Site icon Prokalteng

Bukan Hartawan tapi Dermawan

bukan-hartawan-tapi-dermawan

Meski tak banyak, tapi
ada. Seseorang berjiwa sosial yang rela merogoh saku pribadinya untuk
kepentingan umum. Lebih tepatnya, sedikit meringankan beban mereka yang
membutuhkan. Dia adalah Tinie, mbok jamu lulusan SD, yang sukses membangun sebuah
yayasan sosial.

 

ANISA
B WAHDAH
,
Palangka Raya

============================

 

‘MBOK jamu mbok
jamu lenggang luwes dan kemayu, mbok jamu mbok jamu ada apa di bakulmu, minum jamu
tiap hari hilang sakit hilang nyeri, minum jamu tiap hari badan sehat dan
berseri’.

Nyanyain lantang Mbok
Jamu yang dilantunkan anak-anak di Jalan Mendawai Kompleks Sosial No 24 Kota
Palangka Raya, seakan merayu penulis untuk menyempatkan waktu menengoknya.

Lenggak-lenggok para penari
mungil itu menyita perhatian. Kota Palangka Raya memang dikenal sebagai wilayah
dengan berpenduduk asli suku Dayak. Namun, lantunan lagu dan tarian yang
diperagakan tujuh anak tersebut, sembari mengenakan baju-baju layaknya tarian
khas Jawa, begitu menarik. Tak dapat dimungkiri bahwa Kalteng dikenal sebagai
daerah yang begitu menjunjung nilai toleransi.

Mengobati rindu kampung
halaman di tanah Jawa, Bali, Sumatera, Sulawesi, Papua, dan lainnya, misalnya,
kerap kali terlihat budaya nusantara tersaji di Bumi Tambun Bungai ini.

Pemikiran itu mengusik
kepala pikirian penulis untuk mengetahui di balik lagu Mbok Jamu ini. Kenapa
kok menyanyikan lagu itu?

Ketika mendekati
mereka, terlihat bangunan dengan kontur kayu sudah penuh warna dan dipercantik
dengan bermacam-macam bunga. Jelas ini bangunan Taman Kanak-kanak (TK). Namanya
Bahalap Mutiara Hati. Mereka yang menari itu adalah anak didik di sekolah tersebut.

Anehnya, di depan TK
terpampang beberapa plang dengan bermacam tulisan. Di antaranya, Lembaga
Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA) Kota Palangka Raya dan Lembaga Kesejahteraan
Sosial Lanjut Usia (LKSLU). Di sudut tembok terdapat plang lagi tertulis Yayasan
Mutiara Hati Kota Palangka Raya.

Keingintahuan penulis
semakin besar, lantaran yayasan ini terbangun sederhana. Hanya terlihat sebuah
TK yang menempel di sebelah bangunan rumah yang juga berkonstruksi kayu. Penuis
pun mesti menunggu berjam-jam hingga taman bermain di TK itu selesai. Menyempatkan
waktu berbincang-bincang dengan pemilik yayasan.

“Silakan masuk mbak,
saya pemilik yayasan ini, apakah ada yang bisa saya bantu?” sambutnya sembari
mempersilakan saya masuk dalam ruangan minimalis itu.

Tinie, perempuan paruh
baya yang sehari-harinya membuat dan menjajakan jamu ke jalan-jalan di sekitar
Kota Palangka Raya ini, ternyata merupakan pemilik Yayasan Mutiara Hati.
Penulis sempat terkejut, tapi kembali terdengar ucapan Tinie.

“Benar lho mbak, saya
pemilik yayasan ini. Itu di sebelah TK yang merupakan bagian dari yayasan, dan
acara pagi ini merupakan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-12 Yayasan Mutiara Hati,”
ucapnya saat dibincangi usai kegiatan.

Dikisahkannya, awal berdirinya
yayasan itu tepat pada hari ulang tahunnya ke-42. Saat pertama kali membuka
mata di pagi hari itu, pikiran pertamanya bukan bagaimana ia merayakan hari
ulang tahunnya, melainkan apa yang bisa ia lakukan kepada sesama di usianya
yang semakin senja.

Perempuan berhijab ini bukan
hartawan. Hanya seorang pen jual jamu. Tetapi ia lebih berjiwa dermawan. Sejak
kecil sudah tertarik dengan dunia sosial. Berkembang hingga dewasa dan berumah
tangga. Ia hanya bisa memberikan sedikit dari hasilnya menjual jamu. Entah
mengapa, pada usianya yang ke-42, tiba-tiba keinginanya membangun yayasan
sosial semakin menguat.

“Hari itu juga saya
membentuk yayasasn sosial dengan nama Mutiara Hati,” singkatnya kepada Kalteng
Pos.

Lantaran bukan orang
dengan harta melimpah alias hartawan, ia tidak secara langsung membangun
beberapa lembaga. Hari itu ia awali dengan memberikan beberapa bantuan kepada
yang membutuhkan. Seiring berjalannya waktu, akhirnya ia membangun beberapa
lembaga yang diawali dengan TK.

