Site icon Prokalteng

Kegigihan Penjual Obat Tradisional Dayak Melawan Pandemi

kegigihan-penjual-obat-tradisional-dayak-melawan-pandemi

Sore itu matahari tidak begitu terik. Di teras rumah
Kameliati berjajar tiga lembar seng. Dua lembar
seng dipenuhi potongan kayu dan satu lembar lainnya
berjejer irisan jahe merah. Beberapa karyawan bekerja
sesuai tugasnya. Ada yang memotong kayu, ada juga yang mengemas irisan kayu dalam
kemasan teh celup.

KALTENGPOS.CO – Setiap hari teras rumah Kameliati selalu dipenuhi jejeran kayu khas Kalteng yang
ditata rapi. Kayu berdiameter kurang lebih 5 Cm sudah dalam keadaan terpotong
dengan panjang rata-rata setengah meter. Dijemur.

Kayu itu bukan
sembarang kayu.
Setiap potongan kayu itu memiliki khasiat yang bernilai jual tinggi jika
diolah. Di antara kayu-kayu itu ada yang namanya kayu bajakah, kayu pasak bumi,
dan kayu saluang
belom.

Rumahnya juga
tak pernah sepi dari
bisingnya mesin penggiling kayu dan suara beberapa karyawan yang ngobrol
saling bersahut-sahutan. Rumah ini lah menjadi tempat produksi obat tradisional
berbahan kayu khas Kalteng.

Rumahnya tidak
jauh dari tengah kota. Berada di permukiman penduduk di perumahan Jalan
Bengaris Nomor 9 Kota Palangka Raya. Di depan rumahnya sudah terpajang lebel
produk obat tradisional yang dikembangkan secara
turun temurun dan tentu penuh perjuangan agar tetap mampu bertahan.

Rumah Kameliati
menjadi tempat produksi obat tradisional dengan merek 4M bersaudara.

Kameliati kini
sudah bisa membangkitkan usahanya. Kembali memproduksi dan karyawannya kembali
bekerja.

Dampak serbuan Virus Corona awal tahun tadi, sempat
membuat usaha Kameliati pun turut
porak poranda. Usahanya anjlok hingga 80 persen. Bahan baku tidak terurus,
bahkan semua karyawan dirumahkan tak lama setelah kasus Covid-19
masuk di Kalimantan Tengah pertama kalinya.

“Pandemi Covid-19 ini sangat berdampak. Usaha
saya turun hingga 80 persen. Bahan baku masih banyak, namun tidak ada pesanan,
karyawan saya rumahkan. Namun,
meskipun
sangat berat, saya harus tetap berusaha berdiri dan
berusaha bangkit, mengingat perjuangan saya sejak tahun 2000
ini bukan hal yang mudah,”
kata Kameliati, perempuan
asli Dayak yang mengembangkan obat tradisional secara turun temurun dari
nenek moyangnya.

Perjalanan
usahanya dimulai tahun 2000 silam. Saat itu ia bekerja sebagai juru masak di
rumah jabatan Wali Kota Palangka Raya, Salundik Gohong. Beberapa kali mendengar
keluhan para tamu-tamu pejabat dari beberapa daerah. Mendengar keluhan itu,
akhirnya ia berinisiatif memberikan minuman sebagai obat tradisional yang
sering dibuat oleh orang tuanya.

“Mama saya
turunan ketiga dari nenek moyang saya yang ahli obat tradisional, mama saya
juga sebagai pembuat obat tradisional. Akhirnya saya mencoba meracik obat
tradisional kepada para tamu saat itu,”
tuturnya saat menceritakan awal perjalanan menjadi
pengolah obat tradisional.

Ternyata respon
beberapa tamu saat itu positif. Bahkan Wali Kota Palangka Raya saat itu
mengakui bahwa dengan obat yang ia buat, dapat menyembuhkan keluhan. Saat itu keluhannya
sakit pinggang. Beberapa orang pengikut wali kota tertarik dan Kameliati mulai
memasang harga pada setiap racikan.

“Akhirnya
melihat respon orang di sekitar baik, saya mengirim surat kepada mama saya di
kampong Kapuas Hulu untuk mencatat beberapa macam bahan dan khasiatnya,”ucapnya.

Melihat
perkembangan pejualan obat tradisional dari orang-orang terdekat saat itu
menghasilkan uang yang cukup lumayan, ia berinisiatif menekuni memproduksi obat
tradisional dan perlahan meninggalkan pekerjaannya sebagai juru masak. Ia
meminta suaminya pulang kampung dan mencari berbagai macam bahan baku.

“Saat itu suami
saya ditentang keluarga, untuk apa mencari kayu di hutan, buang-buang uang
saja. Namun, suami saya tetap menuruti kemauan saya untuk mencarikan bahan baku
dan kembali ke Palangka Raya dan pertama kali saat itu membawa dua karung kayu berbagai
jenis dengan berat 50 kilogram,” ungkapnya.

Sesuai petunjuk
yang diberikan orang tuanya, perempuan yang saat itu masih berusia 29
tahun  menjajakan potongan kayu. Dikemas dengan
plastik yang biasa dipakai membungkus es batu bertalikan karet. Ia jajakan sedari
pagi. Berjalan dari rumah ke rumah, kemudian ke sekolah, dan ke kantor
pemerintahan.

“Saat itu, dalam
sehari bisa mendapatkan uang Rp200 hingga Rp300 ribu. Saya kumpulkan sedikit
demi sedikit. Saya sisihkan untuk menjadi modal,” katanya seraya menyebut
aktivitas itu dijalani sampai tahun 2004.

Lalu, lanjut
Kemeliati, ia mendapat saran dari salah satu pejabat untuk memperbarui kemasan
yang hanya berbungkus plastik bening itu menjadi kemasan plastik mika.
Berlabelkan tulisan tangan. Hingga pada 2005, ia sudah merubah kemasan
menggunakan plastik berdiri dan masih digunakan sampai saat ini.

“Perlahan saya
mendapatkan saran dan masukan dari konsumen untuk kemasan, label yang awalnya
tulis tangan akhirnya menjadi prin dan saya foto copy saat itu,” jawab perempan
bernama lengkap Kameliati M Jumain ini.
(bersambung)

Exit mobile version