28.7 C
Jakarta
Saturday, May 31, 2025

Keamanan Negara

Anda sudah tahu: Doktor Rismon Sianipar diperiksa polisi soal pengungkapan forensiknya atas ijazah Presiden Jokowi. Tapi saya baru tahu kalau yang memeriksa adalah Direktorat Keamanan Negara Mabes Polri. Bukan Direktorat Pidana Umum atau Pidana Khusus.

Saya menduga soal ijazah Jokowi akan dibawa ke soal ”mengganggu keamanan negara”. Kalau sudah begitu persoalannya bukan lagi asli atau palsu. Tapi soal ancaman terhadap keamanan negara.

Saya pun menduga jabatan presiden dianggap simbol negara. Kehormatan presiden adalah kehormatan negara. Kalau kehormatan presiden jatuh, kehormatan negara ikut jatuh. Kepercayaan terhadap negara pun ikut runtuh. Sampai ke tingkat panggung dunia.

Itu bukan pendapat saya, tapi tafsir saya atas kecenderungan perkembangan ijazah itu belakangan ini.

Kita Indonesia. Belum Korea Selatan.

Duluuuuuu, kehormatan Presiden Bung Karno juga harus diselamatkan. Bung Karno tidak sampai diadili. Padahal Angkatan 66 begitu gencar menuntut agar Bung Karno diseret –begitu kata-kata waktu itu– ke pengadilan, untuk dijatuhi hukuman mati.

Bung Karno ”selamat” dari vonis bersalah. Selamat dari status terhukum. Tapi nama beliau hancur sehancur-hancurnya. Pun sampai soal kehidupan pribadi beliau. Soal istri-istri beliau. Soal pemenjaraan lawan-lawan politik. Soal jadi boneka Peking. Dianggap PKI, setidaknya memihak partai komunis.

Semua tuduhan itu berakhir ketika Bung Karno wafat. Mulailah perlahan-lahan nama Bung Karno membaik. Pengikut Bung Karno mulai berani tampil ke panggung politik. Perlahan-lahan. Bertahun-tahun. Puncaknya: Megawati terpilih sebagai ketua umum PDI-Perjuangan. Lalu partainya, memenangkan Pemilu. Mega jadi presiden.

Baca Juga :  Depan Belakang

Puncaknya puncak: nama Bung Karno direhabilitasi. Beliau diakui sebagai pahlawan nasional. Ketetapan MPR yang menyalahkan Bung Karno dicabut di zaman Bambang Soesatyo menjadi ketua MPR.

Pak Harto pun demikian. Tidak sampai diadili. Padahal tuntutan untuk mengadilinya luar biasa tinggi. Tuduhannya melakukan KKN –istilah yang sangat populer di tahun 1998 dan seterusnya.

Reformasi telah menghancurkan nama besar Pak Harto. Jasa-jasa Pak Harto sebagai ”bapak pembangunan” ludes digilas reformasi.

Tapi Pak Harto terhindar dari vonis bersalah oleh pengadilan. Tidak sampai jadi terpidana dalam kasus KKN yang dituduhkan dengan hebatnya.

Pak Harto pun meninggal dunia. Tuntutan pun mulai mereda. Lalu lenyap. Setidaknya tidak lagi muncul di permukaan. Nama Pak Harto pelan-pelan naik kembali. Bahkan mulai ada tulisan di belakang bak truk yang bunyinya: ”masih enak zamanku tho?” Ada gambar Pak Harto tersenyum di sebelah tulisan itu.

Lama-lama putri Pak Harto jadi anggota DPR. Menantu Pak Harto jadi presiden.

Saya membayangkan betapa sulitnya posisi Pak Harto di depan Bung Karno. Sebagai presiden, Pak Harto melihat: begitu tingginya amarah rakyat. Tapi Presiden Soeharto juga harus tahu bahwa ia harus mikul dhuwur mendhem jero atas tokoh sebesar Bung Karno.

Baca Juga :  Penyamun Bohong

Apalagi Bung Karno berjasa besar dalam membuat dirinya bisa jadi presiden. Kalau saja Bung Karno waktu itu mengeluarkan komando ”lawan!” belum tentu Pak Harto bisa jadi presiden.

Pun Presiden Habibie dan Presiden Gus Dur. Betapa sulit posisi kepresidenan beliau berdua: terjepit antara tuntutan rakyat agar adili ”bapak KKN” Soeharto dan keharusan mikul dhuwur mendhem jero presiden yang digantikannya.

Kini Presiden Prabowo rasanya juga menghadapi hal yang sama.

Kalau kita belajar dari sulitnya posisi Presiden Soeharto atas Bung Karno dan sulitnya posisi Presiden Gus Dur atas Pak Harto kita juga bisa merasakan sulitnya posisi Presiden Prabowo atas Presiden Jokowi.

Kesimpulan saya: akhirilah ini sampai di sini. Tutuplah soal ijazah sekarang juga. Tidak perlu sampai pengadilan. Baik terhadap Rismon dkk maupun terhadap siapa saja.

