29.5 C
Jakarta
Saturday, September 13, 2025

Buku Lusuh

Saya meraih buku yang paling lusuh di atas meja di masjid itu. Saya ingin tahu: buku apa yang paling banyak dibaca di situ. Dalam pengertian saya, buku terbaik adalah buku yang lusuh. Apalagi yang sudah banyak coretannya.

Terlalu awal saya tiba di masjid itu: di distrik Tongzhou, pinggiran timur kota Beijing. Untuk membayangkan seberapa pinggir daerah itu ada ukurannya: ia berada di jalan lingkar nomor berapa.

Waktu pertama ke Beijing, tahun 1986, belum ada jalan lingkar. Mobil masih amat jarang. Belum tentu lima menit sekali ada yang lewat. Jalan-jalan penuh dengan sepeda atau gerobak barang.

Ketika mobil kian banyak perlu tata kota yang modern. Dibangunlah jalan lingkar –Anda menyebutnya ring road– untuk mencegah kemacetan. Beijing pun kian luas. Dibangun jalan lingkar kedua. Kian luas lagi. Dibangun lingkar ketiga.

Beijing kini sudah punya jalan lingkar No 7. Kalau peta jalan itu disederhanakan sudah seperti sarang laba-laba yang besar.

Meski punya jalan lingkar No 7 bukan berarti ada tujuh jalan lingkar. Beijing hanya punya enam jalan lingkar. Itu karena tidak ada jalan lingkar No 1. Jalan lingkar paling dalam di Beijing adalah jalan segi empat di lapangan Tian An Men –pusatnya pusat kota Beijing.

Masjid itu tadi berada di jalan lingkar No 6 –di bagian timur. Boleh dikata itu masjid di perumahan baru. Di wilayah pengembangan baru. Serba baru. Taman-taman luas. Perumahan kampungnya pun serba berlantai 20 ke atas. Sekolahnya baru. Rumah sakitnya baru. Masjidnya baru.

Anda sudah tahu: salat Jumat di Beijing dimulai pukul 14.00. Tapi baru pukul 12.00 saya sudah merasa lapar. Masjidnya sekitar delapan kilometer dari hotel tempat saya menginap seminggu terakhir. Lebih baik mencari restoran di dekat masjid. Logika saya sudah otomatis: di dekat masjid pasti ada resto halal.

Sebenarnya ada lima atau enam restoran halal di sekitar hotel. Tinggal jalan beberapa langkah. Tapi pelayan di enam resto itu sudah terlalu hafal wajah saya. Saya juga sudah hafal wajah mereka. Maka makan di resto dekat masjid jadi pilihan untuk menghafal wajah baru.

Benar. Ada resto halal di situ. Bahkan dua. Bangunan restonya menempel di bangunan masjid. Arsitektur restonya menyatu dengan arsitektur masjid: mirip kelenteng. Kelihatannya, waktu membangun masjid sekalian dipikirkan untuk juga membangun restoran halal.

Baca Juga :  Gemah Ripah

Saya hanya memesan makanan kecil: masih ada janji akan makan siang dengan relasi di Beijing. Mereka akan menjemput saya di masjid: sudah biasa pula mereka mengantar saya ke masjid. Di mana pun di Tiongkok.

Setelah hilang lapar, saya masuk masjid. Baru pukul 13.15. Baru lima orang di dalam masjid. Maka saya lihat-lihat buku apa saja yang ada di masjid itu. Lalu saya tertarik pada buku yang paling lungset di atas meja kecil.

Judulnya sudah tidak kelihatan. Buku itu sudah dilapisi plastik berlapis –rupanya agar tidak lebih hancur. Saya pun membukanya dengan hati-hati. Ternyata itu buku petunjuk teknis salat –dalam bahasa Mandarin. Bacaan-bacaan salatnya disertai huruf Arab.

Di bagian awal buku itu ada petunjuk teknis yang lebih umum: bagaimana menghadapi pertanyaan-pertanyaan malaikat dalam ujian setelah mati nanti. Beda dengan ujian di sekolah, bunyi pertanyaan yang alam akhirat itu sudah dibocorkan oleh buku itu. Mereka yang bisa menjawab barulah boleh masuk pintu gerbang surga.

