27.3 C
Jakarta
Monday, April 29, 2024

Senang Mencari Sampah Malam Hari, Uangnya untuk Bantu Orangtua dan Bia

Segelintir
kisah kebahagian para bocah pemungut sampah. Walau kemewahan tak berpihak,
mereka tetap pencarkan senyum rekah. Naik turun gunung sampah, kejar-kejaran,
teriak bahkan dengan tawa pecah. Inilah mereka, pejuang kehidupan dengan
kumpulan puing-puing sampah.

ANISA B WAHDAH,
Palangka Raya

“NAIK-naik ke puncak
sampah, tinggi-tinggi sekali, ha ha ha,” suara kami pecah, ramai penuh tawa.

Saya
(penulis,red)bersama beberapa relawan serta lima bocah pemungut sampah di
Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Jalan Tjilik Riwut km 14, Kota Palangka Raya,
bermain di sekitar tumpukan gunung sampah. Lima bocah itu Nabila, Vita, Adit,
Sinta dan Nadia.

Saling berpegangan.
Saling menguatkan. Sesekali, saling dorong kemudian menarik kembali. Mereka
berjalan dari rumah di balik gunung sampah, sebelum akhirnya bergelut dengan
tumpukan sampah.

Bau. Itu tentu. Tapi
tidak sedikitpun indra penciumnya yang terganggu oleh itu. Mungkin sudah
terbiasa. Berjalan tanpa alas. Katanya tidak sakit. Mungkin juga kulitnya sudah
terbiasa oleh itu.

Adit, bocah SD menjadi
satu-satunya lelaki dalam perjalanan itu. Kaki tanpa alas itu luka karena
pecahan kaca. “Ha ha ha, tidak apa-apa. Tidak sakit. Sudah biasa,” jawabnya,
meyakinkan kami bahwa tak sedikitpun sakit ia rasa. Miris mendengar
pernyataannya. Tapi, bagaimana lagi?

Keseharian lima
berkawan ini sungguh lengkap. Sama seperti anak-anak seumur mereka. Sekolah,
bermain, belajar, nonton televisi. Hanya saja, kelas mereka berbeda. Mereka
harus bermain di gunung sampah, belajar di balik tumpukan sampah, nonton
televisi di rumah tetangga dan mencari uang untuk kebutuhan sekolah.

“Jika senin sampai
sabtu kami bekerja sepulang sekolah, kami berlima mencari sampah. Jam lima sore
sudah pulang,” kata Nabila.

Baca Juga :  Momen Women’s Day, Intan Kusuma Hadie Bawa Spirit Perempuan Kuat

Mereka mencari
barang-barang bekas yang dibuang oleh beberapa truk saat malam hari. Membawa
karung putih di atas punggung. Lagi-lagi, tanpa alas kaki maupun alas tangan,
apalagi penutup hidung.

“Bau sih, tapi sudah
biasa kok,” tambah Nabila.

Hasilnya mereka
kumpulkan bersama penghasilan orangtua selama satu minggu. Genap satu minggu
hasil yang mereka kumpulkan dijual. Pendapatan pun bervariasi. Dalam satu
minggu bekerja seluruh keluarga bisa mendapatkan uang Rp200 ribu.

“Kami semua mencari
barang bekas, termasuk orang tua. Uangnya ya untuk sekolah kami,” katanya.

Barang-barang yang
mereka cari bermacam-macam. Asal bisa dijual kembali. Seperti botol plastik,
kardus, bahkan hingga makanan sisa.

“Kami juga mengumpulkan
makanan sisa, ada yang membeli untuk makanan ternak. Bau sih, tapi sudah
biasa,” tegasnya.

Nabila, gadis yang
mulai beranjak remaja ini sudah menggeluti pekerjaan memulung sejak ia kecil.
Sejak pertama kali orangtuanya datang dan membangan gubuk di balik gunung
sampah itu. Sampai kini sudah kelas satu SMP, uang hasil memungut sampah inilah
yang menjadikan ia mampu mengenyam pendidikan.

“Jadi anak itu harus
mandiri. Tidak harus meminta kepada orangtua, justru harus membantu orangtua,”
ceritanya.

Lagipula, lanjut
Nabila, mereka senang dengan mencari sampah ini. Selepas sekolah sembari
bermain bersama teman-teman sekaligus membantu orangtua. Tidak harus malu.
“Malah saya bangga karena bisa membantu orangtua,” kata Nabila.

