29.3 C
Jakarta
Thursday, November 28, 2024

Berkendara Lewat Jalan Sempit demi Mencapai Rumah Murid

Tak semua murid bisa belajar daring dari rumah
karena kendala jaringan atau gagap teknologi. Mengatasi ini, Bintang pun rela
turun agar anak didiknya tak ketinggalan mata pelajaran.

 

M RIDHUAN, Balikpapan

 

 

Beton di Jalan Pemuda berganti tanah lempung.
Licin dan berlumpur setelah diguyur hujan. Lebarnya hanya cukup untuk satu
mobil. Di sekeliling terlihat rumah penduduk dan ladang pertanian saling
berdampingan.

Di rumah bernomor 108, di sudut jalan setapak
yang dicor sebagian, berdiam pasangan Bintang Riris Parhusip dan Sudarmono.
Bersama tiga anak mereka. Keluarga ini menempati rumah yang tampak belum
selesai dibangun.

“Selamat pagi, Pak,” sapa Bintang yang baru
selesai sarapan kepada Kaltim Post ( Grup Kalteng Pos) yang baru sampai di
rumahnya, Senin (4/5). Bintang dan suaminya adalah pasangan tenaga pendidik
yang belakangan mengubah cara mengajar mereka karena pandemi Covid-19.

Mereka tinggal di kawasan yang secara
administrasi masuk wilayah RT 66, Kelurahan Manggar, Balikpapan Timur. Namun,
lokasi ini lebih dikenal dengan nama Kampung Tator. Sebab, banyak penduduknya
berasal dari Tana Toraja. Sudah ada sejak era 1980-an, yang mayoritas masyarakatnya
hidup dari ladang pertanian. 

Waktu saat itu belum menunjukkan pukul 08.00
Wita. Bintang pun bersiap-siap. Setelah berdandan, mengenakan masker, dia
pamitan dengan sang suami. Tapi baru sampai di depan rumah, Sudarmono
mengingatkan agar istrinya itu membawa hand sanitizer. “Semoga perjalanan kita
dilancarkan,” doanya.

Mengendarai motor bebek dengan ban belakang
sudah retak, Bintang dengan hati-hati menyusuri jalan setapak. Hari itu, dia
akan mengunjungi rumah empat anak didiknya yang duduk di bangku SD. Sebenarnya
ada lima murid. Namun, seorang di antaranya sedang sakit. “Tetap ikuti imbauan
pemerintah,” sebutnya.

Pada masa pandemi, proses belajar dilakukan
secara daring dari rumah. Namun tak semua murid bisa mengakses mata pelajaran.
Keterbatasan jaringan kerap jadi alasan. Ada pula halangan dari orangtua yang
gagap teknologi. “Proses mengajar secara daring tak maksimal dan akhirnya tidak
efektif,” jelasnya.

Baca Juga :  Masuk 10 Besar, Bangga Bisa Unggul dari Jawa Timur

Hal tersebut melatarbelakangi dirinya merelakan
diri berkeliling ke rumah murid. Berkunjung bertemu anak didik yang didampingi
orangtua mereka. Memberikan paket soal, sambil mengulas materi secara singkat.
Itu disebutnya sebagai langkah agar anak tetap semangat belajar. “Selebihnya
pengawasan tetap dilakukan via WhatsApp oleh guru,” ujarnya.

Dari pengamatan Kaltim Post (Grup
Kaltengpos.co), murid dan orangtua menyambut Bintang dengan antusias saat tiba
di rumah mereka. Di ruang tamu, Bintang pun memberikan paket soal dan sedikit
penjelasan pelajaran. Memancing semangat dan cara berpikir anak terhadap materi
yang sedang diberikan. “Ini juga dengan izin orangtua. Jadi orangtua juga harus
mendampingi,” ungkapnya.

Berkeliling ke rumah murid di Kampung Tator tak
semudah yang dibayangkan. Kondisi jalan yang sempit dan licin setelah hujan dan
diapit ladang pertanian membuat perempuan itu harus ekstrahati-hati berkendara.
Kalau tidak, risiko terjatuh bisa terjadi.

“Ya pernah juga jatuh. Makanya baru bisa jalan
kalau kondisi jalan agak kering,” ungkapnya.

Lelah memang dirasakan. Apalagi ada rumah murid
di perbukitan. Yang tak bisa dilalui sepeda motornya. Bintang harus jalan kaki.
Namun, suasana dan keramahan warga menjadi semangat tersendiri baginya. Apalagi
setelah bertemu dengan anak didiknya. “Ini semua anugerah Tuhan yang patut
disyukuri,” ucapnya.

Menoleh ke belakang, komitmen sebagai guru
memang sudah tertanam dalam diri perempuan yang mengenyam pendidikan Ilmu
Keguruan dan Pendidikan di Universitas Palangkaraya itu. Setelah lulus, dia mau
mengajar di sebuah SD terpencil di Nainggolan, Kabupaten Samosir, Sumatra
Utara.

“Saya jadi guru honorer di sana pada 2007
dengan gaji Rp300 ribu per bulan,” sebutnya.

