26.2 C
Jakarta
Saturday, June 14, 2025

Danantara Group

Setiap kali membaca berita RUPS perusahaan BUMN selalu terlihat surat ini: surat keputusan kementerian BUMN yang berisi penentuan direksi-komisaris baru.

Danantara sebagai pemegang saham 99,99 persen kalah oleh satu lembar saham yang dimiliki Kementerian BUMN. Itulah hebatnya kekuatan saham seri A yang juga disebut saham Merah Putih.

Saya pun membayangkan apa yang terjadi di balik surat itu.

Kemungkinan pertama: direksi Danantara berkirim surat ke menteri BUMN. Isi surat: agar Kementerian BUMN menerbitkan surat keputusan untuk mengangkat direksi dan komisaris di suatu BUMN yang nama-nama dan jabatannya sudah ditentukan dalam surat Danantara itu.

Dengan demikian surat keputusan menteri BUMN tersebut hanya formalitas. Jabatan menteri BUMN hanya stempel. Menteri tidak berani tidak menuruti kemauan Danantara.

Kemungkinan kedua: menteri BUMN memutuskan sendiri. Tanpa melibatkan Danantara. Rasanya ini tidak mungkin. Danantaralah yang bertanggung jawab maju mundurnya perusahaan BUMN. Berarti direksi-komisaris perusahaan BUMN harus orang-orang yang loyal dan seide dengan Danantara.

Baca Juga :  Bismillah Karnaval

Kemungkinan ketiga: ada pembicaraan awal antara Danantara dan Kementerian BUMN. Mereka bersepakat tentang susunan direksi dan komisaris BUMN. Lalu SK menteri BUMN melegalkan kesepakatan itu. Ini yang paling mungkin terjadi, tapi berarti birokrasi menjadi lebih panjang

Praktik seperti itu agak aneh. Setelah ada Danantara, seharusnya Kementerian BUMN hanya sebagai regulator. Tentu regulator tidak akan cawe-cawe terlalu jauh. Sampai menerbitkan SK susunan direksi dan komisaris.

Tentu saya terlalu mencela itu. Mungkin saja sekarang ini masih dalam masa transisi. Masih cari bentuk yang terbaik. Rasanya bentuk yang terbaik adalah: Kementerian BUMN tidak ada lagi. Ini sesuai saja dengan cita-citanya awal: bahwa Kementerian BUMN hanya sementara, menunggu terbentuknya holding seperti Danantara.

Baca Juga :  Jembatan Merah

Soal siapa regulatornya bisa hanya satu badan kecil. Atau dikembalikan ke menkeu. Bahkan ke Setneg. Regulator sebenarnya adalah DPR –sudah diwujudkan dalam bentuk UU BUMN.

Mungkin kelak UU ini yang perlu disempurnakan lagi. Yakni menjadi UU yang sepenuhnya meregulasi Danantara. Tanpa perlu satu pun pasal aturan pelaksanaan.

Saat ini baru UU Pers yang tanpa diperlukan terbitnya aturan pelaksanaan. Dengan demikian DPR menjadi regulator yang sebenarnya. Tanpa perlu instansi pemerintah untuk menerbitkan aturan pelaksanaan.

Tahap berikutnya: istilah BUMN hilang dari kamus mana pun. Diganti dengan nickname baru: Danantara Group. Atau Grup Danantara.

“Bank Mandiri itu BUMN?”

“Bukan. Bank Mandiri itu Danantara Group”.

“Hutama Karya itu Danantara Group?”

“Betul”.

Branding baru: Danantara Group.

Brand BUMN hilang. Berarti subbrand “AKHLAK” juga ikut hilang. Kasihan AKHLAK. (Dahlan Iskan)

Setiap kali membaca berita RUPS perusahaan BUMN selalu terlihat surat ini: surat keputusan kementerian BUMN yang berisi penentuan direksi-komisaris baru.

Danantara sebagai pemegang saham 99,99 persen kalah oleh satu lembar saham yang dimiliki Kementerian BUMN. Itulah hebatnya kekuatan saham seri A yang juga disebut saham Merah Putih.

Saya pun membayangkan apa yang terjadi di balik surat itu.

Kemungkinan pertama: direksi Danantara berkirim surat ke menteri BUMN. Isi surat: agar Kementerian BUMN menerbitkan surat keputusan untuk mengangkat direksi dan komisaris di suatu BUMN yang nama-nama dan jabatannya sudah ditentukan dalam surat Danantara itu.

Dengan demikian surat keputusan menteri BUMN tersebut hanya formalitas. Jabatan menteri BUMN hanya stempel. Menteri tidak berani tidak menuruti kemauan Danantara.

Kemungkinan kedua: menteri BUMN memutuskan sendiri. Tanpa melibatkan Danantara. Rasanya ini tidak mungkin. Danantaralah yang bertanggung jawab maju mundurnya perusahaan BUMN. Berarti direksi-komisaris perusahaan BUMN harus orang-orang yang loyal dan seide dengan Danantara.

Baca Juga :  Bismillah Karnaval

Kemungkinan ketiga: ada pembicaraan awal antara Danantara dan Kementerian BUMN. Mereka bersepakat tentang susunan direksi dan komisaris BUMN. Lalu SK menteri BUMN melegalkan kesepakatan itu. Ini yang paling mungkin terjadi, tapi berarti birokrasi menjadi lebih panjang

Praktik seperti itu agak aneh. Setelah ada Danantara, seharusnya Kementerian BUMN hanya sebagai regulator. Tentu regulator tidak akan cawe-cawe terlalu jauh. Sampai menerbitkan SK susunan direksi dan komisaris.

Tentu saya terlalu mencela itu. Mungkin saja sekarang ini masih dalam masa transisi. Masih cari bentuk yang terbaik. Rasanya bentuk yang terbaik adalah: Kementerian BUMN tidak ada lagi. Ini sesuai saja dengan cita-citanya awal: bahwa Kementerian BUMN hanya sementara, menunggu terbentuknya holding seperti Danantara.

Baca Juga :  Jembatan Merah

Soal siapa regulatornya bisa hanya satu badan kecil. Atau dikembalikan ke menkeu. Bahkan ke Setneg. Regulator sebenarnya adalah DPR –sudah diwujudkan dalam bentuk UU BUMN.

Mungkin kelak UU ini yang perlu disempurnakan lagi. Yakni menjadi UU yang sepenuhnya meregulasi Danantara. Tanpa perlu satu pun pasal aturan pelaksanaan.

Saat ini baru UU Pers yang tanpa diperlukan terbitnya aturan pelaksanaan. Dengan demikian DPR menjadi regulator yang sebenarnya. Tanpa perlu instansi pemerintah untuk menerbitkan aturan pelaksanaan.

Tahap berikutnya: istilah BUMN hilang dari kamus mana pun. Diganti dengan nickname baru: Danantara Group. Atau Grup Danantara.

“Bank Mandiri itu BUMN?”

“Bukan. Bank Mandiri itu Danantara Group”.

“Hutama Karya itu Danantara Group?”

“Betul”.

Branding baru: Danantara Group.

Brand BUMN hilang. Berarti subbrand “AKHLAK” juga ikut hilang. Kasihan AKHLAK. (Dahlan Iskan)

Terpopuler

Artikel Terbaru

/