30 C
Jakarta
Friday, December 27, 2024

Uang Suara

Terlalu sulit bagi saya untuk menarik kesimpulan: siapa dalang pencetakan uang palsu yang fenomenal di Makassar itu.

“Fenomenal” terutama karena dilakukannya di gedung perpustakaan sebuah universitas Islam terkemuka di Makassar: UIN Sultan Alauddin.

Benarkah kepala Perpustakaan UIN itu, Dr Andi Ibrahim, dalangnya? Dari mana sarjana ahli agama ini juga ahli dalam seluk-beluk teknik pencetakan uang?

Ia memang seorang ilmuwan. Lulusan UIN Makassar, Malang dan Universitas Indonesia, Jakarta. Lalu berkarier sebagai dosen agama. Karier tertingginya adalah wakil dekan fakuktas Adab dan Humaniora.

Di UIN Alauddin fakultas ini memiliki empat jurusan: bahasa dan sastra Arab, sejarah dan peradaban Islam, bahasa dan sastra Inggris, dan ilmu perpustakaan.

Mencetak uang palsu bukan salah satu dari jurusan itu. Lebih sulit dari sastra Arab.

Saya ragu AI (bukan artificial intelligent) punya keahlian di situ. Memang Andi Ibrahim punya ambisi untuk jadi kepala daerah. AI pernah berusaha mendekati partai politik di Barru, daerah asalnya. AI ingin jadi bupati Barru.

Barru adalah kabupaten yang telaknya di utara Makassar. Di pertengahan antara Makassar dan Mamuju. Di pantai Selat Makassar. Sebelum kota Pare-pare. Di Barru, AI lahir di Desa Lawallu, Kecamatan Soppeng Riaja.

Memang ada keterangan polisi: AI mencetak uang palsu antara lain untuk biaya ikut Pilkada. Rupanya AI ingin ”membeli suara” dengan uang palsu. Toh pemilih tidak sungguh-sungguh ingin memilihnya. Dan ia juga tidak sungguh-sungguh memberi uang beneran kepada mereka. Suara palsu dibeli dengan uang palsu.

Tapi tidak ada partai yang mau mengusung AI. Konon dari sinilah soal uang palsu itu mulai diketahui. Dana untuk pelicin partai ternyata palsu.

Tapi ada juga laporan masuk ke polisi: seseorang membayar cicilan sepeda motor dengan uang palsu. Jumlahnya Rp 500.000. Lima lembar kertas merah. Usut-punya-usut unjung uang palsu itu di perpustakaan UIN Alauddin.

Lokasi persis pembuatannya adalah di lantai tiga gedung perpustakaan itu. Bagi Anda yang pernah ke UIN letak perpustakaan itu sendiri dekat fakultas Adab yang AI pernah jadi wakil dekannya.

Baca Juga :  Babi Ideologi

Nama perpustakaan ini: Perpustakaan Maulana Syekh Yusuf, nama ulama terkemuka Makassar yang berdakwah sampai Afrika Selatan –wafat di sana.

Di lantai tiga perpustakaan itulah mesin cetak uang palsu itu dipasang. Di berita media disebutkan: mesin itu canggih sekali. Buatan Tiongkok. Seharga Rp 600 juta.

Setelah saya lihat fotonya,  ternyata itu mesin cetak offset biasa. Bahkan bukan mesin yang mahal. Di dunia percetakan itu tergolong mesin murahan. Mereknya pun tidak terkenal sama sekali: GM. Serinya 25711NP-2S.

Itu juga bukan mesin yang lengkap. Kalau saya lihat fotonya, mesin itu hanya bisa untuk mencetak dua warna. Tidak cocok untuk mencetak yang.

Berarti, kalau untuk mencetak empat warna, harus ”naik mesin” dua kali. Cetak dulu dua warna. Lalu mesinnya dicuci. Bak tinta dua warna dibersihkan. Diisi dua warna lainnya.

Padahal mesin empat warna pun belum cocok untuk mencetak uang –apalagi dua warna.

