31.3 C
Jakarta
Friday, June 6, 2025

Ramu Umar

“DULU meramu bom, kini meramu kopi”, judul Harian Disway kemarin.

Itulah Umar Patek –terpidana teroris Bom Bali. Kini ia punya brand kopi Ramu –coba Anda baca dari belakang, Anda akan tahu kenapa nama kopi itu Ramu.

Kopi Ramu diresmikan Selasa malam kemarin –saya diundang hadir. Saya dan Umar Patek duduk satu sofa di acara itu –sehingga bisa banyak ngobrol dengannya.

Kopi Ramu hadir di kompleks kafe Hedon Estate di daerah Ngagel, Surabaya. Pemilik Hedon, drg David Andreasmito, teman baik saya –juga teman baik banyak orang. Ia juga punya kafe yang tidak kalah hedonnya di Banyuwangi –juga dengan nama Hedon.

Segala macam mobil mewah dipajang di dua kafe itu –sekaligus sebagai showroom mobil-mobil koleksinya. Terlihat juga banyak moge yang selalu ditampilkan mengilap.

David seorang Kristen –meski saya lihat lebih ke kejawen. Saya punya beberapa teman Tionghoa berjiwa kejawen seperti David.

“Umar Patek sekarang punya usaha bisnis kopi dibantu seorang Kristen,” ujar Islah Bahrawi, pengamat terorisme terkemuka Indonesia. Itu menandakan Umar Patek sudah tidak radikal lagi.

Saya memang menghubungi Bahrawi. Saya bertanya kepadanya, di mana posisi Umar Patek dalam peta jaringan teroris dunia. Ia, katanya, golongan yang sudah insaf.

Drg David tahu Umar sudah dua tahun bebas dari penjara Porong, Sidoarjo. Ia sudah menjalani hukuman 10 tahun dari vonis 20 tahun. Ia boleh hidup di luar penjara. Dengan pengawasan. Saat itulah drg David ke rumahnya di Sidoarjo.

“Sudah punya pekerjaan apa?” tanya drg David.

“Masih menganggur. Tidak punya pekerjaan,” jawab Umar.

“Mau kerja?”

“Mau.”

“Bisa apa? Punya kemampuan apa?”

“Tidak punya kemampuan apa-apa,” jawabnya.

Tidak punya kemampuan apa-apa itu tidak sepenuhnya benar. Di tengah nganggurnya itu, ia bergabung dengan Galeri Makro. Yakni, perkumpulan orang-orang yang punya hobi memotret dengan teknik makro. Yakni, memotret objek yang amat kecil bisa terlihat besar. Misalnya, memotret serangga.

Umar tenggelam di hobi itu. Awalnya ia memotret pakai HP yang di kameranya ditambah kamera khusus: lensbong –lensa bongkaran. Arif Basuki yang mengajari Umar memotret makro.

“Mengajarinya dari nol. Sekarang Umar punya level 8,” ujar Arif.

Banyak anggota Galeri Makro yang ikut hadir di peresmian kopi Ramu. Termasuk ketuanya: Danny Andika –tim sukses Jenderal Andika saat nyalon gubernur Jateng tahun lalu. Mereka umumnya di level 9 dan 10.

Arif dan Denny, misalnya, sudah bisa hidup dari fotografi makro. Penghasilannya dolar. Banyak foto makronya yang diunggah di Instagram. Lalu, ada yang membeli. Seperti Denny, sudah lebih 1.000 foto yang diunggah di IG.

“Anda sudah mengunggah berapa foto di IG Anda?” tanya saya kepada Umar Patek.

“Sudah 300-an,” jawabnya.

Foto-foto makro karya Umar pun ditampilkan di layar di acara peresmian Ramu kemarin.

Saat ke rumah Umar Patek, David disuguhi kopi. Umar sendiri yang membuat kopi itu.

“Ini enak,” ujar David mengenang saat itu. “Kopi apa ini?” tanyanya.

“Ini kopi rempah,” jawab Umar. “Saya dapat resepnya dari ibu. Ibu dapat dari nenek,” jawab Umar.

