27.1 C
Jakarta
Thursday, May 29, 2025

Kedelai Gajah

SAYA ke sawah pekan lalu. Ke rumah seorang petani di dekat Greensburg. Satu jam dari Indianapolis –sehari sebelum nonton balap mobil Indy500.

Dari Greensburg pun, untuk ke ”desa” itu, harus bermobil. Melewati jalan-jalan aspal yang membelah sawah yang luas.

Di kejauhan sana, di tengah sawah sana, terlihatlah segerumbul pepohonan. Gerumbulan pohon itulah yang saya sebut satu ”desa”. Saya beri nama Desa Charles.

Satu ”desa” itu isinya dua atau tiga bangunan saja. Milik satu orang. Charles.

Bangunan pertama rumah tinggal. Satunya lagi bengkel mekanik. Yang ketiga unit pengolah hasil pertanian.

Di ”Desa Charles” hanya keluarga Charles yang tinggal. Dengan istri dan Adams, anak laki-lakinya yang baru lulus SMA. Di seputar ”desa” itu hanya ada hamparan sawah nan luas.

Dari jauh gerumbulan pohon itu seperti sebuah pedukuhan yang amat kecil. Setelah tiba di situ terlihat luas. Rumah tinggalnya, dua lantai. Halamannya luas –ditanami bebungaan dan tanaman hias.

Di sudut halaman sana, ada bangunan processing kedelai. kedelai dijadikan minyak –dijual ke pabrik minyak goreng untuk dimurnikan. Atau jadi biodiesel.

Saya masuk ke unit processing itu. Mesinnya sederhana sekali: mesin press kedelai biasa. Seperti rakitan mereka sendiri.

Nyeberang ke halaman belakang ada bangunan bengkel. Lebih besar dari rumah dan unit processing kedelai. Saya pun diajak masuk ke bengkel. Wow! ada gajah bengkak di dalam bengkel itu.

Yang saya sebut gajah-bengkak adalah kendaraan raksasa milik Charles. Harganya: Rp 10 miliar. Seorang petani bisa beli kendaraan semahal itu.

Roda kendaraan itu sangat besar. Ukuran bannya saja lebih tinggi daripada badan saya. Untuk naik ke tempat kemudi harus memanjat lima anak tangganya.

Baca Juga :  Kanker Prostat

Itulah mesin untuk panen kedelai. Dengan satu mesin itu tanaman kedelai seluas 1000 hektare bisa dipanen dalam satu minggu. Termasuk proses menjadikannya butiran kedelai, juga di mesin itu.

Saya naik ke kursi kemudi kendaraan itu. Kursinya mirip kursi pilot pesawat –bisa mentul-mentul agar tidak terjadi guncangan saat melewati lubang.

Di sudut kabinnya ada layar monitor. Serba digital.

Di luar bengkel masih ada satu gajah bengkak lagi. Itulah mesin penyiram tanaman kedelai yang airnya sudah mengandung pupuk.

Kendaraan ini punya dua ‘tangan’. Saat parkir di halaman “tangannya” disedekapkan. Di sawah nanti “tangannya” direntangkan. Lebar rentangnya: 120 meter!

Sebenarnya saya dijadwalkan untuk merasakan bagaimana menjalankan mesin-mesin itu. Dipraktikkan di sawah. Tidak perlu SIM khusus. Tapi timing-nya tidak tepat. Lagi hujan. Kesempatan ada tapi keadaan tidak memungkinkan.

Saya diminta datang lagi tahun depan.

Harga gajah yang diparkir di luar bengkel itu juga Rp 10 miliar.

Masih banyak lagi mesin pertanian milik petani bernama Charles ini. Kalau mesin-mesin itu rusak harus diatasi sendiri. Tidak ada yang buka bisnis bengkel di sana. Tidak akan laku. Semua petani bisa memperbaiki mesin-mesin pertaniannya sendiri.

Maka Charles punya bengkel sendiri. Semua kerusakan harus diperbaiki sendiri.

Tidak hanya Charles. Semua petani di Amerika bisa memperbaiki mesin pertanian mereka sendiri. Tidak ada tempat untuk minta bantuan. Tidak punya tetangga. Harus Mandiri.

Punya tetangga kadang justru hanya membuat mental tidak bisa mandiri. Apalagi kalau tetangganya baik. Mepet pula. Hanya dipisahkan pagar.

Charles punya kemampuan mekanik bukan karena sekolah. Ia dapat ilmu dari ayahnya. Ayahnya dulu dapat dari kakeknya.

