27.3 C
Jakarta
Thursday, April 17, 2025

Kartini, dari Nakhoda Jadi Pendidik Pelaut

Ganasnya laut bisa ditaklukkan Kartini. Nyalinya tak ciut meski
bekerja di ranah maskulin: menjadi nakhoda. Meski kini tak lagi berlayar, dia
mengabdikan hidupnya untuk mendidik calon pelaut andal. Cintanya pada samudra
tak pernah padam. Seperti ombak yang terus menghantam.

FERLYNDA PUTRILabuan
Bajo, Jawa Pos

—

JARI tengah tangan kiri
Kartini tak sempurna. Ruas paling atas putus. Jari tengah itu tak lebih panjang
daripada telunjuk dan jari manisnya. Dia menunjukkannya kepada Jawa
Pos
 saat sama-sama berlayar dari Labuan Bajo, NTT. Dari sana
kenangannya selama menjadi nakhoda berkelebat.

Sekitar 1975 atau tiga tahun setelah mulai berlayar, Kartini
mendapat tugas membawa tentara ke Dili, Timor Timur (sekarang Timor Leste).

Waktu itu sedang berlangsung Operasi Seroja. Bukan hanya
tentara, peralatan perang lainnya juga dibawa dalam kapal Tampomas I. Waktu itu
jabatan Kartini masih mualim pelayaran besar (MPB) IV atau perwira dek.

”Tiba-tiba sling (tali) yang mengikat tank baja putus. Tangan
saya terjepit bannya,” ucap alumnus Akademi Indonesia Pelayaran (AIP) itu.
Akibat impitan tersebut, ujung jari tengah Kartini terluka parah. Tentara
membawanya ke rumah sakit militer di Dili. ”Yang amputasi tentara,” lanjutnya.

Kejadian itu tak mengecilkan hatinya untuk tetap berlayar. Sejak
masuk AIP, Kartini sadar akan berbagai risiko sebagai pelaut. Itu adalah
pilihannya ketika dulu memilih sekolah kedinasan pelayaran dan bukan SMA biasa.
”Tidak pernah menyesali itu,” ujarnya.

Desember 1965 Kartini mendaftarkan diri ke AIP. Yang dia
pikirkan waktu itu adalah mencari sekolah dinas sehingga tidak membayar biaya
sekolah dan langsung mendapatkan pekerjaan. Kebetulan sekolah pelayaran
tersebut sedang membuka kelas untuk perempuan. Lima tahun setelahnya dia lulus
dari sekolah kedinasan itu.

Baca Juga :  Senang Mencari Sampah Malam Hari, Uangnya untuk Bantu Orangtua dan Bia

Setelah wisuda, Kartini menikah. Suaminya juga pelaut. ”Suami
saya yang mendorong untuk tetap berkarir di kapal,” ungkapnya. Satu setengah
tahun mereka sama-sama berlayar, Kartini lantas hamil. Dia memutuskan untuk
tidak melaut dulu sampai anaknya lahir.

Saat-saat terberat dalam hidup dirasakan ketika harus
meninggalkan anak pertamanya saat masih berusia 14 bulan. Kartini harus
berlayar lagi enam bulan agar memiliki sertifikat MPB. Sayangnya, tak ada masa
layar yang hanya enam bulan. Jadi, dia menggenapkan menjadi setahun. Untung,
sesekali kapal yang dibawanya bersandar di Jakarta sehingga dia bisa menengok
buah hatinya. ”Kalau ditinggal sebulan, ya mungkin anak lupa,” candanya.

Speedboat kami yang meninggalkan Labuan Bajo menuju Pulau Padar
sesekali bergoyang. Nakhoda mengatakan, ada pusaran air yang harus dihindari.
Otoritas pelabuhan setempat sudah mengingatkan kami agar berangkat tak lebih
dari pukul 06.00 Wita karena ditakutkan ada ombak. Sayangnya, rombongan baru
keluar dermaga pukul 07.30. Perempuan 73 tahun tersebut tampak tenang. Mungkin
itu belum apa-apa dibanding pengalamannya 40 tahun silam.

Kartini ingat ketika line kapalnya ke Hongkong. Dia membawa sapi-sapi
dari NTT ke negara tersebut. Saat itu sedang musim badai taifun. Ombak sedang
tinggi meski kapal yang dibawa Kartini berada di ekor badai tersebut.

Kapal sampai terombang-ambing. Kartini yang sudah menjadi
nakhoda selalu memosisikan kapal di depan ombak. Menurut dia, justru berbahaya
ketika ombak datang dari samping kapal. Bisa jadi kapal oleng, lalu tenggelam.
”Tidak boleh manja dengan ombak. Awal-awal pasti mabuk laut, tapi lama-lama
terbiasa,” tuturnya.

