Saya ikut Ari Sufiati mengantarkan Nico ke University of California Berkeley. Perjalanan satu setengah jam dari rumahnyi di selatan Silicon Valley, tidak jauh dari kantor pusat Apple tempatnyi bekerja.
Nico adalah calon sarjana baru robotic Unair yang lolos tes program Global Leadership satu bulan di Amerika.
Program itu dilahirkan oleh Ari Sufiati dan Dian Widhiati dari Houston. Dua wanita itu pendiri yayasan Indonesia Lighthouse, dan sama-sama pengurus inti IKA Unair wilayah Amerika.
Salah satu programnya: merasakan masuk kelas di UC Berkeley. Dua kali. Lalu ke lab di situ, dibimbing seorang profesor di sana.
Saya tidak ikut masuk kelas. Saya ikut ke lab mechanical engineering-nya.
Saya bertemu sang profesor pembimbing. Salaman. Namanya: George Anwar. Ia alumnus teknik nuklir dan teknik mesin di UC Berkeley. Lalu master dan doktornya di mechanical engineering.
“Kenapa nama belakang Anda Anwar?” tanya saya dalam bahasa Inggris.
“Saya kan orang Indonesia,” jawabnya, juga dalam Inggris.
“Indonesia? Dari mana?” tanya saya lagi masih dalam Inggris. Saya tidak sepenuhnya percaya.
Ia pun membuka tas kecil. Mengeluarkan paspor.
“This is my passport,” katanya.
Benar, paspor Indonesia. Hijau. Bergambar Garuda.
Saya buka paspor itu. Nama yang tertera di situ bukan George Anwar, tapi Djodji Anwar.
Ia lahir di Hong Kong. Ibunya orang Korea. Sejak umur 10 tahun sudah tinggal di San Francisco.
Kami pun ngobrol dalam bahasa Inggris dengan asyiknya. Ia duduk di kursi dekat lab 3-D printer yang lagi bekerja.
Seorang mahasiswa dari Thailand sedang ujian master di lab itu. Ia mengamati mesin cetak tiga dimensi itu sambil mengutak-atiknya.
Ini kali pertama saya melihat mesin cetak 3-D. Skala lab.
Di situ juga ada fasilitas lab terowongan udara. Tes-tes tekanan udara dilakukan di situ.
Prof Djodji Anwar ternyata adik kelas menteri riset dan pendidikan tinggi yang sekarang ini: Prof Dr Satryo Soemantri Brodjonegoro. Yakni ketika Prof Satryo juga kuliah di UC Berkeley.
“Masih sering kontak beliau?”
“Masih. Meski beda kelas saya dulu sepermainan dengan beliau”.
“Anda punya berapa mahasiswa dari Indonesia?”
Prof Djodji Anwar menunduk. Wajahnya berubah. Terlihat sedih. Beberapa saat tidak berkata-kata.
“Zero,” katanya lirih. “Saya ingin sekali mendidik mahasiswa asal Indonesia,” tambahnya.
Ia pun emosional. “Kenapa ya tidak ada mahasiswa Indonesia di sini. Kenapa Indonesia tidak punya pengolahan bahan baku besi-baja,” katanya. “Di sini mahasiswa saja bisa bikin besi. Kok Indonesia tidak bisa,” tambahnya.
Djodji Anwar ternyata anak wartawan. Ayahnya, Anwar Rawi, adalah wartawan kantor berita Antara. Ditempatkan di Hong Kong. Yakni saat Adam Malik masih jadi pimpinan Antara pusat.
Di Hong Kong sang ayah bertemu gadis Korea yang pintar. Sang gadis bisa tujuh bahasa: Korea, Inggris, Belanda, Kanton, Mandarin, Jepang, dan Prancis. Juga bahasa Indonesia.
Mereka pun kawin antar bangsa. Punya dua anak, yang bungsu diberi nama Djodji Anwar.
Dari Hong Kong sang ayah dipindah ke Singapura. Ketika Adam Malik menjabat menteri luar negeri, Anwar Rawi ditawari jadi duta besar di Australia. Anwar menolak. Ia minta ditempatkan di Amerika –meski pun bukan sebagai dubes.
Ia mau biar pun hanya jadi staf biasa. Anwar Rawi ingin dua anaknya sekolah di Amerika. Akhirnya Adam Malik setuju: menugaskannya sebagai staf lokal di konsulat Indonesia di San Francisco. Saat itu usia Djodji Anwar 10 tahun.
Sang ayah memang sekampung dengan Adam Malik –terakhir menjabat wakil presiden Indonesia: dari Medan.
Prof Djodji Anwar terharu mengenang bapaknya: menolak jabatan jadi duta besar demi anaknya bisa sekolah di Amerika.
Sang ayah ingin anaknya kelak kuliah di UC Berkeley. Alasannya: begitu banyak orang hebat Indonesia lulusan UC Berkeley: Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, Emil Salim… Mereka adalah tokoh-tokoh pembangun ekonomi Indonesia di awal orde baru. Mereka adalah teman-teman Adam Malik di kabinet awal Presiden Soeharto.
Ayah-ibunya itu kini sudah meninggal. Dimakamkan di Amerika. Mereka sempat melihat Djodji Anwar benar-benar diterima kuliah di UC Berkeley. Bahkan ikut hadir saat putra keduanya itu menjadi doktor engineering UC Berkeley.
Sang ayah juga masih melihat saat Djodji Anwar memberinya dua orang cucu –dari istri asal Filipina.
“Mengapa masih memegang paspor Indonesia?”
“Ini pesan ayah saya. Harus berjuang untuk Indonesia.”
Pagi ini, WIB, giliran saya ke Oakland. Ke kampung halaman Kamala Harris. Lihat coblosan pilpres di sana.
Inilah pilpres Amerika yang paling tidak bisa ditebak siapa pemenangnya.(Dahlan Iskan)