Site icon Prokalteng

PCR Mulia

pcr-mulia

HEBOH harga PCR mencapai lapisan yang paling bawah. Juga merambah ke kelompok selama ini mati-matian membela pemerintah.

Tulisan yang paling keras, paling kasar, paling rinci, dan paling lucu beredar di medsos. Luas peredarannya seluas daun kelor –yang dijejer-jejer se-Indonesia. Anda sudah tahu semuanya. Tanpa harus saya ulangi.

Sampai kapan heboh itu mengguncang Indonesia? Dalam teori komunikasi lama –sebelum zaman medsos– seheboh apa pun suatu peristiwa, ia akan surut dalam 40 hari. Itu yang heboh terbesar. Yang heboh kecil, paling hanya berumur 7 hari. Banyak orang yang jadi sasaran media sampai heboh pilih bersabar setidaknya selama 40 hari.

Itu memang bukan teori serius –karena saya sendiri yang menemukan. Dulu. Berdasar pengamatan semata: kok semua peristiwa besar akhirnya hilang hebohnya setelah 40 hari.

Juga agak berbau klenik: kenapa orang mati diselamati 40 harinya.

Umur kehebohan itu mungkin lebih pendek lagi di zaman medsos ini. Dulu, peristiwa hari ini, hebohnya baru besok pagi. Yakni ketika koran memuatnya. Lalu kian heboh besoknya lagi. Ketika koran mulai dipinjam-pinjamkan. Kian heboh lagi ketika pembaca koran menceritakan berita itu ke yang tidak berlangganan.

Kini sudah begitu beda. Kejadian hari ini, langsung heboh hari ini juga. Hebohnya juga tidak bertahap. Langsung heboh seheboh-hebohnya. Seperti soal harga PCR itu.

Menko Luhut, Menteri BUMN dan kakaknya, bos grup Indika, jadi bulan-bulanan di medsos. Kalau pun mereka berniat membantu negara dan masyarakat siapa yang memuji niat baik itu?

Sampai heboh hari ke-7 ini belum ada yang berani memuji mereka. Mungkin akan merasa kalah arus dengan hujatan. Atau merasa takut: akan ikut dihujat.

Menko Luhut Panjahitan tidak memilih sabar –sampai heboh itu reda. Bos Adaro, Boy Thohir, memilih tidak mengeluarkan komentar apa pun. Menteri BUMN Erick Thohir ikut sikap kakaknya. Tapi juru bicara menteri mencoba memberikan pembelaan. Misalnya, kata sang juru bicara, porsi PCR yang dilakukan konsorsium Adaro-Luhut dkk itu hanya 2,7 persen dari total PCR di Indonesia.

Baik klarifikasi dari juru bicara Menko Luhut maupun dari juru bicara Erick Thohir seperti seperti lalu. Bahkan angin itu berbalik arah dalam bentuk badai. Salah satunya yang ditulis Agustinus Edy Kristianto. Yang viral menyertai badai balik itu. Judulnya:

EFFECT PENGUASA PENGUSAHA "PENGPENG EFFECT".

Saya mencari nomor kontak Agustinus tapi belum berhasil. Saya ingin tahu siapa ia. Kok punya bahan tulisan begitu rincinya. Saya kalah telak dengan penulis itu.

Begitu banyak juga yang menulis dari aspek hukum dan kekuasaan. Misalnya soal apakah kehebohan ini akan sampai ke meja hukum. Atau ke meja DPR –impeachment.

Saya tidak melihat dua-duanya. Hukum, Anda sudah tahu. Yang tidak salah bisa diproses sampai dedel duel. Yang salah bisa saja tidak tersentuh. Suka-suka yang berkuasa.

Soal politik, apalagi. Anda jauh lebih tahu dari saya.

Maka saya melihatnya dari sisi komunikasi saja. Niat baik untuk membantu negara dan masyarakat telah terbukti tidak diakui. Kalah dengan temuan seperti yang diungkapkan Agustinus.

Padahal yang terjun dari Adaro adalah bukan PT Adaro, melainkan Yayasan Adaro. Demikian juga yang dari PT Indika, yang tampil Yayasan Indika. Dua yayasan itulah yang memegang saham terbesar di usaha PCR tersebut. Sedang yang dari Menko Luhut yang tampil memang PT, tapi sangat minoritas. Itu pun sudah diniatkan tidak untuk bisnis.

Tapi semua itu hilang dari logika masyarakat. Pokoknya harga PCR selama ini jahat sekali –yang dilakukan di tengah penderitaan masyarakat.

Lantas apa yang bisa dipakai alat komunikasi dengan masyarakat yang sudah begitu kesal?

Saya tidak melihat lain kecuali ini: umumkan ke masyarakat berapa keuntungan usaha PCR itu. Terbuka. Rinci. Apa adanya. Lalu sumbangan semua keuntungan itu ke masyarakat miskin. Semua. Toh niatnya kan juga untuk membantu masyarakat.

Itu memang belum bisa seperti hujan sehari untuk menghapus panas setahun. Juga tidak ada hubungan di aspek hukum.

Tapi niat mulia sudah diwujudkan lewat cara mulia. Soal hasilnya: terserah yang berkuasa. (Dahlan Iskan)

Exit mobile version