“Sebenarnya hanya karena
keinginan saya yang kuat untuk membangun. Saya awali dengan berbagi, kemudian
berlanjut hingga pengurusan yayasan. Kemudian saya tetapkan bahwa tanggal lahir
saya itu seklaigus menjadi hari jadinya yayasan ini, tanggal 3 Mei,” bebernya.

Tinie  bekerja siang dan malam demi mewujudkan
keinginanya membangun sebuah TK. Siang menjual jamu, sedangkan malam menjual
jamur. Bahkan, saat berkeliling menjual jamu, ia juga membawa beberapa makanan,
seperti salad buah, botok, kerupuk, dan makanan lainnya.

“Saya membuat jamu sekaligus
dengan makanan ringan lainnya. Saya jajakan keliling di beberapa wilayah Kota
Palangka Raya. Alhamdulillah hasilnya bisa mewujudkan keinginan saya membangun
TK,” kisahnya.

Diakuinya, pembangunan
yayasan itu juga tak lepas dari usaha mendiang suami keduanya. Yayasan tersebut
berhasil dibentuk berkat campur tangan suami tercinta, yang telah meninggal dunia
2016 lalu. Selain mendukung dan memberikan semangat, suaminya juga ikut menyisihkan
hasil kerja sebagai tukang ojek dan menyewakan motor di Kompleks Flamboyan
Bawah.

“Alhamdulillah, setiap
keinginan saya, Tuhan memberikan jalan. Suami saya pun ikut membantu dengan
hasil kerja menjadi tukang ojek setiap hari,” ucap perempuan kelahiran Kota
Kediri, Jawa Timur ini.

Dikatakan perempuan
tiga anak itu, sejak kecil ia telah berkeinginan untuk memiliki sebuah yayasan
sosial suatu hari nanti. Menginjak dewasa, ia pernah mengalami putus asa.
Keinginan untuk menimba ilmu setinggi-tingginya kandas di tengah jalan, saat
usianya yang sangat membutuhkan pendidikan.

Namun apa daya,
keterbatasan ekonomi keluarga membuatnya harus meninggalkan rumah. Bukan untuk menimba
ilmu di sekolah, tapi untuk bekerja.

“Orang tua saya tidak
mendukung saya melanjutkan sekolah ke SMP, karena keadaan ekonomi keluarga. Saya
bekerja di kota dengan iming-iming bisa sekolah. Namun impian itu tidak
terwujud,” imbuhnya.

Karena pengalamannya
itu, ia bertekad mendirikan sekolah dan lembaga sosial untuk membantu anak-anak
kurang mampu, agar tetap mendapatkan pendidikan. Meskipun hanya sebuah TK yang
tidak berarti. Ingin hatinya membangun yayasan itu lebih besar lagi, tapi
keterbatasan menjadi hambatan. Ia hanya bisa melakukan semampunya untuk
masyarakat sekitar.

“Saya tidak sekolah,
hanya lulusan SD. Itulah mengapa pendidikan menjadi prioritas saya untuk
generasi mendatang,” kata perempuan 54 tahun ini.

Meski dengan
keterbatasan pendidikan, ia tak menyerah. Selalu semangat mengurus yayasan.
Mulai dari pengurusan dokumen dan lain sebagainya. Ia tahu harus ke mana meminta
bantuan. Awal mendirikan yayasan pada 2007 silam, ia mencari seorang notaris
untuk mengurus dokumen yayasannya.

“Saya memang tidak berpendidikan,
tapi saya tahu harus ke notaris sendirian meminta bantuan,” ceritanya sembari
mengenang masa lalu.

Perjuangan yang tak
mudah. Berkeliling Kota Palangka Raya mencari notaris dengan biaya sewa murah. Tawar-menawar
dicobanya. Jika belum dapat yang cocok, ia pindah. Hingga pada suatu ketika,
kemudahan itu datang. Ia mendapatkan notaris yang bisa mengurus dengan biaya
yang sesuai kantongnya.

“Saya cari notaris yang
murah. Waktu itu saya temui tiga notaris, dan Tuhan memberi kemudahan,”
tambahnya.

Lelah. Begitu keluhnya.
Tapi tidak menjadikan ia menyerah atau berhenti di tengah jalan. Ia merasa
bahagia karena keinginanya dapat terwujud. Saat ini, ia tinggal seorang diri di
rumah yang sekaligus ia jadikan sebagai yayasan. Hanya ditemani ramainya
anak-anak TK di siang hari.

“Setelah suami saya
meninggal, saya tinggal seorang diri. Tiga anak saya sudah menikah dan
berkeluarga,” ujarnya.

Tak hanya lelah yang
menjadi keluhnya. Ia juga pernah mendapat fitnah. Pasalnya, ibadah umrah yang
dilaksanakannya beberapa waktu lalu, dituding menggunakan uang bantuan dari
pemerintah.

“Saya menyisihkan uang saya untuk yayasan tapi
juga untuk umrah. Tidak pernah saya menggunakan uang bantuan untuk kepentingan
pribadi,” cetusnya. (*/ce/bersambung)

Exit mobile version