Operasi jantung pertama di Kupang hampir saja batal. Penyebabnya tiga sekaligus: rumah sakit yang baru itu ternyata masih kurang memenuhi syarat. Pun alat yang dikira sudah lengkap masih ada yang kurang. Lalu, penyakit jantung pasien pertamanya terlalu berat: dua katupnya rusak bersamaan.
Ketika diresmikan, RSV Ben Mboi itu memang mengundang kekaguman: baru, besar, indah, dan megah. Ruang operasinya banyak. Peralatannya terlihat lengkap.
Ketika persiapan operasi jantung pertama dilakukan barulah ketahuan: ada yang kurang.
Kekurangan itu mengancam batalnya operasi: tidak ada koridor steril dari ruang operasi ke ruang ICU. Dokter yang hati-hati tidak akan mau melakukan operasi tanpa “koridor kehidupan” seperti itu. Bisa saja operasinya berhasil tapi pasien terkena infeksi di “lorong maut” itu.
Prof Dr Paul Tahalele memang pernah berhasil melakukan operasi jantung secara darurat di Papua. Nyaris tanpa peralatan. Ruang operasinya dalam bentuk kontainer. Tingkat sterilnya nyata-nyata diragukan. Tapi itu di Papua. Bukan di rumah sakit mewah yang masih baru.
Paul kaya pengalaman. Bersama direktur RSV ia memutuskan: salah satu ruang operasi diubah menjadi koridor menuju ruang ICU. Teratasi.
Lantas diketahui lagi kekurangan yang lain: instrumen bedah jantungnya tidak ada. Mesinnya lengkap tapi tanpa instrumen.
Paul ambil putusan: pinjam instrumen dari RS Sanglah, Denpasar. Toh tim yang akan melakukan operasi pertama ini dari Sanglah. Dokternya, anestesinya, perawat khususnya. Total 15 orang diterbangkan dari Sanglah.
Paul sendiri punya instrumen milik pribadi. Ia bawa alat-alatnya itu. Untuk jaga-jaga. Sebagai cadangan.
Paul menjadi pimpinan dan mentor di tim itu. Sebagian adalah mahasiswanya dulu. Yang pegang pisau: dokter ahli bedah jantung Sanglah. Ia masih muda: Dr Komang Adhi.
Mereka harus tiba di Kupang tiga hari sebelum hari operasi. Harus ada geladi resik berkali-kali. Geladi resiknya harus seperti sungguh-sungguh. Tidak boleh dianggap sudah hafal.
Setelah semua lancar, fokus berikutnya ke pasien: ternyata terlalu sulit diatasi. Dua katup jantungnya rusak bersamaan. Tingkat kegagalannya sangat tinggi. Padahal ini operasi pertama. Harus berhasil. Kegagalan berarti gagal segala-galanya: RS-nya, tim dokternya, menteri kesehatannya, sampai program pembangunan RSV-nya.
“Direktur RS ini, Pak Dr Annas Achmad, sudah diancam. Begitu operasi pertama ini gagal langsung dipecat,” ujar Paul.
Paul sebagai ketua tim pengampu RSV Kupang juga tidak mau gagal. Ia bikin putusan: harus dicari pasien cadangan. Yang sakitnya tidak terlalu berat. Si cadangan harus siap dioperasi pada jam yang sama.
Kebetulan ada pasien yang sudah lama antre di Sanglah. Orang NTT juga. Ia-lah yang jadi cadangan.
Jika di detik terakhir diputuskan operasi harus dibatalkan maka pasien cadangan yang dioperasi.
Batal operasi seperti itu biasa. Termasuk di keluarga besar saya. Jauh-jauh datang ke Houston, Texas. Mau operasi tumor. Sudah dimasukkan ruang operasi. Punggungnya sudah disayat. Batal. Ditutup kembali. Lukanya disembuhkan tapi kankernya sudah menyebar.
Bisa juga pasien pertama di Kupang ini tetap dioperasi. Ternyata tidak sukses. Meninggal. Segera pasien cadangan dioperasi. Satu gagal, satu berhasil. Tidak terlalu jelek.
Opini dokter ahli terbelah: ada yang tidak mau beropini, ada yang keras berpendapat operasi harus dibatalkan. Bahaya. Begitu satu katup selesai diganti tekanan akan naik tak terkendali.
Paul Tahalele memutuskan: operasi tetap diteruskan. Pasien cadangan disiapkan. Doa dipanjatkan –kalau kata ”panjat” masih cocok zaman serbacepat ini.(Dahlan Iskan)