Berarti penggunaan mesin dua warna ini sungguh amatiran. Seandainya ia terpilih jadi bupati pun rasanya juga akan jadi bupati yang amatiran.

Untuk mencetak uang, mesin yang harus digunakan tidak hanya empat warna. Harus enam warna.

Tidak banyak perusahaan yang punya mesin cetak enam warna. Harus kelas Peruri (percetakan uang negara), atau perusahaan sekelas Gudang Garam dan Djarum. Harga mesinnya di atas Rp 100 miliar.

Maka dengan mesin seharga Rp 600 juta, pastilah hasil cetakan uang di UIN itu sangat mudah diketahui palsunya.

Dengan mesin dua warna pasti pula banyak sekali ”uang rusak” dihasilkan oleh mesin itu. Yakni uang yang gambar dan warnanya tidak menyatu. Jadi sampah. Sampah uang. Entah di mana sampah uang itu sekarang. Mungkin selalu dibakar.

Dari sinilah saya akhirnya memahami mengapa yang dicetak hanyalah uang lembaran Rp 100.000. Biaya mencetaknya mahal. Kertasnya harus bagus. Juga mahal. Belum ada pabrik kertas di dalam negeri yang bisa menghasilkan kertas bermutu uang.

Maka tidak heran bila ongkos cetak uang palsu di UIN ini satu lembarnya sampai Rp 57.000. Berarti kalau mencetak lembaran Rp 50.000 ia justru rugi.

Baca Juga :  Bismillah Karnaval

Tingginya ongkos cetak itu juga terkait dengan mutu mesin. Dalam dunia percetakan Tiongkok belum dikenal sebagai negara yang mampu membuat mesin cetak bermutu tinggi. Jerman-lah juaranya. Di bawah itu hanya ada Italia.

Lalu, kalau bukan Andi Ibrahim siapa otak pencetakan uang palsu itu?

Ada satu nama yang juga disebut dalam kasus ini: Annar Salahuddin Sampetoding, disingkat ASS. Tapi belum jelas apa peran Annar. Ia sudah dipanggil polisi tapi belum datang ke kantor polisi.

Tentu kita tidak boleh menyangka Annar-lah otaknya. Untuk apa. Ia seorang pengusaha yang cukup ternama di Makassar. Namanya masuk dalam daftar panasihat tim pemenangan calon gunernur Sulsel yang terpilih.

Annar juga dari keluarga terhormat. Ayahnya adalah seorang eksporter kopi Toraja yang terkemuka. Makam leluhurnya berada di tebing gunung paling tinggi di Toraja –menandakan sebagai orang paling dihormati. Meski seorang Muslim keluarga Annar masih menghormati adat leluhur Toraja.

Annar sendiri jarang di Makassar. Salah satu keluarganya menjadi perwira tinggi polisi di Jakarta. Maka perlu pendalaman khusus mengapa nama Annar dikaitkan dengan kasus uang palsu ini. Apalagi, kata polisi, awal pencetakan uang palsu itu terjadi justru di rumah Annar di Jalan Sunu. Dengan mesin yang kecil. Lalu ditingkatkan ke mesin yang lebih besar di UIN.

Rasanya polisi perlu membuka saja siapa yang membeli mesin baru yang murahan itu. Uang siapa. Bagaimana pula bisa, sebelum itu, mencetak uang palsu di rumah Annar.

Sudah 17 orang diperiksa polisi. Sudah 11 orang jadi tersangka. Benarkah Andi Ibrahim dan Annar tahu detil soal pencetakan uang palsu ini. Jangan-jangan ada operator yang menggunakan dua nama tersebut.

Rasanya Annar perlu datangi panggilan polisi. Uang palsu begitu sensitif pada perekonomian. Kasus ini harus dibuka blak. Secepatnya pula. Agar cepat selesai.