 Waktu yang seharusnya mereka bekerja terpotong
karena kedatangan relawan dari dalam kota. Mereka senang, karena para relawan
ini tidak pernah datang dengan tangan kosong. “Nggak papa nggak kerja dulu,
kami senang banyak kakak-kakak dari kota ke sini (TPA,red) apalagi sering bawa
makanan, buku, kadang juga baju-baju,” sembari memeluk beberapa relawan.

Baca Juga :  Belum Maksimalnya Pemberdayaan Bukan Faktor Keahlian

Tak terasa, beberapa
jam lima anak ini bermain bersama para relawan. Sudah mulai petang, mereka
bukan bergegas pulang, tetapi malah senang.

“Horeee, truknya sudah
datang,” Adit, bocah polos yang kegirangan melihat truk masuk ke area TPA.

 Bukannya waktu mereka pulang, karena sudah
petang?

“Kami senang, jika
keesokan harinya sekolah libur maka kami diizinkan lembur oleh orang tua,” ucap
Nabila.

Iya, lembur mencari
sampah dari petang hingga menjelang fajar. Hari libur memang ditunggu-tunggu
oleh kelimanya, karena pundi-pundi rezeki semakin banyak mereka dapatkan.

“Kami senang jika
keesokan harinya libur, jadi kami banyak mencari sampah. Mulai pulang sekolah,
kemudian petang mulai pukul 06.00 WIB terkadang hingga pagi subuh. Malah,
besoknya karena libur juga bisa mencari sampah lagi,” beber Nabila.

Menurut Nabila, puluhan
truk itu menumpahkan sampah dimulai sejak petang hingga menjelang fajar. Di waktu
inilah momen tepat mencari rezeki, karena ‘puluhan rupiah’ tumpah dari puluhan
truk itu. Jika mencari sampah siang hari, mereka hanya mendapatkan sisa-sisa
saja.

“Kan sampah itu yang
paling banyak malam, jadi kami senang mencari sampah saat malam,” ujarnya.

Tidak hanya rupiah, saat malam hari mereka akan
mendapatkan berbagai macam hal. Mulai dari baju, tas, sepatu, mainan dan
lainnya. Terkadang, kebahagaiaan mereka lengkap kala itu. “Sudah ya kak, sudah
petang dan truknya sudah datang. Kami mau bekerja,” mereka berlima pergi
tenggang langgang, kegirangan. (*/ala)

Segelintir
kisah kebahagian para bocah pemungut sampah. Walau kemewahan tak berpihak,
mereka tetap pencarkan senyum rekah. Naik turun gunung sampah, kejar-kejaran,
teriak bahkan dengan tawa pecah. Inilah mereka, pejuang kehidupan dengan
kumpulan puing-puing sampah.

ANISA B WAHDAH,
Palangka Raya

“NAIK-naik ke puncak
sampah, tinggi-tinggi sekali, ha ha ha,” suara kami pecah, ramai penuh tawa.

Saya
(penulis,red)bersama beberapa relawan serta lima bocah pemungut sampah di
Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Jalan Tjilik Riwut km 14, Kota Palangka Raya,
bermain di sekitar tumpukan gunung sampah. Lima bocah itu Nabila, Vita, Adit,
Sinta dan Nadia.

Saling berpegangan.
Saling menguatkan. Sesekali, saling dorong kemudian menarik kembali. Mereka
berjalan dari rumah di balik gunung sampah, sebelum akhirnya bergelut dengan
tumpukan sampah.

Bau. Itu tentu. Tapi
tidak sedikitpun indra penciumnya yang terganggu oleh itu. Mungkin sudah
terbiasa. Berjalan tanpa alas. Katanya tidak sakit. Mungkin juga kulitnya sudah
terbiasa oleh itu.

Adit, bocah SD menjadi
satu-satunya lelaki dalam perjalanan itu. Kaki tanpa alas itu luka karena
pecahan kaca. “Ha ha ha, tidak apa-apa. Tidak sakit. Sudah biasa,” jawabnya,
meyakinkan kami bahwa tak sedikitpun sakit ia rasa. Miris mendengar
pernyataannya. Tapi, bagaimana lagi?

Keseharian lima
berkawan ini sungguh lengkap. Sama seperti anak-anak seumur mereka. Sekolah,
bermain, belajar, nonton televisi. Hanya saja, kelas mereka berbeda. Mereka
harus bermain di gunung sampah, belajar di balik tumpukan sampah, nonton
televisi di rumah tetangga dan mencari uang untuk kebutuhan sekolah.

