26.6 C
Jakarta
Saturday, April 27, 2024

Butuh Bantuan Mika dan Tali Karet

Ribuan pegawai dan tenaga kesehatan kekurangan alat pelindung diri (APD)
saat perang melawan Coronavirus disease (Covid-19). Karena itu, Institut
Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) datang membantu bersama para relawan. Mereka
memproduksi alat pelindung wajah (face shield), agar garda terdepan tidak ikut
tumbang.

 

SALMAN MUHIDDIN, Surabaya

 

Gedung Departemen Desain Produk (Despro) Institut Teknologi Sepuluh
Nopember (ITS) Surabaya begitu lengang pada Minggu (28/3). Aktivitas
belajar-mengajar ditiadakan sejak Covid-19 merebak. Tidak ada kendaraan sama
sekali di tempat parkir. Satpam penjaga gerbang pun ikut libur.

Di tengah keheningan itu, terdengar sayup-sayup mesin yang masih
beroperasi. Mesin bor yang melubangi benda yang cukup keras. Suara tersebut
datang dari bengkel di belakang gedung utama. “Halo, Mas. Kami di sini,” sapa
Ady Setiawan sembari melambaikan tangan.

Pendiri Komunitas Roodebrug Soerabaia dan penulis buku-buku sejarah itu
merupakan alumnus ITS. Bukan dari despro, melainkan teknik sipil. Sudah sepekan
terakhir dia menjadi relawan di sana. Ady menerangkan bahwa yang menjadi
relawan bukan hanya dari ITS. Bahkan, mahasiswa dari Malang pun ikut menjadi
relawan kemanusiaan.

Ady memperkenalkan Jawa Pos dengan Djoko Kuswanto, kepala Integrated
Digital Design Laboratory ITS. Dia adalah salah satu penggagas gerakan
tersebut. Dia juga merupakan koordinator wilayah Asosiasi Printer Tridimensi
Indonesia (3D Print) Jatim. Djoko dan asosiasinya mencetak face shield di
berbagai tempat.

Di laboratoriumnya, ada 11 alat yang bekerja tanpa henti, 24 jam nonsetop.
Lengan-lengan mesin cetak tersebut meletakkan filamen sedikit demi sedikit
hingga membentuk benda sesuai desain. “Butuh waktu hingga dua jam untuk satu
unit face shield,” ujar Djoko.

Baca Juga :  Kehilangan Janin setelah Bertemu Nenek Keriput di Waktu Magrib

Setiap hari laboratorium bisa menghasilkan 100 face shield hasil cetakan
printer tridimensi. Mereka dibantu para pengusaha yang memiliki printer
tridimensi di berbagai daerah demi mempercepat produksi. Jadi, setiap hari ada
200 unit yang dicetak.

Meski sudah banyak mesin yang dilibatkan, hasil produksi tetap belum
bisa memenuhi permintaan rumah sakit dan puskesmas. Setidaknya ada 270 ribu
permintaan di area Jatim saja. Sementara itu, permintaan juga datang dari
wilayah lain.

“Yang Jakarta juga minta. Kasihan mereka sampai nangis-nangis. Di sana kondisinya
memang lebih ngeri,” kata Djoko. Meski demikian, dia masih fokus memenuhi
kebutuhan di Jatim.

Dia berharap ada relawan di daerah lain yang juga ikut membantu
pembuatan face shield tersebut. Terutama pemilik printer tridimensi. Djoko akan
mengirimkan data desain face shield yang dibuat. Mereka yang membutuhkan desain
bisa menghubungi crewol@prodes.its.ac.id.

Produksi face shield dengan mesin cetak tridimensi ternyata tidak bisa
memenuhi kebutuhan. Karena itu, dia juga memakai CNC Router yang bisa
memproduksi secara massal.

Selain itu, Djoko menggunakan mesin plong yang bisa lebih cepat dan
praktis. Face shield dari mesin plong memang lebih simpel. Namun secara fungsi
tetap sama. “Jadi, kalau semua cara dikombinasikan, kami bisa memproduksi
delapan sampai sepuluh ribu unit per hari,” jelas pria asli Surabaya itu.