Di Tiongkok mereka juga harus menghafal pertanyaan itu. Juga harus menghafal jawabnya. Saya sudah hafal sejak sebelum masuk SD –diajarkan di masjid-masjid. Apakah berarti saya pasti masuk surga? Belum tentu. Ada satu pertanyaan yang saya terlupa.

Pertanyaan No 1 mudah.

Saya baca bahasa Arabnya di sebelahnya: man rabbuka?

Ada jawabnya di bawahnya: Allah.

Total ada enam pertanyaan dan enam kunci jawaban di buku itu. Waktu kecil saya hanya diajari lima pertanyaan dengan lima jawaban. Baru di masjid Tiongkok ini saya tahu –dari buku lungset itu– ada enam pertanyaan.

Atau saya yang sudah lupa? Atau saya lagi main-main kuku saat ustaz mengajarkannya?

Pertanyaan yang saya lupa itu adalah: 我麦呢伊吗目开?

Awalnya saya pusing membacanya. Saya bisa membaca tiap hurufnya, tapi kalau diartikan tidak menjadi kalimat yang bisa dipahami. Tanyalah Wilwa yang begitu jago Mandarin. Wilwa akan pusing menjawab: apa artinya.

Lalu saya baca pertanyaan itu dalam bahasa Arabnya. Oh, bunyinya: wa man imamuka? Artinya Anda sudah tahu: siapa imam kamu?

Baca Juga :  Muara Yusuf

Berarti tulisan mandarin tadi bukan bahasa mandarin. Tulisannya mandarin tapi bunyinya mirip “wa man imamuka”. Kalau tulisan mandarin itu dibunyikan satu per satu bunyinya begini: wo mai ne yi ma mu kai? Bukankah bunyi itu agak mirip “wa man imamuka”.

Anda pun ingat pelajaran di pondok pesantren: yang tulisannya huruf Arab tapi bunyinya bahasa Jawa.

Atas pertanyaan itu ada bocoran jawabannya: imam saya adalah

我的伊吗目是夫勒儿嘎奴.  Artinya, imam saya Al Furqan.

Berkali-kali saya ulangi pertanyaan dan jawaban itu. Sekalian menambah kosa-kata bahasa mandarin yang masih terbatas. Siapa tahu pertanyaan malaikat di sana nanti juga diajukan dalam bahasa mandarin.

Saya pun mengingat masa kecil dengan keras: jangan-jangan pernah diajarkan. Rasanya tidak. Saya yakin itu, karena pengertian saya, Al Furqan adalah nama lain Alquran. Padahal di pertanyaan nomor tiga sudah ada: apa kitab pedoman kamu. Jawabnya:  我的经典是古勒儿阿尼. Arabnya: Alquran.

Tapi jawaban dalam bahasa mandarin itu membingungkan saya. Karena di masa kini bahasa mandarinnya Quran adalah: 古兰经 (Gǔ lán jīng).

Saya tidak tahu apakah penulis buku tersebut salah paham. Atau ketika buku lungset itu ditulis belum ada standardisasi penulis Quran dalam bahasa mandarin.

Lama saya berhenti di halaman itu. Setelah mendekati waktu salat saya baru cepat-cepat membuka halaman berikutnya. Ternyata ada petunjuk teknis beberapa salat sunnah ¬–kalau dikerjakan dapat pahala, kalau tidak dikerjakan tidak berdosa.

Jenis salat sunnahnya ternyata lebih banyak. Ada salat sunnah adzin dan salat rasuli.

Lalu ada petunjuk mengucapkan niat salat wajib. Termasuk salat Jumat. Bacaan niat salatnya agak beda dengan waktu kecil saya: usali lillahi salatan fardu Jumatan muktadiyan bil imam.

Masjid pun penuh. Hanya sedikit orang asingnya –rupanya tidak ada universitas besar di kawasan ini. Tidak ada mahasiswa asing –dari Pakistan atau India– yang sering saya lihat di masjid lain.

Anda tidak perlu membaca tulisan saya di atas. Minggu ini banyak bacaan yang lebih menarik di medsos: perbandingan pajak sepeda motor di Malaysia dan di Indonesia. Rujak dari Malaysia kelihatannya lebih gurih bagi para gubernur di Indonesia.(Dahlan Iskan)

Saya meraih buku yang paling lusuh di atas meja di masjid itu. Saya ingin tahu: buku apa yang paling banyak dibaca di situ. Dalam pengertian saya, buku terbaik adalah buku yang lusuh. Apalagi yang sudah banyak coretannya.