Baca Juga :  Delapan Tahun

Semua anak petani, sejak kecil, sudah bergaul dengan bengkel. Pulang sekolah pun ke bengkel. Liburan ke bengkel.

“Apakah saat belajar dulu Anda pernah membuat mesin justru rusak?”

“Pernah. Sering”.

“Ayah Anda tidak marah?”

“Tidak”.

“Apa reaksi ayah Anda?”

“Saya harus bisa membetulkannya lagi. Betulkan sendiri. Sampai betul”.

Setelah jadi ayah, giliran Charles mengajarkan itu pada Adams, anaknya. Sebenarnya bukan mengajarkan tapi mewariskan ilmu. Lihat. Coba. Salah. Lihat lagi. Coba lagi. Seterusnya. Sampai bisa.

“Kami ini hanya panen setahun sekali. Harus hemat. Harus bisa lakukan sendiri semuanya,” kata Charles.

Meski panennya hanya sekali setahun, hasilnya banyak. Produktivitas per hektarnya sampai 3,7 ton. Bandingkan dengan kedelai di Indonesia: satu hektare 0,6 ton.

Petani tidak pernah menggunakan hasil panen untuk benih. Setiap musim tanam mereka membeli benih.  Perusahaan perbenihan pun hidup. Jadi bisnis tersendiri. Perusahaan benih itulah yang terus menemukan benih unggul.

Dari rumah Charles saya diajak ke rumah Nick. Di ”Desa Nick”. Di sebuah gerumbulan pohon di tengah sawah, sekitar 1 km dari ”Desa Charles”.

Dengan Nick saya diskusi soal penciptaan benih kedelai. Mulai dari laboratoriumnya sampai lahan pembenihannya.

Nick, yang baru punya anak lima bulan lalu, juga tidak sekolah benih. Ia dapat warisan ilmu dari ayahnya. Ilmu sang ayah didapat dari kakeknya.

Nick hanya kuliah dua tahun. Tidak betah. Pilih langsung terjun ke perusahaan. Sudah sejak kecil ia ikut ayahnya mengerjakan pembenihan.

Para petani di Amerika ternyata sudah lebih dulu menganggap ”bisa apa” lebih penting daripada “lulusan mana”.(Dahlan Iskan)

SAYA ke sawah pekan lalu. Ke rumah seorang petani di dekat Greensburg. Satu jam dari Indianapolis –sehari sebelum nonton balap mobil Indy500.

Dari Greensburg pun, untuk ke ”desa” itu, harus bermobil. Melewati jalan-jalan aspal yang membelah sawah yang luas.

Di kejauhan sana, di tengah sawah sana, terlihatlah segerumbul pepohonan. Gerumbulan pohon itulah yang saya sebut satu ”desa”. Saya beri nama Desa Charles.

Satu ”desa” itu isinya dua atau tiga bangunan saja. Milik satu orang. Charles.

Bangunan pertama rumah tinggal. Satunya lagi bengkel mekanik. Yang ketiga unit pengolah hasil pertanian.

Di ”Desa Charles” hanya keluarga Charles yang tinggal. Dengan istri dan Adams, anak laki-lakinya yang baru lulus SMA. Di seputar ”desa” itu hanya ada hamparan sawah nan luas.

Dari jauh gerumbulan pohon itu seperti sebuah pedukuhan yang amat kecil. Setelah tiba di situ terlihat luas. Rumah tinggalnya, dua lantai. Halamannya luas –ditanami bebungaan dan tanaman hias.

Di sudut halaman sana, ada bangunan processing kedelai. kedelai dijadikan minyak –dijual ke pabrik minyak goreng untuk dimurnikan. Atau jadi biodiesel.

Saya masuk ke unit processing itu. Mesinnya sederhana sekali: mesin press kedelai biasa. Seperti rakitan mereka sendiri.

Nyeberang ke halaman belakang ada bangunan bengkel. Lebih besar dari rumah dan unit processing kedelai. Saya pun diajak masuk ke bengkel. Wow! ada gajah bengkak di dalam bengkel itu.

Yang saya sebut gajah-bengkak adalah kendaraan raksasa milik Charles. Harganya: Rp 10 miliar. Seorang petani bisa beli kendaraan semahal itu.

Roda kendaraan itu sangat besar. Ukuran bannya saja lebih tinggi daripada badan saya. Untuk naik ke tempat kemudi harus memanjat lima anak tangganya.