Baca Juga :  Hampir Tidak Pernah Megajak Anak Jalan-Jalan, Pulang Temani Istri Mela

Alat-alat yang sudah dicetak akan diserahkan kepada para relawan. Tugas
mereka merakit tali karet, mika pelindung, hingga rangka face shield menjadi
satu. Pekerjaan para tim perakit itu sedikit terhambat karena sulitnya
mendapatkan karet pengikat. Djoko mengatakan, salah satu kendala yang mereka
hadapi adalah bahan.

Tidak lama kemudian, salah seorang relawan datang membuka pintu. Dia
sudah mendapatkan karet pengikat itu setelah keliling kota. “Oleh teko endi?”
tanya Djoko. “Nang Blauran onok,” ucap relawan itu.

“Ayo, ayo kerja lagi. Ojo mangan ae, tambah lemu engkok awakmu,” ucap
Joko kepada para relawan. Mereka pun langsung mengebut perakitan sehingga alat
itu bisa segera dikemas dan didistribusikan.

Relawan juga masih kekurangan bahan mika pelindung yang menjadi elemen
utama. Paling tidak, membutuhkan 90 gulungan mika. Yang sudah terbeli hanya 18
unit. “Rencananya langsung ke pabriknya di daerah Manyar, Gresik,” ujarnya.

Pada saat genting seperti ini, ada juga yang memanfaatkan kesempatan
dalam kesempitan. Beberapa orang menggunakan desainnya, lalu menjual face
shield itu secara online. “Mau bagaimana. Mau melarang juga enggak bisa. Enggak
ada waktu ngurusi yang begituan,” tuturnya.

Namun, Djoko berharap desainnya digunakan untuk kepentingan sosial. Jika
di setiap daerah ada yang mau memproduksi face shield untuk pegawai dan tenaga
kesehatan, perang melawan korona bisa kita menangkan.
(jpg)

Ribuan pegawai dan tenaga kesehatan kekurangan alat pelindung diri (APD)
saat perang melawan Coronavirus disease (Covid-19). Karena itu, Institut
Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) datang membantu bersama para relawan. Mereka
memproduksi alat pelindung wajah (face shield), agar garda terdepan tidak ikut
tumbang.

 

SALMAN MUHIDDIN, Surabaya

 

Gedung Departemen Desain Produk (Despro) Institut Teknologi Sepuluh
Nopember (ITS) Surabaya begitu lengang pada Minggu (28/3). Aktivitas
belajar-mengajar ditiadakan sejak Covid-19 merebak. Tidak ada kendaraan sama
sekali di tempat parkir. Satpam penjaga gerbang pun ikut libur.

Di tengah keheningan itu, terdengar sayup-sayup mesin yang masih
beroperasi. Mesin bor yang melubangi benda yang cukup keras. Suara tersebut
datang dari bengkel di belakang gedung utama. “Halo, Mas. Kami di sini,” sapa
Ady Setiawan sembari melambaikan tangan.

Pendiri Komunitas Roodebrug Soerabaia dan penulis buku-buku sejarah itu
merupakan alumnus ITS. Bukan dari despro, melainkan teknik sipil. Sudah sepekan
terakhir dia menjadi relawan di sana. Ady menerangkan bahwa yang menjadi
relawan bukan hanya dari ITS. Bahkan, mahasiswa dari Malang pun ikut menjadi
relawan kemanusiaan.

Ady memperkenalkan Jawa Pos dengan Djoko Kuswanto, kepala Integrated
Digital Design Laboratory ITS. Dia adalah salah satu penggagas gerakan
tersebut. Dia juga merupakan koordinator wilayah Asosiasi Printer Tridimensi
Indonesia (3D Print) Jatim. Djoko dan asosiasinya mencetak face shield di
berbagai tempat.