Selain cuaca, yang membuatnya khawatir adalah perompak. Jalur
pelayarannya yang melewati Penang, Malaysia, lalu ke kawasan yang dinamai
Walawali Street adalah yang berbahaya saat itu. Kartini sempat diberi tahu
kepolisian laut setempat, tak boleh berlayar pada malam hari. Kapal-kapal
disarankan melewati daerah tersebut pagi.

Baca Juga :  Jadi Ibu Sukses Multitasking di Era Digital

Pada 1980 Kartini kembali minta tugas darat. Kali ini dia ingin
lebih punya waktu untuk keluarga. Meski dibolehkan, dia tetap menjadi andalan.
”Jadi ban serep,” ujarnya. Dia kerap diminta menggantikan nakhoda lain ketika
berhalangan. Salah satunya membawa KM AWU dari Jerman ke Indonesia.

Kartini sangat menyayangkan ketika zamannya dulu banyak yang
menolak pelaut perempuan. Alasannya banyak. Mulai banyaknya cuti hingga soal
keamanan. Perusahaan tak ingin banyak tanggungan. Dirjen Perhubungan Laut R
Agus H Purnomo mendorong perempuan berkiprah di dunia maritim. Menurut dia,
dunia maritim tidak identik dengan kerja bagi laki-laki saja. ”Saat ini sudah
banyak yang berprofesi pelaut. Ada juga peran lainnya,” ungkap Agus.

Bahkan, di Ditjen Perhubungan Laut pun sudah banyak perempuan
yang berkarir. Dengan penguatan peran perempuan di dunia maritim, diharapkan
tidak ada dominasi gender. Menurut Agus, di dunia pun telah banyak perempuan
yang memiliki peran dalam komunitas maritim.

Salah satu perempuan yang menekuni profesi di dunia kelautan
adalah Ni Putu Cahyani. Dia kini menjadi komandan kapal patroli KN Alugara di
Pangkalan Penjagaan Laut dan Pantai Kelas I Tanjung Priok. Putu tak hanya
mengemudikan kapal, tapi juga memegang senjata. Maklum, dia dan anak buah di
kapalnya bertugas melindungi kapal yang lewat. ”Waktu kecelakaan Lion Air di
perairan Kerawang, saya juga ikut evakuasi,” ucapnya. Salah satu yang
dikenangnya adalah evakuasi mayat yang tak utuh.

Kisah Kartini (serta Putu) menjadi bukti bahwa karir perempuan
di dunia maritim sangat terbuka. Begitu juga halnya di jenis pekerjaan lainnya.

 

Ganasnya laut bisa ditaklukkan Kartini. Nyalinya tak ciut meski
bekerja di ranah maskulin: menjadi nakhoda. Meski kini tak lagi berlayar, dia
mengabdikan hidupnya untuk mendidik calon pelaut andal. Cintanya pada samudra
tak pernah padam. Seperti ombak yang terus menghantam.

FERLYNDA PUTRILabuan
Bajo, Jawa Pos

—

JARI tengah tangan kiri
Kartini tak sempurna. Ruas paling atas putus. Jari tengah itu tak lebih panjang
daripada telunjuk dan jari manisnya. Dia menunjukkannya kepada Jawa
Pos
 saat sama-sama berlayar dari Labuan Bajo, NTT. Dari sana
kenangannya selama menjadi nakhoda berkelebat.

Sekitar 1975 atau tiga tahun setelah mulai berlayar, Kartini
mendapat tugas membawa tentara ke Dili, Timor Timur (sekarang Timor Leste).

Waktu itu sedang berlangsung Operasi Seroja. Bukan hanya
tentara, peralatan perang lainnya juga dibawa dalam kapal Tampomas I. Waktu itu
jabatan Kartini masih mualim pelayaran besar (MPB) IV atau perwira dek.

”Tiba-tiba sling (tali) yang mengikat tank baja putus. Tangan
saya terjepit bannya,” ucap alumnus Akademi Indonesia Pelayaran (AIP) itu.
Akibat impitan tersebut, ujung jari tengah Kartini terluka parah. Tentara
membawanya ke rumah sakit militer di Dili. ”Yang amputasi tentara,” lanjutnya.

Kejadian itu tak mengecilkan hatinya untuk tetap berlayar. Sejak
masuk AIP, Kartini sadar akan berbagai risiko sebagai pelaut. Itu adalah
pilihannya ketika dulu memilih sekolah kedinasan pelayaran dan bukan SMA biasa.
”Tidak pernah menyesali itu,” ujarnya.

Desember 1965 Kartini mendaftarkan diri ke AIP. Yang dia
pikirkan waktu itu adalah mencari sekolah dinas sehingga tidak membayar biaya
sekolah dan langsung mendapatkan pekerjaan. Kebetulan sekolah pelayaran
tersebut sedang membuka kelas untuk perempuan. Lima tahun setelahnya dia lulus
dari sekolah kedinasan itu.

