wisata Setulang,” bebernya.

Selain Pemerintah Kabupaten Malinau, tentu
masyarakat Malinau Selatan Hilir juga mengharapkan dukungan dari seluruh
masyarakat Kalimantan Utara dalam ajang Equator Prize 2020 ini.

“Kegaitan ini juga difasilitasi oleh GIZ
Forclime. Harapan kami, Desa Wisata Setulang bisa mendapatkan penghargaan.
Karena ini penghargaan tingkat dunia. Karena ini penganugerahan per benua,”
tutupnya. (*/ce/eza)

Terpopuler

Artikel Terbaru