Di laboratoriumnya, ada 11 alat yang bekerja tanpa henti, 24 jam nonsetop.
Lengan-lengan mesin cetak tersebut meletakkan filamen sedikit demi sedikit
hingga membentuk benda sesuai desain. “Butuh waktu hingga dua jam untuk satu
unit face shield,” ujar Djoko.

Baca Juga :  Kehilangan Janin setelah Bertemu Nenek Keriput di Waktu Magrib

Setiap hari laboratorium bisa menghasilkan 100 face shield hasil cetakan
printer tridimensi. Mereka dibantu para pengusaha yang memiliki printer
tridimensi di berbagai daerah demi mempercepat produksi. Jadi, setiap hari ada
200 unit yang dicetak.

Meski sudah banyak mesin yang dilibatkan, hasil produksi tetap belum
bisa memenuhi permintaan rumah sakit dan puskesmas. Setidaknya ada 270 ribu
permintaan di area Jatim saja. Sementara itu, permintaan juga datang dari
wilayah lain.

“Yang Jakarta juga minta. Kasihan mereka sampai nangis-nangis. Di sana kondisinya
memang lebih ngeri,” kata Djoko. Meski demikian, dia masih fokus memenuhi
kebutuhan di Jatim.

Dia berharap ada relawan di daerah lain yang juga ikut membantu
pembuatan face shield tersebut. Terutama pemilik printer tridimensi. Djoko akan
mengirimkan data desain face shield yang dibuat. Mereka yang membutuhkan desain
bisa menghubungi crewol@prodes.its.ac.id.

Produksi face shield dengan mesin cetak tridimensi ternyata tidak bisa
memenuhi kebutuhan. Karena itu, dia juga memakai CNC Router yang bisa
memproduksi secara massal.

Selain itu, Djoko menggunakan mesin plong yang bisa lebih cepat dan
praktis. Face shield dari mesin plong memang lebih simpel. Namun secara fungsi
tetap sama. “Jadi, kalau semua cara dikombinasikan, kami bisa memproduksi
delapan sampai sepuluh ribu unit per hari,” jelas pria asli Surabaya itu.

Baca Juga :  Hampir Tidak Pernah Megajak Anak Jalan-Jalan, Pulang Temani Istri Mela

Alat-alat yang sudah dicetak akan diserahkan kepada para relawan. Tugas
mereka merakit tali karet, mika pelindung, hingga rangka face shield menjadi
satu. Pekerjaan para tim perakit itu sedikit terhambat karena sulitnya
mendapatkan karet pengikat. Djoko mengatakan, salah satu kendala yang mereka
hadapi adalah bahan.

Tidak lama kemudian, salah seorang relawan datang membuka pintu. Dia
sudah mendapatkan karet pengikat itu setelah keliling kota. “Oleh teko endi?”
tanya Djoko. “Nang Blauran onok,” ucap relawan itu.

“Ayo, ayo kerja lagi. Ojo mangan ae, tambah lemu engkok awakmu,” ucap
Joko kepada para relawan. Mereka pun langsung mengebut perakitan sehingga alat
itu bisa segera dikemas dan didistribusikan.

Relawan juga masih kekurangan bahan mika pelindung yang menjadi elemen
utama. Paling tidak, membutuhkan 90 gulungan mika. Yang sudah terbeli hanya 18
unit. “Rencananya langsung ke pabriknya di daerah Manyar, Gresik,” ujarnya.

Pada saat genting seperti ini, ada juga yang memanfaatkan kesempatan
dalam kesempitan. Beberapa orang menggunakan desainnya, lalu menjual face
shield itu secara online. “Mau bagaimana. Mau melarang juga enggak bisa. Enggak
ada waktu ngurusi yang begituan,” tuturnya.

Namun, Djoko berharap desainnya digunakan untuk kepentingan sosial. Jika
di setiap daerah ada yang mau memproduksi face shield untuk pegawai dan tenaga
kesehatan, perang melawan korona bisa kita menangkan.
(jpg)

Terpopuler

Artikel Terbaru