MANAJEMEN yang baik adalah yang bisa menstrukturkan persoalan.
Dengan demikian persoalan yang rumit, yang kelihatannya kusut, yang sulit diketahui ujung pangkalnya bisa dipilah-pilah.
Lalu benang kusut itu bisa dibeda-bedakan mana yang penting dan mana yang kurang penting. Disusunlah skala prioritas.
Setelah itu didistribusikan: siapa menangani apa. Sesuai dengan kekuatannya, kapabilitasnya, dan kesesuaian tugasnya.
Maka saya suka mempertanyakan prosedur. Kenapa begini. Kenapa begitu. Itu dulu. Ketika masih memegang kebijakan sesuatu.
Kadang saya mendapat penjelasan yang memuaskan. Artinya: pertanyaan sayalah yang ternyata lemah. Nyinyir. Saya pun minta maaf.
Kadang saya tidak mendapat jawaban yang memuaskan. Biasanya yang seperti itu saya kejar dengan pertanyaan berikutnya. Dan berikutnya lagi. Ternyata diketahuilah prosedur itu terlalu diada-adakan. Maka harus diubah.
Sekali ini pun saya siap untuk minta maaf –kalau pertanyaan di bawah ini akhirnya hanya merepotkan: masih di sekitar vaksin nusantara –saya tulis dengan huruf kecil.
Kalau distrukturkan apa saja sebenarnya persoalan di vaksin nusantara itu?
Saya pun melakukan inventarisasi persoalan. Itu saya rumuskan dari berbagai persoalan yang berseliweran di media.
1. Aman atau tidak bagi manusia.
2. Efektif tidaknya melawan virus korona.
3. Praktis atau tidak untuk digunakan oleh jutaan orang dalam waktu singkat.
4. Apakah bisa diproduksi dengan standar yang memenuhi kaidah produksi obat yang baik.
5. Harganya terjangkau atau tidak.
Agar persoalannya bisa lebih sederhana, mengapa lima persoalan itu tidak dibagi dua kelompok?
Kelompok pertama adalah yang No 1 dan No 2.
Kelompok kedua adalah No 3,4 dan 5.
Saya pun usul: apakah tidak seharusnya BPOM hanya lebih dulu memelototi kelompok pertama saja? Yakni: 1) apakah vaksin nusantara aman. 2) apakah vaksin nusantara efektif.
Selama ini saya membaca banyak komentar yang sebenarnya tidak ada sangkut paut dengan dua hal itu. Misalnya: 1) tentang good manufacturing. 2) tentang biayanya akan sangat mahal. 3) tidak akan bisa dimasalkan.
Menurut pendapat saya tiga hal yang terakhir itu harus dipisahkan dari dua hal yang pertama.
Dan tiga hal yang kedua itu tidak usah kita bicarakan sekarang. Belum waktunya dibicarakan. Itulah yang saya sebut skala prioritas. Skala prioritas itu untuk membuat satu persoalan tidak ruwet.
Maka fokus saja dulu di keamanan dan efektivitas. Lihatlah dengan jernih dan dengan kepentingan bangsa.
Uji coba fase 1 (sudah berlangsung) dan uji coba fase 2 (kini hampir selesai). Apakah tidak sebaiknya dicermati saja itu hanya untuk dua hal pertama dulu itu.
Sedang tiga hal terakhir akan kita pertanyakan secara detail kelak. Setelahnya.
Misalkan: hasil uji coba fase 1 dan 2 terbukti gagal. Maka kelompok yang kedua itu tidak perlu lagi dibicarakan. Kan sudah gagal. Energi kita bisa lebih kita hemat.
Lalu, misalkan hasilnya tidak membahayakan. Tidak ada yang meninggal. Atau ada yang sampai masuk rumah sakit.
Misalkan juga: hasil uji coba fase 1 dan 2 ternyata efektif –bisa melahirkan imunitas. Angkanya bisa diukur secara pasti di laboratorium.
Maka, vaksin nusantara itu jangan diizinkan dulu. Kita bicarakan dulu persoalan kedua. Tanpa menyebut-nyebut lagi kelompok pertama. Khusus kita diskusikan tiga hal yang terakhir itu.
Untuk kelompok kedua itu yang menguji bisa BPOM, bisa juga kementerian kesehatan. Mengapa tidak harus BPOM lagi?
Tiga hal terakhir itu sudah bukan semata-mata soal obat. Itu sudah tercampur urusan industrial dan bisnis. Pemerintahlah yang lebih tepat membahasnya –meski bisa juga BPOM.
Tapi kalau menurut prosedur itu adalah urusan BPOM ya sudah. Silakan BPOM melakukannya. Mungkin prosedurnya saja yang perlu ditinjau. Disesuaikan dengan situasi kedaruratan. (Dahlan Iskan)