28.4 C
Jakarta
Monday, April 28, 2025

Monorail Mau

Misalkan Anda punya ide: di setiap stasiun KRL di Jakarta dibangun apartemen kelas biasa.

Rumah susun –tapi jangan disebut rumah susun. Misalkan, masing-masing 20 lantai. Tiap stasiun beberapa unit. Keretanya masuk ke apartemen itu. Seperti yang di Chongqing, Tiongkok, itu (Disway: BACA JUGA:Apartemen Kereta).

Mungkinkah ide Anda itu bisa diterima? Lalu jadi kenyataan?

Coba saja. Toh alasan untuk mengemukakan ide itu lebih kuat dari riwayat lahirnya kereta masuk apartemen di Chongqing.

Ide itu harus Anda niatkan untuk sesuatu yang mulia: agar jumlah golongan kelas menengah kita terus bertambah. Agar negara cepat maju.

Anda sudah tahu: waini terlalu banyak orang yang berpendapatan tetap di Jakarta menghabiskan gajinya untuk biaya transportasi.

Sebenarnya mereka telah menghemat dengan cara naik KRL. Tapi rumah mereka jauh dari stasiun –hanya bisa beli rumah yang harganya masih terjangkau.

Karcis KRL-nya sendiri murah. Rp 1.500. Dulu. Entah sekarang. Tapi biaya transport dari rumah ke stasiun jauh lebih mahal dari itu. Naik ojek bisa Rp 8.000 sampai 15.000. Pulangnya pun segitu.

Rumah di sekitar stasiun sudah mahal. Tidak terjangkau. Maka pemerintah bisa bekerja sama dengan KAI: bangun rumah susun di lahan stasiun KRL. Biayanya minta dicarikan lewat Danantara.

Baca Juga :  Impor Beras

Atau ide itu Anda teruskan ke menteri perumahan. Toh Anda tahu: Ara (Maruarar Sirait, Red), sang menteri, lagi pusing menghadapi para pengembang. Program membangun tiga juta rumahnya banyak dipersoalkan pengembang.

Tapi, sekali lagi, niat ide Anda itu harus tulus: untuk membuat negara ini kian masuk akal. Menggunakan lebih separo gaji untuk biaya transportasi adalah tidak masuk akal. Padahal itu transportasi ke tempat kerja.

Kalau rumah mereka bisa di sekitar stasiun langsung biaya hidup mereka turun drastis. Untuk transportasi bisa turun 70 persen. Bisa untuk meningkatkan kesejahteraan.

Saat saya ikut melihat kereta masuk apartemen di Chongqing Sabtu lalu saya membayangkan alangkah enaknya penghuni apartemen itu. Stasiunnya di lantai enam apartemen mereka. Lantai-lantai di bawah stasiun dipakai untuk komersial. Lantai paling bawah, yang menghadap jalan raya untuk toko-toko dan restoran.

Kereta monorail menembus gedung apartemen di Chongqing, Tiongkok. -Foto: Retna Christa-Harian Disway-

Waini toko dan resto itu panen raya. Ribuan turis telah didatangkan TikTok. Tiap hari. Siang malam. Ribuan turis itu  jadi konsumen besar.

Tidak ada tempat parkir umum di situ. Turis harus turun dari bus untuk menyeberang jalan –mencari posisi agar bisa melihat kereta masuk apartemen.

Setelah menurunkan turis bus harus pergi. Nanti, kalau mau meninggalkan tempat itu, turis harus berkumpul dulu di trotoar lebar depan toko-resto.

Baca Juga :  DK Jakarta

Kalau rombongan sudah lengkap, baru bus boleh dipanggil. Perlu waktu tunggu bus sekitar 15 menit. Waktu tunggu itulah yang mereka manfaatkan untuk cari makanan kecil, minum dan beli oleh-oleh. Rezeki TikTok.

Kalau toh ide Anda itu ditentang mungkin karena satu hal: suara berisiknya KRL di Jakarta. Yang di Chongqing tidak menimbulkan suara berisik. Bukan KRL. Ia monorail. Rodanya bukan besi. Rodanya karet. Relnya juga bukan besi. Relnya beton.

Sedang yang di Jakarta sudah telanjur KRL. Mungkin para ahli sipil bisa mengatasinya. Setidaknya mengurangi.

Yang jelas, kenyataan di Chongqing itu sudah menghilangkan satu alasan penolakan yang lebih besar: soal keamanan. Padahal soal aman atau tidak para insinyur sipil pasti tahu cara mengatasinya.

Dengan adanya objek turis di Chongqing yang mempersoalkan keamanan pasti hilang. Bukan berarti tidak ada alasan lain untuk menentang ide Anda itu. Terlalu banyak alasan yang bisa dibuat. Kalau perlu dibuat-buat. Masalahnya tinggal satu: mau atau tidak mau.

Fisik saya memang di Chongqing Sabtu lalu. Tapi pikiran saya di Jakarta. Terutama bagaimana cara menguatkan jumlah kelas menengah di negara kita.(Dahlan Iskan)

Misalkan Anda punya ide: di setiap stasiun KRL di Jakarta dibangun apartemen kelas biasa.