Dari situlah ide kopi tersebut lahir: bikin kopi Ramu. David pun “menyekolahkan” Umar ke seorang temannya yang ahli sangrai. Semula teman itu tidak mau mengajar mantan teroris. Takut. David meyakinkannya.

Baca Juga :  Modul Digital

Penolakan seperti itulah yang dialami Umar selama dua tahun. Tidak bisa berhubungan dengan orang lain. Tidak bisa mendapat pekerjaan. Selalu ditolak orang.

Maka, ketika ada tawaran buka bisnis kopi di properti drg David, Umar kaget. Lalu, bertanya, apakah itu tidak akan membuat drg David sulit. Yang ditanya justru balik bertanya: apakah Umar mau. Terutama karena David seorang Kristen.

Mereka pun sepakat. Umar ingin menunjukkan sikap barunya. Tidak lagi ekstrem. “Bekerja sama dengan orang Kristen pun tidak apa-apa.”

Kini, di usia 59 tahun, Umar mulai usaha bisnis. Bahwa nama bisnis kopinya harus dibaca secara terbalik itu mengandung makna khusus: hidupnya sudah berbalik. Dari menyajikan kepahitan kepada umat manusia ke memberikan kebahagiaan lewat kopi ramuannya.

Di Sidoarjo kini Patek hidup berdua dengan istrinya. Mereka belum dikaruniai anak. Perkawinan itu sudah berumur 27 tahun.

Istri Umar adalah seorang putri sulung pendeta Kristen Katolik di Filipina. Keluarga istri itu tinggal di Kota General Santos.

Sang putri masih kelas II SMA negeri di General Santos. Dia masuk Islam. Ketika orang tua marah, dia justru “lari” ke basis Islam di dekat Kotabat –lima jam naik mobil dari General Santos. Dia meneruskan sekolah SMA di kamp militan Filipina Selatan.

Saat itu Umar sudah bergabung ke kelompok militan Islam di Moro. Begitu mendengar ada gadis yang baru saja lari ke kamp militan, Umar mengatakan ingin mengawini gadis itu. Padahal, Umar belum tahu namanyi. Belum tahu wajahnyi.

Umar langsung menghadap komandan kamp militan. Ia menyatakan ingin mengawini gadis itu. Meski belum melihat sendiri wajah si gadis, hatinya sudah terpikat.

“Saya di sini hanya guru, bukan orang tuanyi,” ujar komandan militan di kamp itu. “Kalau mau mengawininyi, harus datang ke orang tuanyi,” tambahnya.

Umar pun pergi ke General Santos. Ia menemui orang tua si gadis. Ia melamar.

“Bagaimana mau mengawininyi. Dia masih sekolah SMA,” reaksi sang ayah.

“Tidak akan mengganggu sekolah. Setelah pernikahan, seminggu kemudian boleh masuk sekolah lagi,” jawab Umar.

Setelah berhasil membuat calon mertua yakin, Umar mengajukan permintaan ke calon mertuanya itu. Yakni, agar mereka bersedia hadir dalam pernikahan mereka.

“Kami diminta hadir ke kamp militan? Mana bisa? Kami ini pendeta Kristen. Kami bisa dibunuh di sana,” ujar calon mertua.

Umar pun menjamin keamanan mereka. Maka, saat pernikahan itu, calon mertua datang lengkap dengan saudara-saudaranya. Juga, dua adik calon istrinya.

Umar menyewa sebuah rumah di dekat kamp militan. Mereka bermalam di situ. Sampai hari pernikahan.

“Saya sulit membayangkan bagaimana bisa Anda mengundang orang luar masuk ke kamp militan….” kata saya kepada Umar.

“Jangan dibayangkan itu seperti barak militer,” ujar Umar. “Itu seperti kampung biasa. Kampung terbuka. Luas kampung itu seperti satu kecamatan di sini,” jawab Umar.

Pada hari perkawinan, Umar berhasil meyakinkan pimpinan kamp militan agar keamanan keluarga istrinya dijamin. Termasuk keamanan perasaan mereka. Salah satu caranya: menghapus adat yang bisa dianggap menakutkan.

Menurut Umar, di kamp itu perkawinan harus dilaksanakan dengan adat militan. Yakni, begitu mempelai selesai mengucapkan akad nikah, terdengarlah rentetan suara tembakan ke udara.