Biarlah status ijazah itu ”menggantung” begitu saja. Jangan ada vonis apa pun. Biarlah waktu yang akan berbicara. Biarlah kelak, 50 tahun lagi, para ahli sejarah punya pekerjaan untuk menuliskan adanya peristiwa di masa nan lalu di tahun 2025. (Dahlan Iskan)

Anda sudah tahu: Doktor Rismon Sianipar diperiksa polisi soal pengungkapan forensiknya atas ijazah Presiden Jokowi. Tapi saya baru tahu kalau yang memeriksa adalah Direktorat Keamanan Negara Mabes Polri. Bukan Direktorat Pidana Umum atau Pidana Khusus.

Saya menduga soal ijazah Jokowi akan dibawa ke soal ”mengganggu keamanan negara”. Kalau sudah begitu persoalannya bukan lagi asli atau palsu. Tapi soal ancaman terhadap keamanan negara.

Saya pun menduga jabatan presiden dianggap simbol negara. Kehormatan presiden adalah kehormatan negara. Kalau kehormatan presiden jatuh, kehormatan negara ikut jatuh. Kepercayaan terhadap negara pun ikut runtuh. Sampai ke tingkat panggung dunia.

Itu bukan pendapat saya, tapi tafsir saya atas kecenderungan perkembangan ijazah itu belakangan ini.

Kita Indonesia. Belum Korea Selatan.

Duluuuuuu, kehormatan Presiden Bung Karno juga harus diselamatkan. Bung Karno tidak sampai diadili. Padahal Angkatan 66 begitu gencar menuntut agar Bung Karno diseret –begitu kata-kata waktu itu– ke pengadilan, untuk dijatuhi hukuman mati.

Bung Karno ”selamat” dari vonis bersalah. Selamat dari status terhukum. Tapi nama beliau hancur sehancur-hancurnya. Pun sampai soal kehidupan pribadi beliau. Soal istri-istri beliau. Soal pemenjaraan lawan-lawan politik. Soal jadi boneka Peking. Dianggap PKI, setidaknya memihak partai komunis.

Semua tuduhan itu berakhir ketika Bung Karno wafat. Mulailah perlahan-lahan nama Bung Karno membaik. Pengikut Bung Karno mulai berani tampil ke panggung politik. Perlahan-lahan. Bertahun-tahun. Puncaknya: Megawati terpilih sebagai ketua umum PDI-Perjuangan. Lalu partainya, memenangkan Pemilu. Mega jadi presiden.

Baca Juga :  Depan Belakang

Puncaknya puncak: nama Bung Karno direhabilitasi. Beliau diakui sebagai pahlawan nasional. Ketetapan MPR yang menyalahkan Bung Karno dicabut di zaman Bambang Soesatyo menjadi ketua MPR.

Pak Harto pun demikian. Tidak sampai diadili. Padahal tuntutan untuk mengadilinya luar biasa tinggi. Tuduhannya melakukan KKN –istilah yang sangat populer di tahun 1998 dan seterusnya.

Reformasi telah menghancurkan nama besar Pak Harto. Jasa-jasa Pak Harto sebagai ”bapak pembangunan” ludes digilas reformasi.

Tapi Pak Harto terhindar dari vonis bersalah oleh pengadilan. Tidak sampai jadi terpidana dalam kasus KKN yang dituduhkan dengan hebatnya.

Pak Harto pun meninggal dunia. Tuntutan pun mulai mereda. Lalu lenyap. Setidaknya tidak lagi muncul di permukaan. Nama Pak Harto pelan-pelan naik kembali. Bahkan mulai ada tulisan di belakang bak truk yang bunyinya: ”masih enak zamanku tho?” Ada gambar Pak Harto tersenyum di sebelah tulisan itu.

Lama-lama putri Pak Harto jadi anggota DPR. Menantu Pak Harto jadi presiden.

Saya membayangkan betapa sulitnya posisi Pak Harto di depan Bung Karno. Sebagai presiden, Pak Harto melihat: begitu tingginya amarah rakyat. Tapi Presiden Soeharto juga harus tahu bahwa ia harus mikul dhuwur mendhem jero atas tokoh sebesar Bung Karno.

Baca Juga :  Penyamun Bohong

Apalagi Bung Karno berjasa besar dalam membuat dirinya bisa jadi presiden. Kalau saja Bung Karno waktu itu mengeluarkan komando ”lawan!” belum tentu Pak Harto bisa jadi presiden.

Pun Presiden Habibie dan Presiden Gus Dur. Betapa sulit posisi kepresidenan beliau berdua: terjepit antara tuntutan rakyat agar adili ”bapak KKN” Soeharto dan keharusan mikul dhuwur mendhem jero presiden yang digantikannya.

Kini Presiden Prabowo rasanya juga menghadapi hal yang sama.

Kalau kita belajar dari sulitnya posisi Presiden Soeharto atas Bung Karno dan sulitnya posisi Presiden Gus Dur atas Pak Harto kita juga bisa merasakan sulitnya posisi Presiden Prabowo atas Presiden Jokowi.

Kesimpulan saya: akhirilah ini sampai di sini. Tutuplah soal ijazah sekarang juga. Tidak perlu sampai pengadilan. Baik terhadap Rismon dkk maupun terhadap siapa saja.

Biarlah status ijazah itu ”menggantung” begitu saja. Jangan ada vonis apa pun. Biarlah waktu yang akan berbicara. Biarlah kelak, 50 tahun lagi, para ahli sejarah punya pekerjaan untuk menuliskan adanya peristiwa di masa nan lalu di tahun 2025. (Dahlan Iskan)

Terpopuler

Artikel Terbaru

/