Minimnya gaji membuatnya masih harus dibantu
orangtua yang tinggal di Lubuk Pakam, Deli Serdang. Mendengar ini, seorang
kakaknya yang menetap di Balikpapan menyarankan mencari pekerjaan di Kota
Minyak. “Saya diomelin. Sudah bekerja tapi masih disangu orangtua,” sebutnya.

Baca Juga :  Melihat Kampung Wisata Edukasi di Balikpapan

Merantau ke Balikpapan pada 2010, dia pun
mendapatkan pekerjaan sebagai guru di Kalimantan International Christian School
(KICS). Di sana dia bertemu Sudarmono dan menikah pada 2011. Dua tahun
mengabdi, Bintang akhirnya memutuskan berhenti mengajar. “Anak pertama saya,
Jonathan, lahir. Enggak ada yang menjaganya waktu itu,” katanya.

Jalan Bintang kembali ke dunia guru dilakoni
dengan menjadi tenaga honorer di salah satu SD negeri. Berhenti, dia lalu
mengajar di SD Kristen Harapan Bangsa. Setahun kemudian, anak keduanya lahir
dan dia kembali harus menjadi ibu rumah tangga secara penuh.

“Tapi bagaimanapun saya harus mengajar juga.
Lalu pada 2017 kami pindah ke sini (Kampung Tator),” ujarnya.

Di Kampung Tator, pasangan tersebut pun membuka
jasa les secara gratis. Usaha itu sebenarnya sudah dirintis sang suami sejak
awal ketika keduanya berkenalan di KICS. “Kami hanya menarik iuran Rp 100 ribu
di awal untuk membeli perlengkapan les selama setahun,” imbuhnya.

Hingga pada 2019, tepatnya April, Bintang
membuka sekolah pendidikan anak usia dini (PAUD) Bersinar. Kemudian, setelah
penerimaan peserta didik baru (PPDB), atas permintaan sejumlah orangtua,
Bintang membuka ruang untuk jenjang SD.

“Karena sejumlah anak, termasuk anak saya
ditolak masuk ke SD sekitar karena penerapan sistem zonasi,” ujarnya.

Bintang sadar, sekolah yang dirintisnya
terhalang dari sisi legal formal. Namun, pada September 2019, seorang pemilik
yayasan yang memiliki Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) mengajaknya
bergabung.

“Jadi, PKBM Bersinar ini di bawah induk PKBM Al
Iqra. Saat ini kami memiliki 14 murid, di mana 5 duduk di bangku SD dan 9 di
PAUD. Untuk tenaga pengajar, termasuk saya ada 5 guru,” jelasnya. 

Tak semua murid bisa belajar daring dari rumah
karena kendala jaringan atau gagap teknologi. Mengatasi ini, Bintang pun rela
turun agar anak didiknya tak ketinggalan mata pelajaran.

 

M RIDHUAN, Balikpapan

 

 

Beton di Jalan Pemuda berganti tanah lempung.
Licin dan berlumpur setelah diguyur hujan. Lebarnya hanya cukup untuk satu
mobil. Di sekeliling terlihat rumah penduduk dan ladang pertanian saling
berdampingan.

Di rumah bernomor 108, di sudut jalan setapak
yang dicor sebagian, berdiam pasangan Bintang Riris Parhusip dan Sudarmono.
Bersama tiga anak mereka. Keluarga ini menempati rumah yang tampak belum
selesai dibangun.

“Selamat pagi, Pak,” sapa Bintang yang baru
selesai sarapan kepada Kaltim Post ( Grup Kalteng Pos) yang baru sampai di
rumahnya, Senin (4/5). Bintang dan suaminya adalah pasangan tenaga pendidik
yang belakangan mengubah cara mengajar mereka karena pandemi Covid-19.

Mereka tinggal di kawasan yang secara
administrasi masuk wilayah RT 66, Kelurahan Manggar, Balikpapan Timur. Namun,
lokasi ini lebih dikenal dengan nama Kampung Tator. Sebab, banyak penduduknya
berasal dari Tana Toraja. Sudah ada sejak era 1980-an, yang mayoritas masyarakatnya
hidup dari ladang pertanian. 

Waktu saat itu belum menunjukkan pukul 08.00
Wita. Bintang pun bersiap-siap. Setelah berdandan, mengenakan masker, dia
pamitan dengan sang suami. Tapi baru sampai di depan rumah, Sudarmono
mengingatkan agar istrinya itu membawa hand sanitizer. “Semoga perjalanan kita
dilancarkan,” doanya.

Mengendarai motor bebek dengan ban belakang
sudah retak, Bintang dengan hati-hati menyusuri jalan setapak. Hari itu, dia
akan mengunjungi rumah empat anak didiknya yang duduk di bangku SD. Sebenarnya
ada lima murid. Namun, seorang di antaranya sedang sakit. “Tetap ikuti imbauan
pemerintah,” sebutnya.

Pada masa pandemi, proses belajar dilakukan
secara daring dari rumah. Namun tak semua murid bisa mengakses mata pelajaran.
Keterbatasan jaringan kerap jadi alasan. Ada pula halangan dari orangtua yang
gagap teknologi. “Proses mengajar secara daring tak maksimal dan akhirnya tidak
efektif,” jelasnya.