Baca Juga :  Lagu Sambo

“Jangan lakukan itu. Nanti keluarga istri saya takut,” pinta Umar.

Permintaan tersebut dipenuhi. Tidak ada tembakan ke udara.

Umar tidak lama di Filipina Selatan. Ia tidak aman. Sering jadi sasaran operasi militer. Beberapa kali juga Umar diberitakan tewas dalam sebuah operasi antiteror.

Ketika suasana tidak lagi aman, Umar meninggalkan Mindanao. Istri diajak serta. Umar menelusuri balik jalan ketika ia datang ke sana. Lewat Tawao (Sabah) ke Nunukan. Lalu, ke Tarakan dan ke Jakarta.

Tidak lama di Jakarta, Umar harus pergi ke Pakistan. Statusnya sudah buron teroris internasional. Kepalanya sudah seharga Rp 10 miliar. Amerika menjanjikan itu: barangsiapa bisa memberikan informasi tentang kebedaraan Umar Patek akan mendapat hadiah 1 juta dolar AS.

Umar pun harus mengurus paspor: di imigrasi Jakarta Timur. Pun, istrinya yang sebenarnya masih warga negara Filipina. Urusan paspor pun lancar. Pun istrinya, dapat paspor Indonesia. Waktu itu belum ada e-KTP.

Waktu mengurus paspor Umar menggunakan nama baru: Anis Ja’far Alawy. Ia pilih nama belakang Alawy berdasar pengalamannya selama di Afghanistan. Dengan nama belakang Alawy, urusan lancar. Itu nama yang sangat umum di sana –Pakistan, Iran, Irak, sampai Afghanistan. Yakni, nama yang memberikan asosiasi ke penganut Syiah.

Setelah mendapat paspor, Umar mengurus visa Pakistan di kedutaan Pakistan di Jakarta. Lancar. Sekali lagi, Alawy menjadi password-nya. Padahal, nama marga Umar yang asli adalah Bawazier. Baik dari bapak maupun ibunya.

Anda pun sudah tahu: Umar Patek ditangkap intelijen Amerika-Pakistan di Abbottabad. Itu tahun 2011.

Saya pernah ke Abbottabad. Sebelum Covid-19. Untuk ke Abbottabad itu, saya harus bermobil dari Islamabad ke arah timur laut. Melewati daerah miskin. Gersang. Bergunung. Kian ke timur laut kian tinggi pegunungannya.

Jalan raya itu, kalau terus ke timur laut, akan sampai di Provinsi Kunming, Tiongkok. Ada bus umum jurusan Pakistan–Tiongkok lewat Abbottabad.

Di Abbottabad tempat persembunyian Umar tidak jauh dari tempat persembunyian Osama bin Laden. Yakni, justru di dekat markas besar militer Pakistan. “Kian dekat markas militer kian aman,” ujar Umar.

Kali ini tidak aman. Umar tertangkap. Bersama istrinya. Mereka dikirim ke Indonesia untuk diadili.

Tiga bulan kemudian Osama bin Laden tertangkap di sana dan tewas.

Begitu keluar dari penjara Porong dua tahun lalu, Umar langsung ke makam ayah dan ibunya. Sang ayah meninggal ketika Umar di Afghanistan. Sedangkan sang ibu meninggal saat ia di Filipina Selatan.

“Dari mana nama belakang Patek itu?”

“Itu nama pemberian dari media Amerika,” jawabnya.

Namanya sendiri sebenarnya Umar bin bapaknya. Di kalangan teroris, ia dipanggil Pakde. Dari kata Pakde itulah jadi Patek. Kata Pakde bila diucapkan orang Amerika seperti berbunyi Patek. Jadilah nama Patek lebih dikenal di dunia.

Di kalangan keluarganya sendiri, Umar lebih dikenal sebagai Umar Kecil. Itu lantaran badannya yang memang kecil. Tingginya hanya 165 cm.

Dilihat dari tingginya, Umar terlihat kurang sehat. Lihat perutnya. Terlihat seperti kurang olahraga. Kurang identik dengan tubuh orang yang rajin olahraga. Jauh dari bisa disebut otentik tubuh seorang tokoh teroris dunia.(Dahlan Iskan)

“DULU meramu bom, kini meramu kopi”, judul Harian Disway kemarin.