Melihat peralatannya, ini bukan perkara rumit. Kecuali akan dibikin rumit. (Dahlan Iskan)

Terlalu sulit bagi saya untuk menarik kesimpulan: siapa dalang pencetakan uang palsu yang fenomenal di Makassar itu.

“Fenomenal” terutama karena dilakukannya di gedung perpustakaan sebuah universitas Islam terkemuka di Makassar: UIN Sultan Alauddin.

Benarkah kepala Perpustakaan UIN itu, Dr Andi Ibrahim, dalangnya? Dari mana sarjana ahli agama ini juga ahli dalam seluk-beluk teknik pencetakan uang?

Ia memang seorang ilmuwan. Lulusan UIN Makassar, Malang dan Universitas Indonesia, Jakarta. Lalu berkarier sebagai dosen agama. Karier tertingginya adalah wakil dekan fakuktas Adab dan Humaniora.

Di UIN Alauddin fakultas ini memiliki empat jurusan: bahasa dan sastra Arab, sejarah dan peradaban Islam, bahasa dan sastra Inggris, dan ilmu perpustakaan.

Mencetak uang palsu bukan salah satu dari jurusan itu. Lebih sulit dari sastra Arab.

Saya ragu AI (bukan artificial intelligent) punya keahlian di situ. Memang Andi Ibrahim punya ambisi untuk jadi kepala daerah. AI pernah berusaha mendekati partai politik di Barru, daerah asalnya. AI ingin jadi bupati Barru.

Barru adalah kabupaten yang telaknya di utara Makassar. Di pertengahan antara Makassar dan Mamuju. Di pantai Selat Makassar. Sebelum kota Pare-pare. Di Barru, AI lahir di Desa Lawallu, Kecamatan Soppeng Riaja.

Memang ada keterangan polisi: AI mencetak uang palsu antara lain untuk biaya ikut Pilkada. Rupanya AI ingin ”membeli suara” dengan uang palsu. Toh pemilih tidak sungguh-sungguh ingin memilihnya. Dan ia juga tidak sungguh-sungguh memberi uang beneran kepada mereka. Suara palsu dibeli dengan uang palsu.

Tapi tidak ada partai yang mau mengusung AI. Konon dari sinilah soal uang palsu itu mulai diketahui. Dana untuk pelicin partai ternyata palsu.

Tapi ada juga laporan masuk ke polisi: seseorang membayar cicilan sepeda motor dengan uang palsu. Jumlahnya Rp 500.000. Lima lembar kertas merah. Usut-punya-usut unjung uang palsu itu di perpustakaan UIN Alauddin.

Lokasi persis pembuatannya adalah di lantai tiga gedung perpustakaan itu. Bagi Anda yang pernah ke UIN letak perpustakaan itu sendiri dekat fakultas Adab yang AI pernah jadi wakil dekannya.

Baca Juga :  Babi Ideologi

Nama perpustakaan ini: Perpustakaan Maulana Syekh Yusuf, nama ulama terkemuka Makassar yang berdakwah sampai Afrika Selatan –wafat di sana.

Di lantai tiga perpustakaan itulah mesin cetak uang palsu itu dipasang. Di berita media disebutkan: mesin itu canggih sekali. Buatan Tiongkok. Seharga Rp 600 juta.

Setelah saya lihat fotonya,  ternyata itu mesin cetak offset biasa. Bahkan bukan mesin yang mahal. Di dunia percetakan itu tergolong mesin murahan. Mereknya pun tidak terkenal sama sekali: GM. Serinya 25711NP-2S.

Itu juga bukan mesin yang lengkap. Kalau saya lihat fotonya, mesin itu hanya bisa untuk mencetak dua warna. Tidak cocok untuk mencetak yang.

Berarti, kalau untuk mencetak empat warna, harus ”naik mesin” dua kali. Cetak dulu dua warna. Lalu mesinnya dicuci. Bak tinta dua warna dibersihkan. Diisi dua warna lainnya.

Padahal mesin empat warna pun belum cocok untuk mencetak uang –apalagi dua warna.

