Site icon Prokalteng

Celeng Banteng

Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan kasasi yang diajukan oleh PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex).-Istimewa-

Bolehkah pemilik lama Sritex ikut lelang yang diadakan kurator?

Tidak boleh!

Tapi bisa.

Tinggal caranya: jangan sampai ketahuan.

Pemilik lama bisa pakai lipstik. Atau wig. Atau ganti kelamin. Banyak cara.

Apa pun cara itu  harus lewat bantuan Presiden Amerika Serikat Benyamin Franklin –pinjam wajahnya yang di lembaran kertas berharga itu.

Anda masih ingat ketika BPPN melelang aset konglomerat dan pengusaha kredit macet lainnya. Pemilik lama juga dilarang ikut lelang. Nyatanya? Banyak aset yang kembali ke pemilik lama –aset Rp 100 miliar bisa dibeli dengan Rp 10 miliar.

Lelang di kurator tidak seruwet lelang pengadaan barang dan jasa pemerintah. Kurator punya wewenang yang sangat sentral. Bisa jadi kurator tahu siapa Anda –biar pun Anda sudah pakai rambut palsu, pun atas bawah.

Tapi seandainya pun Anda yang memenangkan lelang Sritex mungkin Anda akan pusing: akan Anda apakan perusahaan pailit itu.

Akan Anda hidupkan kembali? Agar Anda gagah disebut sebagai pemilik pabrik tekstil terbesar di Indonesia?

Kalau itu niat Anda maka Anda orang baik. Orang mulia. Berarti 30.000 orang akan kembali mendapat lapangan kerja.

Anda tinggal menyiapkan uang segar untuk modal kerja. Jumlahnya juga tidak banyak. Mungkin Rp 1 triliun. Dengan uang segitu pabrik bisa hidup lagi. Tekstil bisa diproduksi kembali. Bisa saja Anda ganti merek. Dari Sritex ke Utup Ngoel. Atau apa saja. Yang penting bisa laku.

“Bisa laku” itulah kuncinya.

Kalau tidak bisa laku pabrik itu akan kembali sulit. Untuk bisa laku itu Anda harus menghadapi dua kenyataan: bersaing dengan produk Tiongkok –apalagi kalau banyak yang selundupan.

Anda juga harus bisa meyakinkan pemerintah agar mau berpihak pada produksi dalam negeri.

Jadi kalau Anda tidak punya latar belakang bisnis tekstil apakah Anda akan nekat ikut lelang.

Ada juga orang yang ikut lelang dengan niat semata agar bisa menang. Setelah menang akan dijual lagi. Atau, sebelum ikut lelang pun sudah tahu siapa yang menyuruh ikut lelang.

Bisakah salah satu kreditor saja yang ikut lelang?

Boleh. Dari daftar kreditor Sritex saya melihat ada satu yang punya latar belakang tekstil: IndoBharat. Perusahaan India itu. Yang mempailitkan Sritex itu sendiri.

Memang IndoBharat hanya produsen bahan baku tekstil. Rayon. Bahan baku sintetis. Kalau sampai Indo Bharat yang kelak terpilih menjadi pemilik baru Sritex maka ini ibarat kambing makan kerbau. Atau celeng makan banteng.

Mungkin IndoBharat, di mata Sritex, hanya seukuran celeng. Tidak mungkin bisa makan banteng.

Jangan salah. Ia celeng yang punya induk puluhan celeng gemuk di India sana.

Kalau itu sampai terjadi yang patut disesalkan satu: kok perusahaan nasional itu jadi perusahaan asing. Seolah kita tidak bisa membela dan membina perusahaan nasional.

Bagi 30.000 karyawan status nasional atau asing tidaklah penting. Asal tidak pusing. Yang penting pabrik itu hidup lagi. Siapa tahu India dan Tiongkok bisa bersaing produk secara keras di Wonogiri.

Semua itu kini terserah kurator. Bila kurator memutuskan pabrik ditutup, tutuplah. Bila kurator putuskan aset tanah Sritex dijual eceran pun apa boleh buat. Pun bila pabrik itu dijual sebagai besi tua terserah kurator.

Saya sudah menghubungi kurator Sritex Deni Ardansyah SH MH. Sejak pekan lalu. Saya ingin tahu: ke mana arah kurator dalam membawa Sritex. Maukah kurator menghidupkan kembali Sritex.

Sebenarnya kurator juga boleh menjalankan sendiri perusahaan itu. Kurator bisa menyewa perusahaan tekstil raksasa untuk menjalankannya.

Perusahaan yang dikontrak itu harus sanggup menyediakan modal kerja.

Dengan cara itu mestinya perusahaan bisa jalan. Beban utangnya kan sudah hilang. Sudah seperti Garuda Indonesia. Tanpa beban utang Garuda bisa jalan.

Tentu sulit mencari perusahaan raksasa yang mau dikontrak untuk menjalankan New Sritex. Tapi bukan tidak ada.

Sritex tidak bisa diselamatkan. Sritex masih bisa ditolong.(Dahlan Iskan)

Exit mobile version