Baca Juga :  Masuk 10 Besar, Bangga Bisa Unggul dari Jawa Timur

Hal tersebut melatarbelakangi dirinya merelakan
diri berkeliling ke rumah murid. Berkunjung bertemu anak didik yang didampingi
orangtua mereka. Memberikan paket soal, sambil mengulas materi secara singkat.
Itu disebutnya sebagai langkah agar anak tetap semangat belajar. “Selebihnya
pengawasan tetap dilakukan via WhatsApp oleh guru,” ujarnya.

Dari pengamatan Kaltim Post (Grup
Kaltengpos.co), murid dan orangtua menyambut Bintang dengan antusias saat tiba
di rumah mereka. Di ruang tamu, Bintang pun memberikan paket soal dan sedikit
penjelasan pelajaran. Memancing semangat dan cara berpikir anak terhadap materi
yang sedang diberikan. “Ini juga dengan izin orangtua. Jadi orangtua juga harus
mendampingi,” ungkapnya.

Berkeliling ke rumah murid di Kampung Tator tak
semudah yang dibayangkan. Kondisi jalan yang sempit dan licin setelah hujan dan
diapit ladang pertanian membuat perempuan itu harus ekstrahati-hati berkendara.
Kalau tidak, risiko terjatuh bisa terjadi.

“Ya pernah juga jatuh. Makanya baru bisa jalan
kalau kondisi jalan agak kering,” ungkapnya.

Lelah memang dirasakan. Apalagi ada rumah murid
di perbukitan. Yang tak bisa dilalui sepeda motornya. Bintang harus jalan kaki.
Namun, suasana dan keramahan warga menjadi semangat tersendiri baginya. Apalagi
setelah bertemu dengan anak didiknya. “Ini semua anugerah Tuhan yang patut
disyukuri,” ucapnya.

Menoleh ke belakang, komitmen sebagai guru
memang sudah tertanam dalam diri perempuan yang mengenyam pendidikan Ilmu
Keguruan dan Pendidikan di Universitas Palangkaraya itu. Setelah lulus, dia mau
mengajar di sebuah SD terpencil di Nainggolan, Kabupaten Samosir, Sumatra
Utara.

“Saya jadi guru honorer di sana pada 2007
dengan gaji Rp300 ribu per bulan,” sebutnya.

Minimnya gaji membuatnya masih harus dibantu
orangtua yang tinggal di Lubuk Pakam, Deli Serdang. Mendengar ini, seorang
kakaknya yang menetap di Balikpapan menyarankan mencari pekerjaan di Kota
Minyak. “Saya diomelin. Sudah bekerja tapi masih disangu orangtua,” sebutnya.

Baca Juga :  Melihat Kampung Wisata Edukasi di Balikpapan

Merantau ke Balikpapan pada 2010, dia pun
mendapatkan pekerjaan sebagai guru di Kalimantan International Christian School
(KICS). Di sana dia bertemu Sudarmono dan menikah pada 2011. Dua tahun
mengabdi, Bintang akhirnya memutuskan berhenti mengajar. “Anak pertama saya,
Jonathan, lahir. Enggak ada yang menjaganya waktu itu,” katanya.

Jalan Bintang kembali ke dunia guru dilakoni
dengan menjadi tenaga honorer di salah satu SD negeri. Berhenti, dia lalu
mengajar di SD Kristen Harapan Bangsa. Setahun kemudian, anak keduanya lahir
dan dia kembali harus menjadi ibu rumah tangga secara penuh.

“Tapi bagaimanapun saya harus mengajar juga.
Lalu pada 2017 kami pindah ke sini (Kampung Tator),” ujarnya.

Di Kampung Tator, pasangan tersebut pun membuka
jasa les secara gratis. Usaha itu sebenarnya sudah dirintis sang suami sejak
awal ketika keduanya berkenalan di KICS. “Kami hanya menarik iuran Rp 100 ribu
di awal untuk membeli perlengkapan les selama setahun,” imbuhnya.

Hingga pada 2019, tepatnya April, Bintang
membuka sekolah pendidikan anak usia dini (PAUD) Bersinar. Kemudian, setelah
penerimaan peserta didik baru (PPDB), atas permintaan sejumlah orangtua,
Bintang membuka ruang untuk jenjang SD.

“Karena sejumlah anak, termasuk anak saya
ditolak masuk ke SD sekitar karena penerapan sistem zonasi,” ujarnya.

Bintang sadar, sekolah yang dirintisnya
terhalang dari sisi legal formal. Namun, pada September 2019, seorang pemilik
yayasan yang memiliki Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) mengajaknya
bergabung.

“Jadi, PKBM Bersinar ini di bawah induk PKBM Al
Iqra. Saat ini kami memiliki 14 murid, di mana 5 duduk di bangku SD dan 9 di
PAUD. Untuk tenaga pengajar, termasuk saya ada 5 guru,” jelasnya. 

Terpopuler

Artikel Terbaru