Site icon Prokalteng

Anshor Laris

Muhammad Yusuf Anshor dan Dahlan Iskan.--

WAKTU bermalam di kota Tabuk dulu sebagian pikiran saya di Gunung Kidul. Ke seorang remaja kelas tiga SMP. Sepulang dari Makkah saya harus menemuinya.

Maka di Safari Ramadhan ini, Selasa sore pekan lalu, saya ke Gunung Kidul. Saya mencari remaja itu ke sebuah desa sekitar 2 jam dari Yogyakarta. Ketemu. Rumahnya mewah –mepet sawah. Di sebuah pinggir sungai yang dua tahun lalu menimbulkan bencana banjir bandang.

Nama remaja ini sudah saya hafal sejak di atas bus selama 12 jam antara Madinah-Tabuk: Muhammad Yusuf Anshor. Di bus itulah saya berkenalan dengannya: lewat YouTube. Rasa bete kadang diperlukan untuk mengenal sesuatu yang baru.

Remaja Disway ini barang baru bagi saya: semuda itu kok sudah bagus memainkan wayang kulit. Ia sudah seorang dalang. Dari penampilannya ia sudah mengalahkan banyak yang lebih tua.

Sepanjang jalan bagian utara Arab Saudi itu saya pun menonton Anshor. Pikiran saya langsung ke dalang idola Seno Nugroho. Apalagi kalau Anshor lagi memainkan tokoh Bagong. Logat Bagongnya persis almarhum Seno.

Padahal Anshor bukan anak atau cucu dalang. Ayahnya seorang buruh. Serabutan. Di sebuah supermarket dekat desa itu.

Anshor sudah suka wayang sejak kecil. Banyak anak desa yang seperti itu. Orang tua mereka membelikan wayang yang terbuat dari karton.

Ibunda Anshor tahu anak kecilnya ingin juga punya wayang. Sang ibu tidak punya uang. Maka sang ibu sendiri yang membuatkan wayang dari bahan kertas untuk Anshor. Yakni tokoh Adipati Basukarno. Yang dibuat dengan pisau dapur dan gunting. Yang diwarnai dengan goresan krayon. Yang diisi roh lewat doa sang ibu.

Maka di mata si kecil Anshor, kertas Adipati Karno itu menjadi seperti benda hidup. Ia mainkan. Terus. Sampai lungset. Lalu dibuatkan tokoh lainnya. Ditiupkan lagi doa ibu ke ubun-ubun wayang itu. Anshor memainkannya siang malam.

Setelah masuk SD, Anshor mulai melihat wayang di YouTube. Ia, seperti juga anak muda lainnya, menyukai dalang Seno. Nonton penampilan dalang Seno itulah keasyikan Anshor di waktu kecil.

“Jadi, Anda belajar mendalang dari YouTube?” tanya saya.

“Iya,” jawabnya.

Bukan main.

Setelah remaja barulah ia mendapat bimbingan dari dalang beneran. Dari Gunung Kidul sendiri. Namanya: Ki Sulis Priyanto. Ki Sulis merupakan sarjana pedalangan yang juga melakukan pendampingan desa budaya.

Saat ini, total, sudah sekitar 50 video penampilan Anshor di YouTube. Pemirsanya ratusan ribu. Banyak dalang lebih terkenal yang penggemarnya di bawah itu.

Berarti Anshor sudah laku dijual. Semua yang ada di YouTube itu adalah rekaman live streaming saat Anshor mendalang beneran di depan umum.

“Kapan kali pertama ditanggap?”

“Tiga tahun lalu. Ketika kelas 1 SMP,” jawabnya.

Itulah kali pertama Anshor mendalang dapat bayaran. Yakni di sebuah pernikahan di desa itu. Baru itungan ratusan ribu rupiah.

Orang ternyata senang. Lihatlah suluknya, nyaris sempurna. Ketika mengucapkan dialog, Anshor bisa menyembunyikan suara remajanya. Suaranya begitu dewasa saat di pakeliran.

Keruan saja di kelas 3 SMP sekarang ini yang nanggap Anshor  sudah begitu banyak. “Lebaran hari kedua nanti pun sudah mendalang di sebuah acara perkawinan,” ujar sang ayah. Kini sang ayah merangkap manajer Anshor. Mirip ayah penyanyi ”Ojo dibanding-bandingke” Farel Prayoga.

Di hari Lebaran nanti itu bukan hanya di hari kedua yang di-book. Juga hari ketiga, keempat, kelima, ke enam dan ketujuh. “Enam hari berturut-turut,” ujar sang ayah.

Begitu laris.

Sudah bisa pasang tarif. Inilah anak kelas 3 SMP yang sudah punya tarif Rp 30 juta/tampil semalam. Tentu itu harus dipotong sewa gamelan, honor penabuh dan sinden –penyanyi lagu-lagu Jawa.

Anshor telah jadi seniman Jawa yang membanggakan.

Setelah menonton lebih 10 penampilan Anshor di YouTube saya berkesimpulan anak ini punya bakat yang luar biasa. Tidak mudah menjadi dalang. Ia harus vokalis, komedian, teater, sinematograf, penari dan gabungan begitu banyak kesenimanan.

Waktu berjumpa di teras rumahnya, rumah bapaknya, saya sampaikan pertanyaan yang saya simpan sejak di jalan antara Madinah-Tabuk: mengapa tidak mengikuti jenis suara dalang Seno untuk tokoh Sengkuni. Saya tidak puas dengan suara Anshor untuk tokoh Sengkuni. Kurang pas. Kurang ‘pengkhianat’.

Ternyata Anshor sengaja ingin membuat suara Sengkuni seperti itu. “Sengaja saya buat nggece,” ujar Anshor. Saya tidak paham bahasa Gunung Kidul apa itu nggece. “Seperti suara dalang Hadi Sugito,” ujarnya.

“Dalang terkenal dari Yogyakarta itu?” tanya saya.

“Iya,” jawabnya.

“Lho, beliau kan sudah meninggal jauh sebelum Anda lahir?” tanya saya.

“Saya lihat di YouTube,” jawabnya.

Saya senang berada di Desa Katongan, Nglipar, Gunung Kidul ini. Apalagi di senja hari seperti ini. Padi menghijau, langit memerah dan perut lapar puasa mencapai puncaknya.

Saya tidak mau merepotkan tuan rumah. Saya pamit menjelang saat berbuka puasa. Ibunda Anshor bergegas menyusulkan tas kresek plastik. “Bisa untuk berbuka di jalan,” katanyi. Isinya lengkap sekali: empat botol air putih, ketela rebus, lepet dibungkus daun kelapa dan kacang rebus.

Saya pun menuju Yogyakarta. Bos Rich Hotel sudah menanti saya untuk makan malam di hotelnya yang gandeng dengan Yogyakarta Mall itu. Saya juga sudah janji untuk salat malam di masjid Jagakaryan dan disambung ke pondok Krapyak di dekatnya.

“Anda sudah punya jadwal begitu padat untuk mendalang. Masih tertarik meneruskan ke SMA?” tanya saya.

“Harus,” jawabnya.

“Ke SMA mana?”

“Ke Madrasah Aliyah Negeri Wonosari,” jawabnya.

Saya pun mengayunkan tangan kanan. Ia pun menyambut dengan menaikkan telapak tangan kanannya: toast! (Dahlan Iskan)

Exit mobile version