SUHARTOYO,
Pulang Pisau
RABU malam
(8/4), gerimis membasahi bumi. Suasana di lingkungan tempat tinggal MT begitu sunyi.
Namun, keadaan itu berubah seketika tatkala sejumlah petugas kesehatan mengenakan
APD mendatangi rumah MT.
Malam itu MT dibawa dari salah satu desa di
Kecamatan Maliku, Kabupaten Pulang Pisau menuju RSUD dr Doris Sylvanus (RSDS) Palangka
Raya untuk menjalani perawatan medis, setelah ditetapkan sebagai pasien dalam
pengawasan (PDP).
“Saat dijemput ke Palangka Raya malam itu, saya
tidak membawa apa-apa. Karena saya tidak tahu kalau akan dibawa ke Palangka
Raya,†kata MT mengawali cerita kepada Kalteng Pos, Rabu (3/6).
MT mengaku, sebelum dibawa ke Palangka Raya, ia
telah menjalani dua kali rapid test. “Malam itu ada petugas kesehatan menelepon,
mengabari bahwa saya akan dibawa ke Pulang Pisau. Makanya saya malam itu tidak
membawa apa-apa. Pakaian maupun ponsel pun tidak saya bawa,†kata dia.
MT menjalani perawatan di RSDS. Saat petugas
medis menyampaikan kabar bahwa dirinya dinyatakan positif Covid-19, MT tetap
tenang. Tidak ada perasaan cemas di hatinya. Karena dia tidak mengalami keluhan
sakit apa pun.
“Perasaan saya biasa-biasa saja. Karena saya
tidak percaya kalau saya positif. Saat itu, teman saya yang juga dinyatakan
positif langsung menangis. Saya hanya bilang; biar saja kita dibilang positif,
yang penting kita tetap sehat,†ungkapnya.
Bahkan saat petugas kesehatan melakukan
pengecekan kondisi, MT mengaku tidak merasakan apa-apa. “Perawat menanyakan apa
keluhan saya. Saya bilang; keluhan saya hanya ingin pulang,†ucapnya sambil
berkelakar.
Selama menjalani perawatan di rumah sakit, MT rutin
diberi obat. “Obatnya semacam vitamin. Diminum setiap hari hingga akhirnya dinyatakan
negatif dan diperbolehkan pulang,†bebernya.
Kisah pilu keluarga MT dimuali saat dirinya
dibawa ke Palangka Raya malam itu. “Ketika tetangga mengetahui kedatangan
petugas kesehatan yang dikawal polisi untuk menjemput saya, mereka mulai takut
dan langsung menjaga jarak,†kata MT.
Bahkan, pekarangan di belakang rumahnya
langsung dipasang pagar. Ada ketakutan dari warga sekitar untuk mendekati
anggota keluarga MT. Istri MT yang saat itu di rumah merasa bingung. “Karena
mau ke mana-mana tidak boleh,†ucapnya.
Sekadar meminjam tangki semprot untuk
menyemprot rumput pun tak satu pun tetangga yang berani meminjami.
“Sampai-sampai istri saya minta izin mau beli tangki ke aparat desa, tapi tetap
tak diberi izin. Akhirnya petugas puskesmas memberi izin, dengan syarat tak
boleh berlama-lama. Setelah beli tangki semprot harus cepat pulang. Padahal
anak istri saya negatif,†kata dia.
Pengucilan terhadap keluarga MT oleh para
tetangga bahkan berlanjut, meski MT sudah dinyatakan negatif Covid-19. Tetap
dijauhi. “Saat saya pulang dari rumah sakit, tak ada satu pun tetangga yang
menjenguk saya ke rumah,†ucapnya.
Kehidupan sosial dengan masyarakat sekitar pun
belum bisa dia rasakan secara normal sepenuhnya. “Untuk jumatan (salat Jumat)
pun saya tidak dibolehkan. Orang pada takut. Makanya saya jumatan ke luar desa.
Padahal saya sudah dinyatakan sehat,†keluhnya.
Tak satu pun tetangga yang ingin bertegur sapa.
“Bahkan saat saya bersih-bersih di depan rumah, orang yang lewat langsung
menutup hidungnya dengan masker. Kalau Anda (wartawan Kalteng Pos) pada posisi
saya, saya yakin akan menangis dengan kondisi ini,†tuturnya.
MT pun mengungkapkan bahwa sang istri ikut
merasa depresi atas kondisi itu. “Bukan hanya depresi, tapi istri saya sempat
hampir bunuh karena dimarahi dan dijauhi tetangga,†ungkap MT.
Sampai-sampai sang istri berpikiran untuk mengajak
sekeluarga pulang ke kampong halaman di Papua. Sebab, tak ada tetangga yang mau
mendekati keluarganya. “Istri saya mengeluh, bagaimana kita hidup tanpa
tetangga. Saya hanya bisa bilang, sabar saja Bu, nanti akan baik sendiri kalau
para tetangga sudah tahu kita tidak apa-apa,†tandasnya.