Rumah susun –tapi jangan disebut rumah susun. Misalkan, masing-masing 20 lantai. Tiap stasiun beberapa unit. Keretanya masuk ke apartemen itu. Seperti yang di Chongqing, Tiongkok, itu (Disway: BACA JUGA:Apartemen Kereta).

Mungkinkah ide Anda itu bisa diterima? Lalu jadi kenyataan?

Coba saja. Toh alasan untuk mengemukakan ide itu lebih kuat dari riwayat lahirnya kereta masuk apartemen di Chongqing.

Ide itu harus Anda niatkan untuk sesuatu yang mulia: agar jumlah golongan kelas menengah kita terus bertambah. Agar negara cepat maju.

Anda sudah tahu: waini terlalu banyak orang yang berpendapatan tetap di Jakarta menghabiskan gajinya untuk biaya transportasi.

Sebenarnya mereka telah menghemat dengan cara naik KRL. Tapi rumah mereka jauh dari stasiun –hanya bisa beli rumah yang harganya masih terjangkau.

Karcis KRL-nya sendiri murah. Rp 1.500. Dulu. Entah sekarang. Tapi biaya transport dari rumah ke stasiun jauh lebih mahal dari itu. Naik ojek bisa Rp 8.000 sampai 15.000. Pulangnya pun segitu.

Rumah di sekitar stasiun sudah mahal. Tidak terjangkau. Maka pemerintah bisa bekerja sama dengan KAI: bangun rumah susun di lahan stasiun KRL. Biayanya minta dicarikan lewat Danantara.

Baca Juga :  Impor Beras

Atau ide itu Anda teruskan ke menteri perumahan. Toh Anda tahu: Ara (Maruarar Sirait, Red), sang menteri, lagi pusing menghadapi para pengembang. Program membangun tiga juta rumahnya banyak dipersoalkan pengembang.

Tapi, sekali lagi, niat ide Anda itu harus tulus: untuk membuat negara ini kian masuk akal. Menggunakan lebih separo gaji untuk biaya transportasi adalah tidak masuk akal. Padahal itu transportasi ke tempat kerja.

Kalau rumah mereka bisa di sekitar stasiun langsung biaya hidup mereka turun drastis. Untuk transportasi bisa turun 70 persen. Bisa untuk meningkatkan kesejahteraan.

Saat saya ikut melihat kereta masuk apartemen di Chongqing Sabtu lalu saya membayangkan alangkah enaknya penghuni apartemen itu. Stasiunnya di lantai enam apartemen mereka. Lantai-lantai di bawah stasiun dipakai untuk komersial. Lantai paling bawah, yang menghadap jalan raya untuk toko-toko dan restoran.

Kereta monorail menembus gedung apartemen di Chongqing, Tiongkok. -Foto: Retna Christa-Harian Disway-

Waini toko dan resto itu panen raya. Ribuan turis telah didatangkan TikTok. Tiap hari. Siang malam. Ribuan turis itu  jadi konsumen besar.

Tidak ada tempat parkir umum di situ. Turis harus turun dari bus untuk menyeberang jalan –mencari posisi agar bisa melihat kereta masuk apartemen.

Setelah menurunkan turis bus harus pergi. Nanti, kalau mau meninggalkan tempat itu, turis harus berkumpul dulu di trotoar lebar depan toko-resto.

Baca Juga :  DK Jakarta

Kalau rombongan sudah lengkap, baru bus boleh dipanggil. Perlu waktu tunggu bus sekitar 15 menit. Waktu tunggu itulah yang mereka manfaatkan untuk cari makanan kecil, minum dan beli oleh-oleh. Rezeki TikTok.

Kalau toh ide Anda itu ditentang mungkin karena satu hal: suara berisiknya KRL di Jakarta. Yang di Chongqing tidak menimbulkan suara berisik. Bukan KRL. Ia monorail. Rodanya bukan besi. Rodanya karet. Relnya juga bukan besi. Relnya beton.

Sedang yang di Jakarta sudah telanjur KRL. Mungkin para ahli sipil bisa mengatasinya. Setidaknya mengurangi.

Yang jelas, kenyataan di Chongqing itu sudah menghilangkan satu alasan penolakan yang lebih besar: soal keamanan. Padahal soal aman atau tidak para insinyur sipil pasti tahu cara mengatasinya.

Dengan adanya objek turis di Chongqing yang mempersoalkan keamanan pasti hilang. Bukan berarti tidak ada alasan lain untuk menentang ide Anda itu. Terlalu banyak alasan yang bisa dibuat. Kalau perlu dibuat-buat. Masalahnya tinggal satu: mau atau tidak mau.

Fisik saya memang di Chongqing Sabtu lalu. Tapi pikiran saya di Jakarta. Terutama bagaimana cara menguatkan jumlah kelas menengah di negara kita.(Dahlan Iskan)

Terpopuler

Artikel Terbaru

/