Berarti penggunaan mesin dua warna ini sungguh amatiran. Seandainya ia terpilih jadi bupati pun rasanya juga akan jadi bupati yang amatiran.

Untuk mencetak uang, mesin yang harus digunakan tidak hanya empat warna. Harus enam warna.

Tidak banyak perusahaan yang punya mesin cetak enam warna. Harus kelas Peruri (percetakan uang negara), atau perusahaan sekelas Gudang Garam dan Djarum. Harga mesinnya di atas Rp 100 miliar.

Maka dengan mesin seharga Rp 600 juta, pastilah hasil cetakan uang di UIN itu sangat mudah diketahui palsunya.

Dengan mesin dua warna pasti pula banyak sekali ”uang rusak” dihasilkan oleh mesin itu. Yakni uang yang gambar dan warnanya tidak menyatu. Jadi sampah. Sampah uang. Entah di mana sampah uang itu sekarang. Mungkin selalu dibakar.

Dari sinilah saya akhirnya memahami mengapa yang dicetak hanyalah uang lembaran Rp 100.000. Biaya mencetaknya mahal. Kertasnya harus bagus. Juga mahal. Belum ada pabrik kertas di dalam negeri yang bisa menghasilkan kertas bermutu uang.

Maka tidak heran bila ongkos cetak uang palsu di UIN ini satu lembarnya sampai Rp 57.000. Berarti kalau mencetak lembaran Rp 50.000 ia justru rugi.

Baca Juga :  Bismillah Karnaval

Tingginya ongkos cetak itu juga terkait dengan mutu mesin. Dalam dunia percetakan Tiongkok belum dikenal sebagai negara yang mampu membuat mesin cetak bermutu tinggi. Jerman-lah juaranya. Di bawah itu hanya ada Italia.

Lalu, kalau bukan Andi Ibrahim siapa otak pencetakan uang palsu itu?

Ada satu nama yang juga disebut dalam kasus ini: Annar Salahuddin Sampetoding, disingkat ASS. Tapi belum jelas apa peran Annar. Ia sudah dipanggil polisi tapi belum datang ke kantor polisi.

Tentu kita tidak boleh menyangka Annar-lah otaknya. Untuk apa. Ia seorang pengusaha yang cukup ternama di Makassar. Namanya masuk dalam daftar panasihat tim pemenangan calon gunernur Sulsel yang terpilih.

Annar juga dari keluarga terhormat. Ayahnya adalah seorang eksporter kopi Toraja yang terkemuka. Makam leluhurnya berada di tebing gunung paling tinggi di Toraja –menandakan sebagai orang paling dihormati. Meski seorang Muslim keluarga Annar masih menghormati adat leluhur Toraja.

Annar sendiri jarang di Makassar. Salah satu keluarganya menjadi perwira tinggi polisi di Jakarta. Maka perlu pendalaman khusus mengapa nama Annar dikaitkan dengan kasus uang palsu ini. Apalagi, kata polisi, awal pencetakan uang palsu itu terjadi justru di rumah Annar di Jalan Sunu. Dengan mesin yang kecil. Lalu ditingkatkan ke mesin yang lebih besar di UIN.

Rasanya polisi perlu membuka saja siapa yang membeli mesin baru yang murahan itu. Uang siapa. Bagaimana pula bisa, sebelum itu, mencetak uang palsu di rumah Annar.

Sudah 17 orang diperiksa polisi. Sudah 11 orang jadi tersangka. Benarkah Andi Ibrahim dan Annar tahu detil soal pencetakan uang palsu ini. Jangan-jangan ada operator yang menggunakan dua nama tersebut.

Rasanya Annar perlu datangi panggilan polisi. Uang palsu begitu sensitif pada perekonomian. Kasus ini harus dibuka blak. Secepatnya pula. Agar cepat selesai.

Melihat peralatannya, ini bukan perkara rumit. Kecuali akan dibikin rumit. (Dahlan Iskan)

Terpopuler

Artikel Terbaru

/