“Jika senin sampai
sabtu kami bekerja sepulang sekolah, kami berlima mencari sampah. Jam lima sore
sudah pulang,” kata Nabila.

Baca Juga :  Momen Women’s Day, Intan Kusuma Hadie Bawa Spirit Perempuan Kuat

Mereka mencari
barang-barang bekas yang dibuang oleh beberapa truk saat malam hari. Membawa
karung putih di atas punggung. Lagi-lagi, tanpa alas kaki maupun alas tangan,
apalagi penutup hidung.

“Bau sih, tapi sudah
biasa kok,” tambah Nabila.

Hasilnya mereka
kumpulkan bersama penghasilan orangtua selama satu minggu. Genap satu minggu
hasil yang mereka kumpulkan dijual. Pendapatan pun bervariasi. Dalam satu
minggu bekerja seluruh keluarga bisa mendapatkan uang Rp200 ribu.

“Kami semua mencari
barang bekas, termasuk orang tua. Uangnya ya untuk sekolah kami,” katanya.

Barang-barang yang
mereka cari bermacam-macam. Asal bisa dijual kembali. Seperti botol plastik,
kardus, bahkan hingga makanan sisa.

“Kami juga mengumpulkan
makanan sisa, ada yang membeli untuk makanan ternak. Bau sih, tapi sudah
biasa,” tegasnya.

Nabila, gadis yang
mulai beranjak remaja ini sudah menggeluti pekerjaan memulung sejak ia kecil.
Sejak pertama kali orangtuanya datang dan membangan gubuk di balik gunung
sampah itu. Sampai kini sudah kelas satu SMP, uang hasil memungut sampah inilah
yang menjadikan ia mampu mengenyam pendidikan.

“Jadi anak itu harus
mandiri. Tidak harus meminta kepada orangtua, justru harus membantu orangtua,”
ceritanya.

Lagipula, lanjut
Nabila, mereka senang dengan mencari sampah ini. Selepas sekolah sembari
bermain bersama teman-teman sekaligus membantu orangtua. Tidak harus malu.
“Malah saya bangga karena bisa membantu orangtua,” kata Nabila.

 Waktu yang seharusnya mereka bekerja terpotong
karena kedatangan relawan dari dalam kota. Mereka senang, karena para relawan
ini tidak pernah datang dengan tangan kosong. “Nggak papa nggak kerja dulu,
kami senang banyak kakak-kakak dari kota ke sini (TPA,red) apalagi sering bawa
makanan, buku, kadang juga baju-baju,” sembari memeluk beberapa relawan.

Baca Juga :  Belum Maksimalnya Pemberdayaan Bukan Faktor Keahlian

Tak terasa, beberapa
jam lima anak ini bermain bersama para relawan. Sudah mulai petang, mereka
bukan bergegas pulang, tetapi malah senang.

“Horeee, truknya sudah
datang,” Adit, bocah polos yang kegirangan melihat truk masuk ke area TPA.

 Bukannya waktu mereka pulang, karena sudah
petang?

“Kami senang, jika
keesokan harinya sekolah libur maka kami diizinkan lembur oleh orang tua,” ucap
Nabila.

Iya, lembur mencari
sampah dari petang hingga menjelang fajar. Hari libur memang ditunggu-tunggu
oleh kelimanya, karena pundi-pundi rezeki semakin banyak mereka dapatkan.

“Kami senang jika
keesokan harinya libur, jadi kami banyak mencari sampah. Mulai pulang sekolah,
kemudian petang mulai pukul 06.00 WIB terkadang hingga pagi subuh. Malah,
besoknya karena libur juga bisa mencari sampah lagi,” beber Nabila.

Menurut Nabila, puluhan
truk itu menumpahkan sampah dimulai sejak petang hingga menjelang fajar. Di waktu
inilah momen tepat mencari rezeki, karena ‘puluhan rupiah’ tumpah dari puluhan
truk itu. Jika mencari sampah siang hari, mereka hanya mendapatkan sisa-sisa
saja.

“Kan sampah itu yang
paling banyak malam, jadi kami senang mencari sampah saat malam,” ujarnya.

Tidak hanya rupiah, saat malam hari mereka akan
mendapatkan berbagai macam hal. Mulai dari baju, tas, sepatu, mainan dan
lainnya. Terkadang, kebahagaiaan mereka lengkap kala itu. “Sudah ya kak, sudah
petang dan truknya sudah datang. Kami mau bekerja,” mereka berlima pergi
tenggang langgang, kegirangan. (*/ala)

Terpopuler

Artikel Terbaru