Baca Juga :  Senang Mencari Sampah Malam Hari, Uangnya untuk Bantu Orangtua dan Bia

Setelah wisuda, Kartini menikah. Suaminya juga pelaut. ”Suami
saya yang mendorong untuk tetap berkarir di kapal,” ungkapnya. Satu setengah
tahun mereka sama-sama berlayar, Kartini lantas hamil. Dia memutuskan untuk
tidak melaut dulu sampai anaknya lahir.

Saat-saat terberat dalam hidup dirasakan ketika harus
meninggalkan anak pertamanya saat masih berusia 14 bulan. Kartini harus
berlayar lagi enam bulan agar memiliki sertifikat MPB. Sayangnya, tak ada masa
layar yang hanya enam bulan. Jadi, dia menggenapkan menjadi setahun. Untung,
sesekali kapal yang dibawanya bersandar di Jakarta sehingga dia bisa menengok
buah hatinya. ”Kalau ditinggal sebulan, ya mungkin anak lupa,” candanya.

Speedboat kami yang meninggalkan Labuan Bajo menuju Pulau Padar
sesekali bergoyang. Nakhoda mengatakan, ada pusaran air yang harus dihindari.
Otoritas pelabuhan setempat sudah mengingatkan kami agar berangkat tak lebih
dari pukul 06.00 Wita karena ditakutkan ada ombak. Sayangnya, rombongan baru
keluar dermaga pukul 07.30. Perempuan 73 tahun tersebut tampak tenang. Mungkin
itu belum apa-apa dibanding pengalamannya 40 tahun silam.

Kartini ingat ketika line kapalnya ke Hongkong. Dia membawa sapi-sapi
dari NTT ke negara tersebut. Saat itu sedang musim badai taifun. Ombak sedang
tinggi meski kapal yang dibawa Kartini berada di ekor badai tersebut.

Kapal sampai terombang-ambing. Kartini yang sudah menjadi
nakhoda selalu memosisikan kapal di depan ombak. Menurut dia, justru berbahaya
ketika ombak datang dari samping kapal. Bisa jadi kapal oleng, lalu tenggelam.
”Tidak boleh manja dengan ombak. Awal-awal pasti mabuk laut, tapi lama-lama
terbiasa,” tuturnya.

Selain cuaca, yang membuatnya khawatir adalah perompak. Jalur
pelayarannya yang melewati Penang, Malaysia, lalu ke kawasan yang dinamai
Walawali Street adalah yang berbahaya saat itu. Kartini sempat diberi tahu
kepolisian laut setempat, tak boleh berlayar pada malam hari. Kapal-kapal
disarankan melewati daerah tersebut pagi.

Baca Juga :  Jadi Ibu Sukses Multitasking di Era Digital

Pada 1980 Kartini kembali minta tugas darat. Kali ini dia ingin
lebih punya waktu untuk keluarga. Meski dibolehkan, dia tetap menjadi andalan.
”Jadi ban serep,” ujarnya. Dia kerap diminta menggantikan nakhoda lain ketika
berhalangan. Salah satunya membawa KM AWU dari Jerman ke Indonesia.

Kartini sangat menyayangkan ketika zamannya dulu banyak yang
menolak pelaut perempuan. Alasannya banyak. Mulai banyaknya cuti hingga soal
keamanan. Perusahaan tak ingin banyak tanggungan. Dirjen Perhubungan Laut R
Agus H Purnomo mendorong perempuan berkiprah di dunia maritim. Menurut dia,
dunia maritim tidak identik dengan kerja bagi laki-laki saja. ”Saat ini sudah
banyak yang berprofesi pelaut. Ada juga peran lainnya,” ungkap Agus.

Bahkan, di Ditjen Perhubungan Laut pun sudah banyak perempuan
yang berkarir. Dengan penguatan peran perempuan di dunia maritim, diharapkan
tidak ada dominasi gender. Menurut Agus, di dunia pun telah banyak perempuan
yang memiliki peran dalam komunitas maritim.

Salah satu perempuan yang menekuni profesi di dunia kelautan
adalah Ni Putu Cahyani. Dia kini menjadi komandan kapal patroli KN Alugara di
Pangkalan Penjagaan Laut dan Pantai Kelas I Tanjung Priok. Putu tak hanya
mengemudikan kapal, tapi juga memegang senjata. Maklum, dia dan anak buah di
kapalnya bertugas melindungi kapal yang lewat. ”Waktu kecelakaan Lion Air di
perairan Kerawang, saya juga ikut evakuasi,” ucapnya. Salah satu yang
dikenangnya adalah evakuasi mayat yang tak utuh.

Kisah Kartini (serta Putu) menjadi bukti bahwa karir perempuan
di dunia maritim sangat terbuka. Begitu juga halnya di jenis pekerjaan lainnya.

 

Terpopuler

Artikel Terbaru