Terlalu awal saya tiba di masjid itu: di distrik Tongzhou, pinggiran timur kota Beijing. Untuk membayangkan seberapa pinggir daerah itu ada ukurannya: ia berada di jalan lingkar nomor berapa.

Waktu pertama ke Beijing, tahun 1986, belum ada jalan lingkar. Mobil masih amat jarang. Belum tentu lima menit sekali ada yang lewat. Jalan-jalan penuh dengan sepeda atau gerobak barang.

Ketika mobil kian banyak perlu tata kota yang modern. Dibangunlah jalan lingkar –Anda menyebutnya ring road– untuk mencegah kemacetan. Beijing pun kian luas. Dibangun jalan lingkar kedua. Kian luas lagi. Dibangun lingkar ketiga.

Beijing kini sudah punya jalan lingkar No 7. Kalau peta jalan itu disederhanakan sudah seperti sarang laba-laba yang besar.

Meski punya jalan lingkar No 7 bukan berarti ada tujuh jalan lingkar. Beijing hanya punya enam jalan lingkar. Itu karena tidak ada jalan lingkar No 1. Jalan lingkar paling dalam di Beijing adalah jalan segi empat di lapangan Tian An Men –pusatnya pusat kota Beijing.

Masjid itu tadi berada di jalan lingkar No 6 –di bagian timur. Boleh dikata itu masjid di perumahan baru. Di wilayah pengembangan baru. Serba baru. Taman-taman luas. Perumahan kampungnya pun serba berlantai 20 ke atas. Sekolahnya baru. Rumah sakitnya baru. Masjidnya baru.

Anda sudah tahu: salat Jumat di Beijing dimulai pukul 14.00. Tapi baru pukul 12.00 saya sudah merasa lapar. Masjidnya sekitar delapan kilometer dari hotel tempat saya menginap seminggu terakhir. Lebih baik mencari restoran di dekat masjid. Logika saya sudah otomatis: di dekat masjid pasti ada resto halal.

Sebenarnya ada lima atau enam restoran halal di sekitar hotel. Tinggal jalan beberapa langkah. Tapi pelayan di enam resto itu sudah terlalu hafal wajah saya. Saya juga sudah hafal wajah mereka. Maka makan di resto dekat masjid jadi pilihan untuk menghafal wajah baru.

Benar. Ada resto halal di situ. Bahkan dua. Bangunan restonya menempel di bangunan masjid. Arsitektur restonya menyatu dengan arsitektur masjid: mirip kelenteng. Kelihatannya, waktu membangun masjid sekalian dipikirkan untuk juga membangun restoran halal.

Baca Juga :  Gemah Ripah

Saya hanya memesan makanan kecil: masih ada janji akan makan siang dengan relasi di Beijing. Mereka akan menjemput saya di masjid: sudah biasa pula mereka mengantar saya ke masjid. Di mana pun di Tiongkok.

Setelah hilang lapar, saya masuk masjid. Baru pukul 13.15. Baru lima orang di dalam masjid. Maka saya lihat-lihat buku apa saja yang ada di masjid itu. Lalu saya tertarik pada buku yang paling lungset di atas meja kecil.

Judulnya sudah tidak kelihatan. Buku itu sudah dilapisi plastik berlapis –rupanya agar tidak lebih hancur. Saya pun membukanya dengan hati-hati. Ternyata itu buku petunjuk teknis salat –dalam bahasa Mandarin. Bacaan-bacaan salatnya disertai huruf Arab.

Di bagian awal buku itu ada petunjuk teknis yang lebih umum: bagaimana menghadapi pertanyaan-pertanyaan malaikat dalam ujian setelah mati nanti. Beda dengan ujian di sekolah, bunyi pertanyaan yang alam akhirat itu sudah dibocorkan oleh buku itu. Mereka yang bisa menjawab barulah boleh masuk pintu gerbang surga.