Itulah Umar Patek –terpidana teroris Bom Bali. Kini ia punya brand kopi Ramu –coba Anda baca dari belakang, Anda akan tahu kenapa nama kopi itu Ramu.

Kopi Ramu diresmikan Selasa malam kemarin –saya diundang hadir. Saya dan Umar Patek duduk satu sofa di acara itu –sehingga bisa banyak ngobrol dengannya.

Kopi Ramu hadir di kompleks kafe Hedon Estate di daerah Ngagel, Surabaya. Pemilik Hedon, drg David Andreasmito, teman baik saya –juga teman baik banyak orang. Ia juga punya kafe yang tidak kalah hedonnya di Banyuwangi –juga dengan nama Hedon.

Segala macam mobil mewah dipajang di dua kafe itu –sekaligus sebagai showroom mobil-mobil koleksinya. Terlihat juga banyak moge yang selalu ditampilkan mengilap.

David seorang Kristen –meski saya lihat lebih ke kejawen. Saya punya beberapa teman Tionghoa berjiwa kejawen seperti David.

“Umar Patek sekarang punya usaha bisnis kopi dibantu seorang Kristen,” ujar Islah Bahrawi, pengamat terorisme terkemuka Indonesia. Itu menandakan Umar Patek sudah tidak radikal lagi.

Saya memang menghubungi Bahrawi. Saya bertanya kepadanya, di mana posisi Umar Patek dalam peta jaringan teroris dunia. Ia, katanya, golongan yang sudah insaf.

Drg David tahu Umar sudah dua tahun bebas dari penjara Porong, Sidoarjo. Ia sudah menjalani hukuman 10 tahun dari vonis 20 tahun. Ia boleh hidup di luar penjara. Dengan pengawasan. Saat itulah drg David ke rumahnya di Sidoarjo.

“Sudah punya pekerjaan apa?” tanya drg David.

“Masih menganggur. Tidak punya pekerjaan,” jawab Umar.

“Mau kerja?”

“Mau.”

“Bisa apa? Punya kemampuan apa?”

“Tidak punya kemampuan apa-apa,” jawabnya.

Tidak punya kemampuan apa-apa itu tidak sepenuhnya benar. Di tengah nganggurnya itu, ia bergabung dengan Galeri Makro. Yakni, perkumpulan orang-orang yang punya hobi memotret dengan teknik makro. Yakni, memotret objek yang amat kecil bisa terlihat besar. Misalnya, memotret serangga.

Umar tenggelam di hobi itu. Awalnya ia memotret pakai HP yang di kameranya ditambah kamera khusus: lensbong –lensa bongkaran. Arif Basuki yang mengajari Umar memotret makro.

“Mengajarinya dari nol. Sekarang Umar punya level 8,” ujar Arif.

Banyak anggota Galeri Makro yang ikut hadir di peresmian kopi Ramu. Termasuk ketuanya: Danny Andika –tim sukses Jenderal Andika saat nyalon gubernur Jateng tahun lalu. Mereka umumnya di level 9 dan 10.

Arif dan Denny, misalnya, sudah bisa hidup dari fotografi makro. Penghasilannya dolar. Banyak foto makronya yang diunggah di Instagram. Lalu, ada yang membeli. Seperti Denny, sudah lebih 1.000 foto yang diunggah di IG.

“Anda sudah mengunggah berapa foto di IG Anda?” tanya saya kepada Umar Patek.

“Sudah 300-an,” jawabnya.

Foto-foto makro karya Umar pun ditampilkan di layar di acara peresmian Ramu kemarin.

Saat ke rumah Umar Patek, David disuguhi kopi. Umar sendiri yang membuat kopi itu.

“Ini enak,” ujar David mengenang saat itu. “Kopi apa ini?” tanyanya.

“Ini kopi rempah,” jawab Umar. “Saya dapat resepnya dari ibu. Ibu dapat dari nenek,” jawab Umar.

Dari situlah ide kopi tersebut lahir: bikin kopi Ramu. David pun “menyekolahkan” Umar ke seorang temannya yang ahli sangrai. Semula teman itu tidak mau mengajar mantan teroris. Takut. David meyakinkannya.

