COVID telah mengubah Madinah. Ada aturan baru masuk Raudhah. Aturan selama pandemi diteruskan. Kini untuk masuk Raudhah harus punya izin.
Ini bisa digoreng: masuk masjid kok pakai izin. Tapi tidak ada goreng-menggoreng di sana.
Raudhah adalah satu bagian di dalam masjid utama Madinah, Masjid Nabawi. Raudhah tidak berdinding, tidak berpintu. Raudhah ada di lantai yang sama dengan lantai masjid. Yakni lantai yang di dekat makam Nabi Muhammad.
Makam Nabi memang di dalam masjid. Lantai di sebelah makam itulah disebut Raudhah. Ditandai dengan karpet beda warna: hijau. Luasnya sekitar 12 x 24 meter.
Orang berebut salat dan berdoa di Raudhah. Ada yang sampai menangis-nangis. Mereka percaya berdoa di situ akan lebih terkabulkan.
Dulu selalu rebutan ”masuk” ke karpet hijau itu. Belakangan diatur: pagi untuk wanita, sore untuk laki-laki. Pendoa wanita terus kian banyak. Kuota untuk wanita ditambah lagi: pagi dan malam untuk kaum hawa.
Masih juga padat.
Datanglah Covid-19. Semua serba-dibatasi. Mulailah pakai izin. Hanya yang dapat izin yang bisa ”masuk” ke karpet hijau.
Aturan itu tetap berlaku pun setelah Covid. Karpet hijaunya sendiri sudah dilebarkan. Diperluas. Ada Raudhah extension. Daya tampung Raudhah naik 4 kali lipat.
Saya mencoba ke Raudhah tanpa izin. Saya masuk ke halaman masjid lewat gerbang No 330. Lalu menyeberangi halaman menuju pintu masjid dekat 330. Pintu masjid begitu banyak.
Setelah di dalam masjid saya menyusuri lantai yang luas. Dengan pilar-pilar yang banyak. Saya terus melangkah menuju ke arah Raudhah. Begitulah dulu. Selalu. Mau ke Raudhah bisa lewat pintu masjid yang mana saja.
Ternyata langkah saya akhirnya terhalang oleh pagar penyekat. Setinggi hampir 2 meter. Saya tidak bisa ke mana-mana. Depan penyekat. Kanan sana penyekat. Kiri sana penyekat.
Saya salat di situ.
Lalu keluar masjid. Menyusuri halaman lagi mencari pintu masjid yang lain. Banyak pintu ditutup.
Saya terus menyusuri halaman masjid. Mencari pintu yang dibuka. Dari pintu dekat gerbang 330 ke arah gerbang nomor yang lebih kecil. Belok kanan. Ke arah nomor 200-an. Masih ditutup. Sudah 2.000 langkah masih belum bertemu pintu yang dibuka.
Saya belok kanan lagi, ke arah nomor 100-an. Ratusan langkah lagi. Tuh, ada pintu dibuka. Saya masuk masjid lagi. Melangkah ke arah Raudhah lagi. Dari sisi yang lain. Telapak terasa nyaman. Di halaman tadi saya menapak di atas marmer. Di dalam masjid ini saya menapak di atas karpet yang empuk.
Ternyata saya ketemu pagar menyekat lagi. Pagar itu seperti terbuat dari hardboard. Mengintip dari pagar itu pun tidak bisa.
Saya salat lagi di situ.
Kanan juga penyekat. Kiri penyekat. Hanya ada satu jalan kembali: pintu masuk yang tadi.
Saya pun kembali menyusuri halaman yang luas itu. Ke arah yang berbeda. Sampai ke depan makam Baqi’.
Saya lihat di halaman dekat makam ini begitu banyak jamaah berdiri. Antre. Di situlah rupanya lokasi antre masuk Raudhah.
Halaman depan Baqi’ ini dibarikade. Agar hanya yang memegang izin yang akan lolos. Yang sudah lolos bisa berjalan ke bagian lain halaman masjid. Yakni halaman antara antrean tadi dan pintu masjid yang dekat ke Raudhah. Begitu luas halaman yang dikosongkan. Sebagai zona transit menuju pintu masjid. Hanya dari pintu yang satu ini orang bisa ke Raudhah.
