Militer Israel mengklaim telah meluncurkan serangan udara besar-besaran ke enam bandara di Iran, menghancurkan sejumlah aset strategis milik militer Iran dilansir dari Al Jazeera.–Al Jazeera
“Alhamdulillah, internet sudah kembali normal di Iran,” ujar Ali Waladi, mahasiswa kita di kota suci Qom kemarin pagi.
Sudah seminggu saya berusaha kontak anak Situbondo lulusan SMA Al Ma’hadul Islam Bangil, Pasuruan itu. Selalu saja centang satu. Internet memang dimatikan di Iran. Itu bagian dari strategi untuk membatasi kegiatan mata-mata di dalam negeri Iran.
Ali Waladi tidak ikut evakuasi pulang ke Indonesia. Apalagi sejak kemarin Waladi sudah merasa lebih aman. “Sedikit sekali mahasiswa kita di Qom yang ikut evakuasi,” katanya.
Di Qom, Waladi kuliah ilmu tafsir dan hukum agama. Sudah empat tahun di sana. Qom memang lebih aman dibanding Teheran. “Selama perang 12 hari hanya satu atau dua kali saja terjadi serangan,” ujar Waladi.
“Apakah tadi malam masih ada serangan dari Israel?” tanya saya kemarin.
“Tidak ada lagi. Kan sudah ada gencatan senjata,” katanya.
Berarti gencatan senjata itu efektif. Tidak ada yang melanggar.
Giliran saya yang tidak bisa lagi menghubungi Purkon Hidayat. Selalu centang satu. Sebelum itu Purkon masih sempat memberi kabar. “Kami ternyata harus mendarat dulu di Jeddah, Arab Saudi,” tulisnya di WA.
Padahal, menurut jadwal, pesawat evakuasi itu terbang dari Baku, Azerbaijan, ke Doha di Qatar. Dari Doha akan terbang ke Jakarta. Seharusnya Senin sore sudah bisa mendarat di Jakarta.
Minggu malam itu pesawat tersebut tidak bisa mendarat di Doha. Bandara Doha mendadak ditutup. Penerbangan dialihkan ke Jeddah –dua jam lebih ke barat.
Anda sudah tahu mengapa Doha tutup: Iran meluncurkan rudal-rudalnya ke arah Qatar. Sasaran Iran: pangkalan militer Amerika Serikat di Qatar. Itu sebagai balasan atas serangan Amerika ke instalasi nuklir Iran malam sebelumnya.
Di bandara Jeddah, Purkon dkk tidak boleh turun dari pesawat. Selama enam jam. Tanpa kabar kapan bisa terbang lagi.
Setelah enam jam tersiar kabar terjadi gencatan senjata antara Iran, Israel dan Amerika Serikat. Tak lama kemudian pesawat yang ditumpangi Purkon dkk kembali ke landasan pacu: terbang ke Doha.
Sampai Doha pun tidak menentu. Sampai pukul empat sore (Senin) mereka masih tertahan di Doha. Jadwal pesawat memang berubah-ubah.
Alhamdulillah, sepanjang hari kemarin WA saya sudah berhasil tidak lagi centang dua. Berarti Purkon dkk sudah tidak bisa dihubungi. Sudah berada di atas pesawat –mestinya tadi malam bisa mendarat di Jakarta.
Saya tidak tahu apa yang terjadi setelah gencatan senjata. Tidak ada pengumuman berapa lama gencatan senjata itu. Yang jelas di Iran berlangsung kegembiraan: Iran menang, teriak mereka.
“Sejak perang dunia ke-2 hanya dua negara yang berani melawan Amerika. Yang satu Iran. Satunya lagi Iran,” kata mereka.
Anda pun sepakat: gencatan senjata ini amat rapuh. Bagi Iran itu sangat sementara. Yang penting: jangan sampai di saat perayaan 10 Muharam Iran dalam keadaan perang.
Perayaan Asyura itu akan jatuh pada hari Selasa tanggal 7 Juli. Jutaan orang Iran melakukan jalan kaki sejauh 60 km menuju Karbala: untuk mengenang meninggalnya Sayidina Husein.
Rasanya selama gencatan senjata negara-negara di kawasan Teluk yang akan aktif berdiplomasi. Selama perang ternyata mereka ikut menderita. Rudal-rudal kedua negara beterbangan di udara, meski agak di utara, tapi sangat mengancam penerbangan mereka.
Iran boleh mengklaim sebagai pemenang. Tapi pemenang yang sesungguhnya adalah Bale dan Eitaa. Itulah dua aplikasi semacam WA milik Iran sendiri.
“Selama internet diputus kami berkomunikasi dengan Bale dan Eitaa,” ujar Waladi. Israel pun ikut memajukan teknologi Iran.(Dahlan Iskan)