Baca Juga :  Modul Digital

Penolakan seperti itulah yang dialami Umar selama dua tahun. Tidak bisa berhubungan dengan orang lain. Tidak bisa mendapat pekerjaan. Selalu ditolak orang.

Maka, ketika ada tawaran buka bisnis kopi di properti drg David, Umar kaget. Lalu, bertanya, apakah itu tidak akan membuat drg David sulit. Yang ditanya justru balik bertanya: apakah Umar mau. Terutama karena David seorang Kristen.

Mereka pun sepakat. Umar ingin menunjukkan sikap barunya. Tidak lagi ekstrem. “Bekerja sama dengan orang Kristen pun tidak apa-apa.”

Kini, di usia 59 tahun, Umar mulai usaha bisnis. Bahwa nama bisnis kopinya harus dibaca secara terbalik itu mengandung makna khusus: hidupnya sudah berbalik. Dari menyajikan kepahitan kepada umat manusia ke memberikan kebahagiaan lewat kopi ramuannya.

Di Sidoarjo kini Patek hidup berdua dengan istrinya. Mereka belum dikaruniai anak. Perkawinan itu sudah berumur 27 tahun.

Istri Umar adalah seorang putri sulung pendeta Kristen Katolik di Filipina. Keluarga istri itu tinggal di Kota General Santos.

Sang putri masih kelas II SMA negeri di General Santos. Dia masuk Islam. Ketika orang tua marah, dia justru “lari” ke basis Islam di dekat Kotabat –lima jam naik mobil dari General Santos. Dia meneruskan sekolah SMA di kamp militan Filipina Selatan.

Saat itu Umar sudah bergabung ke kelompok militan Islam di Moro. Begitu mendengar ada gadis yang baru saja lari ke kamp militan, Umar mengatakan ingin mengawini gadis itu. Padahal, Umar belum tahu namanyi. Belum tahu wajahnyi.

Umar langsung menghadap komandan kamp militan. Ia menyatakan ingin mengawini gadis itu. Meski belum melihat sendiri wajah si gadis, hatinya sudah terpikat.

“Saya di sini hanya guru, bukan orang tuanyi,” ujar komandan militan di kamp itu. “Kalau mau mengawininyi, harus datang ke orang tuanyi,” tambahnya.

Umar pun pergi ke General Santos. Ia menemui orang tua si gadis. Ia melamar.

“Bagaimana mau mengawininyi. Dia masih sekolah SMA,” reaksi sang ayah.

“Tidak akan mengganggu sekolah. Setelah pernikahan, seminggu kemudian boleh masuk sekolah lagi,” jawab Umar.

Setelah berhasil membuat calon mertua yakin, Umar mengajukan permintaan ke calon mertuanya itu. Yakni, agar mereka bersedia hadir dalam pernikahan mereka.

“Kami diminta hadir ke kamp militan? Mana bisa? Kami ini pendeta Kristen. Kami bisa dibunuh di sana,” ujar calon mertua.

Umar pun menjamin keamanan mereka. Maka, saat pernikahan itu, calon mertua datang lengkap dengan saudara-saudaranya. Juga, dua adik calon istrinya.

Umar menyewa sebuah rumah di dekat kamp militan. Mereka bermalam di situ. Sampai hari pernikahan.

“Saya sulit membayangkan bagaimana bisa Anda mengundang orang luar masuk ke kamp militan….” kata saya kepada Umar.

“Jangan dibayangkan itu seperti barak militer,” ujar Umar. “Itu seperti kampung biasa. Kampung terbuka. Luas kampung itu seperti satu kecamatan di sini,” jawab Umar.

Pada hari perkawinan, Umar berhasil meyakinkan pimpinan kamp militan agar keamanan keluarga istrinya dijamin. Termasuk keamanan perasaan mereka. Salah satu caranya: menghapus adat yang bisa dianggap menakutkan.

Menurut Umar, di kamp itu perkawinan harus dilaksanakan dengan adat militan. Yakni, begitu mempelai selesai mengucapkan akad nikah, terdengarlah rentetan suara tembakan ke udara.