Kini ibadah sudah harus berizin. Ini sebenarnya bagian dari manajemen ibadah. Tanpa manajemen, doa bisa jadi dosa: berebut posisi.
Bagi yang ikut rombongan umrah, pihak travel-lah yang mengurus izin. Lewat lembaga perizinan di masjid itu. Travel hanya bisa minta tanggal dan jam berapa yang diinginkan. Lembagalah yang menentukan. Kadang bisa sesuai dengan permintaan. Kadang jadwal yang diberikan setelah rombongan pulang atau pergi ke Makkah.
Tapi selalu ada jalan. Pihak travel bisa dapat izin memajukan jadwal lewat cara lain.
Bagi perorangan lebih mudah. Tinggal masuk ke aplikasi Raudhah. Mengisi formulir di situ. Izin akan diberikan lewat aplikasi itu juga. Ketika akan masuk ke Raudhah tinggal menunjukkan layar HP ke petugas di pos barikade.
Di Madinah ada Raudhah extension, di Makkah ada lokasi tawaf extension.
Itu sudah ada sejak dulu. Tapi sekarang mulai diharuskan: yang tidak berpakaian ihram langsung diarahkan ke tawaf extension itu. Lokasinya di lantai dua masjid. Inilah ibadah mengelilingi Kakbah tanpa bisa melihat Kakbah.
Bagian paling pinggir lantai dua ini dipasangi barikade. Agar orang tidak berdiri di pinggirnya untuk menonton Kakbah dari lantai 2.
Hari itu saya belum tawaf bersama istri. Saat berumrah saya tawaf sendirian di dekat Kakbah. Istri masih bersama rombongan dalam perjalanan dari Madinah. Saat istri datang di Makkah saya sudah di Aziziyah, menemui seseorang. Tidak bisa menemani istri tawaf.
Aziziyah masih bagian dari kota Makkah tapi sudah bukan Tanah Suci. Orang beragama lain boleh ke situ.
Lokasi Aziziyah hanya dipisahkan dari Tanah Suci oleh gunung batu. Makkah-Aziziyah lantas disatukan oleh terowongan di bawah gunung. Begitu banyak terowongan di Makkah sekarang ini.
Lantaran letaknya yang di luar kota suci Aziziyah bisa untuk tempat lobi. Restoran besar-besar ada di sini. Mal-mal besar juga di sini. Semua bangunan di jalan utamanya baru. Kinclong. Subway di sini. Huawei di sini. Aziziyah telah menjadi Shibuya-nya Makkah.
Keesokan harinya istri mengajak tawaf bersama. Gagal. Sampai di halaman Masjid Al Haram saya sudah kena cekal. Saya harus lewat pintu lain. Pintu itu hanya untuk yang berpakaian ihram. Yakni untuk mereka yang berumrah.
Di barikade itu saya pisah dengan istri. Dia menuju Kakbah. Tawaf di sana. Wanita memang tidak bisa dibedakan mana yang tawaf umrah dan mana yang tawaf ulangan: pakaiannya sama. Sedang laki-laki yang akan tawaf umrah harus pakai baju ihram –bawahan selembar kain putih dan atasan selembar kain putih. Dua-duanya tidak boleh ada jahitan.
Saya menuju pintu yang diarahkan petugas: ternyata langsung naik eskalator ke lantai 2. Di situlah saya tawaf. Pakai baju hem dan celana panjang. Saya mencoba mencuri pandang ke istri yang tawaf di bawah sana, tapi tidak terlihat. Kakbahnya saja tidak terlihat apalagi istri saya.
Tawaf –berjalan mengitari Kakbah tujuh kali– di lantai 2 ini sedikit lebih longgar. Hanya jarak tempuhnya lebih panjang. Itu karena lingkar treknya lebih besar.
Saya sudah pernah menghitung seberapa jauh lingkaran tawaf di sekitar Kakbah: 10 x wirid. Berarti 10 x 33 = 330 langkah. Dikalikan 7 putaran: sekitar 2.100 langkah. Itu karena saya tawaf di posisi agak berjarak dari Kakbah.
Kali ini saya ingin tahu seberapa beda tawaf di lantai 2. Ternyata saya perlu melangkah 10 kali Asma’ul Husna. Berarti satu putaran 10 x 99 = 990 langkah. Lalu saya paskan menjadi 1.000 dengan cara memperpendek langkah di dekat garis start/finish.