Baca Juga :  Kanker Prostat

Itulah mesin untuk panen kedelai. Dengan satu mesin itu tanaman kedelai seluas 1000 hektare bisa dipanen dalam satu minggu. Termasuk proses menjadikannya butiran kedelai, juga di mesin itu.

Saya naik ke kursi kemudi kendaraan itu. Kursinya mirip kursi pilot pesawat –bisa mentul-mentul agar tidak terjadi guncangan saat melewati lubang.

Di sudut kabinnya ada layar monitor. Serba digital.

Di luar bengkel masih ada satu gajah bengkak lagi. Itulah mesin penyiram tanaman kedelai yang airnya sudah mengandung pupuk.

Kendaraan ini punya dua ‘tangan’. Saat parkir di halaman “tangannya” disedekapkan. Di sawah nanti “tangannya” direntangkan. Lebar rentangnya: 120 meter!

Sebenarnya saya dijadwalkan untuk merasakan bagaimana menjalankan mesin-mesin itu. Dipraktikkan di sawah. Tidak perlu SIM khusus. Tapi timing-nya tidak tepat. Lagi hujan. Kesempatan ada tapi keadaan tidak memungkinkan.

Saya diminta datang lagi tahun depan.

Harga gajah yang diparkir di luar bengkel itu juga Rp 10 miliar.

Masih banyak lagi mesin pertanian milik petani bernama Charles ini. Kalau mesin-mesin itu rusak harus diatasi sendiri. Tidak ada yang buka bisnis bengkel di sana. Tidak akan laku. Semua petani bisa memperbaiki mesin-mesin pertaniannya sendiri.

Maka Charles punya bengkel sendiri. Semua kerusakan harus diperbaiki sendiri.

Tidak hanya Charles. Semua petani di Amerika bisa memperbaiki mesin pertanian mereka sendiri. Tidak ada tempat untuk minta bantuan. Tidak punya tetangga. Harus Mandiri.

Punya tetangga kadang justru hanya membuat mental tidak bisa mandiri. Apalagi kalau tetangganya baik. Mepet pula. Hanya dipisahkan pagar.

Charles punya kemampuan mekanik bukan karena sekolah. Ia dapat ilmu dari ayahnya. Ayahnya dulu dapat dari kakeknya.

Baca Juga :  Delapan Tahun

Semua anak petani, sejak kecil, sudah bergaul dengan bengkel. Pulang sekolah pun ke bengkel. Liburan ke bengkel.

“Apakah saat belajar dulu Anda pernah membuat mesin justru rusak?”

“Pernah. Sering”.

“Ayah Anda tidak marah?”

“Tidak”.

“Apa reaksi ayah Anda?”

“Saya harus bisa membetulkannya lagi. Betulkan sendiri. Sampai betul”.

Setelah jadi ayah, giliran Charles mengajarkan itu pada Adams, anaknya. Sebenarnya bukan mengajarkan tapi mewariskan ilmu. Lihat. Coba. Salah. Lihat lagi. Coba lagi. Seterusnya. Sampai bisa.

“Kami ini hanya panen setahun sekali. Harus hemat. Harus bisa lakukan sendiri semuanya,” kata Charles.

Meski panennya hanya sekali setahun, hasilnya banyak. Produktivitas per hektarnya sampai 3,7 ton. Bandingkan dengan kedelai di Indonesia: satu hektare 0,6 ton.

Petani tidak pernah menggunakan hasil panen untuk benih. Setiap musim tanam mereka membeli benih.  Perusahaan perbenihan pun hidup. Jadi bisnis tersendiri. Perusahaan benih itulah yang terus menemukan benih unggul.

Dari rumah Charles saya diajak ke rumah Nick. Di ”Desa Nick”. Di sebuah gerumbulan pohon di tengah sawah, sekitar 1 km dari ”Desa Charles”.

Dengan Nick saya diskusi soal penciptaan benih kedelai. Mulai dari laboratoriumnya sampai lahan pembenihannya.

Nick, yang baru punya anak lima bulan lalu, juga tidak sekolah benih. Ia dapat warisan ilmu dari ayahnya. Ilmu sang ayah didapat dari kakeknya.

Nick hanya kuliah dua tahun. Tidak betah. Pilih langsung terjun ke perusahaan. Sudah sejak kecil ia ikut ayahnya mengerjakan pembenihan.

Para petani di Amerika ternyata sudah lebih dulu menganggap ”bisa apa” lebih penting daripada “lulusan mana”.(Dahlan Iskan)

Terpopuler

Artikel Terbaru

/