Baca Juga :  Lagu Sambo

“Jangan lakukan itu. Nanti keluarga istri saya takut,” pinta Umar.

Permintaan tersebut dipenuhi. Tidak ada tembakan ke udara.

Umar tidak lama di Filipina Selatan. Ia tidak aman. Sering jadi sasaran operasi militer. Beberapa kali juga Umar diberitakan tewas dalam sebuah operasi antiteror.

Ketika suasana tidak lagi aman, Umar meninggalkan Mindanao. Istri diajak serta. Umar menelusuri balik jalan ketika ia datang ke sana. Lewat Tawao (Sabah) ke Nunukan. Lalu, ke Tarakan dan ke Jakarta.

Tidak lama di Jakarta, Umar harus pergi ke Pakistan. Statusnya sudah buron teroris internasional. Kepalanya sudah seharga Rp 10 miliar. Amerika menjanjikan itu: barangsiapa bisa memberikan informasi tentang kebedaraan Umar Patek akan mendapat hadiah 1 juta dolar AS.

Umar pun harus mengurus paspor: di imigrasi Jakarta Timur. Pun, istrinya yang sebenarnya masih warga negara Filipina. Urusan paspor pun lancar. Pun istrinya, dapat paspor Indonesia. Waktu itu belum ada e-KTP.

Waktu mengurus paspor Umar menggunakan nama baru: Anis Ja’far Alawy. Ia pilih nama belakang Alawy berdasar pengalamannya selama di Afghanistan. Dengan nama belakang Alawy, urusan lancar. Itu nama yang sangat umum di sana –Pakistan, Iran, Irak, sampai Afghanistan. Yakni, nama yang memberikan asosiasi ke penganut Syiah.

Setelah mendapat paspor, Umar mengurus visa Pakistan di kedutaan Pakistan di Jakarta. Lancar. Sekali lagi, Alawy menjadi password-nya. Padahal, nama marga Umar yang asli adalah Bawazier. Baik dari bapak maupun ibunya.

Anda pun sudah tahu: Umar Patek ditangkap intelijen Amerika-Pakistan di Abbottabad. Itu tahun 2011.

Saya pernah ke Abbottabad. Sebelum Covid-19. Untuk ke Abbottabad itu, saya harus bermobil dari Islamabad ke arah timur laut. Melewati daerah miskin. Gersang. Bergunung. Kian ke timur laut kian tinggi pegunungannya.

Jalan raya itu, kalau terus ke timur laut, akan sampai di Provinsi Kunming, Tiongkok. Ada bus umum jurusan Pakistan–Tiongkok lewat Abbottabad.

Di Abbottabad tempat persembunyian Umar tidak jauh dari tempat persembunyian Osama bin Laden. Yakni, justru di dekat markas besar militer Pakistan. “Kian dekat markas militer kian aman,” ujar Umar.

Kali ini tidak aman. Umar tertangkap. Bersama istrinya. Mereka dikirim ke Indonesia untuk diadili.

Tiga bulan kemudian Osama bin Laden tertangkap di sana dan tewas.

Begitu keluar dari penjara Porong dua tahun lalu, Umar langsung ke makam ayah dan ibunya. Sang ayah meninggal ketika Umar di Afghanistan. Sedangkan sang ibu meninggal saat ia di Filipina Selatan.

“Dari mana nama belakang Patek itu?”

“Itu nama pemberian dari media Amerika,” jawabnya.

Namanya sendiri sebenarnya Umar bin bapaknya. Di kalangan teroris, ia dipanggil Pakde. Dari kata Pakde itulah jadi Patek. Kata Pakde bila diucapkan orang Amerika seperti berbunyi Patek. Jadilah nama Patek lebih dikenal di dunia.

Di kalangan keluarganya sendiri, Umar lebih dikenal sebagai Umar Kecil. Itu lantaran badannya yang memang kecil. Tingginya hanya 165 cm.

Dilihat dari tingginya, Umar terlihat kurang sehat. Lihat perutnya. Terlihat seperti kurang olahraga. Kurang identik dengan tubuh orang yang rajin olahraga. Jauh dari bisa disebut otentik tubuh seorang tokoh teroris dunia.(Dahlan Iskan)

Terpopuler

Artikel Terbaru

/