Di Tiongkok mereka juga harus menghafal pertanyaan itu. Juga harus menghafal jawabnya. Saya sudah hafal sejak sebelum masuk SD –diajarkan di masjid-masjid. Apakah berarti saya pasti masuk surga? Belum tentu. Ada satu pertanyaan yang saya terlupa.

Pertanyaan No 1 mudah.

Saya baca bahasa Arabnya di sebelahnya: man rabbuka?

Ada jawabnya di bawahnya: Allah.

Total ada enam pertanyaan dan enam kunci jawaban di buku itu. Waktu kecil saya hanya diajari lima pertanyaan dengan lima jawaban. Baru di masjid Tiongkok ini saya tahu –dari buku lungset itu– ada enam pertanyaan.

Atau saya yang sudah lupa? Atau saya lagi main-main kuku saat ustaz mengajarkannya?

Pertanyaan yang saya lupa itu adalah: 我麦呢伊吗目开?

Awalnya saya pusing membacanya. Saya bisa membaca tiap hurufnya, tapi kalau diartikan tidak menjadi kalimat yang bisa dipahami. Tanyalah Wilwa yang begitu jago Mandarin. Wilwa akan pusing menjawab: apa artinya.

Lalu saya baca pertanyaan itu dalam bahasa Arabnya. Oh, bunyinya: wa man imamuka? Artinya Anda sudah tahu: siapa imam kamu?

Baca Juga :  Muara Yusuf

Berarti tulisan mandarin tadi bukan bahasa mandarin. Tulisannya mandarin tapi bunyinya mirip “wa man imamuka”. Kalau tulisan mandarin itu dibunyikan satu per satu bunyinya begini: wo mai ne yi ma mu kai? Bukankah bunyi itu agak mirip “wa man imamuka”.

Anda pun ingat pelajaran di pondok pesantren: yang tulisannya huruf Arab tapi bunyinya bahasa Jawa.

Atas pertanyaan itu ada bocoran jawabannya: imam saya adalah

我的伊吗目是夫勒儿嘎奴.  Artinya, imam saya Al Furqan.

Berkali-kali saya ulangi pertanyaan dan jawaban itu. Sekalian menambah kosa-kata bahasa mandarin yang masih terbatas. Siapa tahu pertanyaan malaikat di sana nanti juga diajukan dalam bahasa mandarin.

Saya pun mengingat masa kecil dengan keras: jangan-jangan pernah diajarkan. Rasanya tidak. Saya yakin itu, karena pengertian saya, Al Furqan adalah nama lain Alquran. Padahal di pertanyaan nomor tiga sudah ada: apa kitab pedoman kamu. Jawabnya:  我的经典是古勒儿阿尼. Arabnya: Alquran.

Tapi jawaban dalam bahasa mandarin itu membingungkan saya. Karena di masa kini bahasa mandarinnya Quran adalah: 古兰经 (Gǔ lán jīng).

Saya tidak tahu apakah penulis buku tersebut salah paham. Atau ketika buku lungset itu ditulis belum ada standardisasi penulis Quran dalam bahasa mandarin.

Lama saya berhenti di halaman itu. Setelah mendekati waktu salat saya baru cepat-cepat membuka halaman berikutnya. Ternyata ada petunjuk teknis beberapa salat sunnah ¬–kalau dikerjakan dapat pahala, kalau tidak dikerjakan tidak berdosa.

Jenis salat sunnahnya ternyata lebih banyak. Ada salat sunnah adzin dan salat rasuli.

Lalu ada petunjuk mengucapkan niat salat wajib. Termasuk salat Jumat. Bacaan niat salatnya agak beda dengan waktu kecil saya: usali lillahi salatan fardu Jumatan muktadiyan bil imam.

Masjid pun penuh. Hanya sedikit orang asingnya –rupanya tidak ada universitas besar di kawasan ini. Tidak ada mahasiswa asing –dari Pakistan atau India– yang sering saya lihat di masjid lain.

Anda tidak perlu membaca tulisan saya di atas. Minggu ini banyak bacaan yang lebih menarik di medsos: perbandingan pajak sepeda motor di Malaysia dan di Indonesia. Rujak dari Malaysia kelihatannya lebih gurih bagi para gubernur di Indonesia.(Dahlan Iskan)

Terpopuler

Artikel Terbaru