Itu berarti sekali tawaf di lantai 2 sama dengan olahraga 7.000 langkah.
Saya juga pernah tawaf di lantai paling atas. Lantai yang menghadap langit. Tapi tidak menghitungnya. Perkiraan saya 20 x Asma’ul Husna untuk satu putaran.
Hari terakhir di Makkah istri mengajak tawaf wada’ (perpisahan dengan Kakbah) di lantai 2. Agar bisa bersamaan. Permintaannyi saya penuhi. Tapi saya tidak tega istri saya harus mengayunkan kaki 7.000 langkah. Lututnyi bermasalah. Maka saya sewa kursi roda: 150 riyal. Saya yang mendorong kursi itu. Rasanya baru sekali ini saya menggendong istri sampai 7.000 langkah.
Ups, bukan 7.000 langkah. Di putaran kedua seseorang bermohon agar ia bisa mendorong kursi roda itu. Badannya tinggi besar. Wajahnya bukan Arab. Bukan Turkiye. Bukan Asia. Bukan Afrika. “Saya dari Tajik,” katanya.
Tentu saya menolak permintaan itu. Ini istri saya. Tapi ia terus bermohon. Ngotot. Ia bilang ingat istrinya. Ia minta diberi kesempatan ibadah.
Saya serahkan kursi itu. Ia dorong dengan kecepatan tinggi. Kian jauh. Saya takut kehilangan istri. Saya kejar dengan lari. Lalu saya ikuti ia yang berjalan dengan kecepatannya.
Di putaran kelima azan bergema. Ia memberi isyarat harus cari tempat salat. Ia serahkan kursi dorong kembali ke saya. Saya ucapkan terima kasih. Ia ucapkan terima kasih.
Saya terus mendorong istri. Sampai tujuh putaran. Saya hafal: jarak antara azan pertama dan azan kedua lebih 30 menit. Cukup waktu untuk menyelesaikan tujuh putaran.
Kursi roda adalah bisnis yang return on investment-nya paling cepat. Rasanya. Satu hari sudah bisa balik modal. Hitung sendiri. Satu rit Rp 600.000. Kalau satu hari bisa 10 rit tentu modalnya balik dalam satu hari.
Itu kalau faktor tenaga tidak dihitung. Untuk mengejar 10 rit berarti pemilik kursi harus berjalan cepat 70.000 langkah.
Saya memuji manajemen baru tawaf itu. Seharusnyalah yang sudah tawaf umrah memberi kesempatan pada yang belum. Jangan-jangan, kelak, mencium Batu Hitam di salah satu pojok Kakbah itu pun pakai izin seperti Raudhah. Biar lebih tertib.
Yang juga berubah di Makkah adalah: kian banyak yang masuk masjid pakai sepatu atau sandal. Dulu sepatu-sandal itu wajib dilepas di pintu masuk. Lalu saat masjid dibersihkan semua alas kaki itu ikut dibersihkan. Sekali ke Makkah bisa lima kali beli sandal.
Kini terlihat ada pemandangan baru: biasa saja di dalam masjid Al Haram memakai sepatu dan sandal. Mereka baru melepas saat akan salat. Sandal ditaruh di dekat kaki berdiri.
Pun ketika tawaf. Baik yang di dekat Kakbah maupun yang di lantai 2. Kian banyak yang tetap pakai sepatu atau sandal.
Zaman dulu, apalagi di desa, sandal selalu menginjak kotoran ayam. Ada najis di bawahnya. Tapi sepatu orang sekarang tidak pernah menginjak tahi ayam. Dari rumahnya yang bersih langsung masuk mobil yang bersih. Lalu masuk kantor yang juga bersih.
Sebagai orang desa saya masih risi melihat orang masuk masjid pakai sepatu atau sandal. Hati saya masih berontak. Lalu saya berpikir: apanya yang salah. Toh alas kaki itu tidak ada najisnya.
Saya bertanya ke seorang tua yang tawaf pakai sepatu. Wajahnya Arab. Ia ternyata seorang Palestina yang tinggal di Australia.
“Kenapa pakai sepatu?”
“Saya sudah tua. Telapak saya sakit menapaki marmer tanpa alas kaki,” katanya.
Saya langsung mengenakan sandal yang sejak tadi saya jinjing. Saya juga sudah tua. (DAHLAN ISKAN)