34.8 C
Jakarta
Saturday, October 4, 2025

Batu Danantara

Umur Kementerian BUMN ternyata lebih pendek dari yang saya perkirakan. Saya pikir umurnya masih 15 hari sampai satu bulan. Ternyata hanya 10 hari dari tulisan Umur Pendek di Disway 22 September lalu, Kementerian BUMN sudah resmi bubar: 2 Oktober 2025. Hari itu DPR mengesahkan perubahan terbaru UU BUMN.

Kini istilah Kementerian BUMN tidak ada lagi di UU BUMN. Muncul penggantinya. Hanya setingkat badan: Badan Pengaturan BUMN. BP-BUMN.

Badan inilah yang memegang saham satu lembar di setiap perusahaan BUMN. Satu lembar itu disebut saham Merah Putih. Meski satu lembar punya hak veto. Bisa mengalahkan yang 99,99 persen.

Begitu kilat perubahan UU BUMN ini. Dalam setahun berubah dua kali. Yang pertama untuk melegalisasikan kelahiran Danantara. Yang kedua menghilangkan eksistensi Kementerian BUMN.

Perubahan pertama untuk membuat Kementerian BUMN tewas. Perubahan kedua untuk menguburkan mayatnya.

Kini kekuasaan mutlak pengelolaan BUMN ada di Danantara. Terkabullah keinginan lama menyatukan seluruh perusahaan BUMN.

BUMN yang tercerai berai itulah yang selama ini jadi alasan kenapa BUMN tidak maju. Tidak pernah bisa terjadi sinergi. Efisiensi tidak bisa tinggi. Sangat birokratis. Pengambilan putusan teramat lambat.

Kini semua itu sudah berlalu –seharusnya. Semua tergantung Danantara. Kini Danantara ibarat satu perusahaan konglomerat di Indonesia. Konglomerat terbesar. Mengalahkan Salim Group, Sinar Mas Group, Barito Pacific Group, dan grup apa pun di Indonesia.

Tentu Danantara tetap milik negara. Bukan milik pemerintah. Terutama bukan milik swasta. Dengan status milik negara bisakah Danantara sefleksible swasta. Apakah Danantara tidak sering-sering dipanggil DPR? Apakah keuangannya tidak harus diaudit Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK).

Seharusnya begitu. Ada anggapan dengan tidak diaudit BPK membuat Danantara lebih bebas melakukan korupsi. Seolah audit oleh BPK lebih hebat. Padahal kenyataannya tidak begitu. Audit oleh akuntan publik justru lebih sulit diajak ”kompromi”.

Baca Juga :  Cari Kelinci

Yang beranggapan diaudit BPK lebih ketat, pastilah tidak pernah merasakan sendiri bedanya diaudit BPK dan diaudit auditor swasta profesional. Apalagi auditor Danantara Group nanti harus yang disetujui BPK. Mestinya tidak ada masalah sama sekali.

Tentu tetap tidak mudah bagi Danantara untuk sefleksible grup Salim atau Barito Pacific. Di dalam Danantara kini ada hampir 1.100 perusahaan –termasuk anak, cucu, dan cicit. Dari 1.100 perusahaan itu 50 persennya dalam keadaan rugi. Yang berlaba besar hanya delapan perusahaan.

Maka secara teoretis lebih baik Danantara memiliki delapan perusahaan itu saja. Selebihnya bisa dijual. Tapi itu tidak mungkin. Danantara harus menerima BUMN apa adanya.

Lalu akan diapakan begitu banyak perusahaan?

Presiden Prabowo sepertinya sudah jengkel sampai ubun-ubun. Sampai akan mengerahkan KPK dan Kejaksaan Agung. Kesan yang mendalam di benak Presiden Prabowo adalah: begitu banyak korupsi dan pemborosan di BUMN. Tidak efisien. Return to asset-nya sangat rendah.

Kini Danantara harus menghilangkan ubun-ubun itu. Harusnya bisa. Pengelolaan BUMN sekarang lebih korporasi. Putusan bisa lebih cepat.

Dulu, untuk membubarkan perusahaan BUMN yang sudah mati pun tidak bisa. Harus izin DPR. Prosesnya panjang. Harus lewat menteri keuangan.

Membubarkan perusahaan –biar pun perusahaan itu sudah tidak beroperasi– dianggap sama dengan menghilangkan aset negara. Kementerian BUMN tidak punya hak menghapus aset. Harus minta persetujuan menteri keuangan. Menkeu tidak mungkin setuju. Menghapus aset sama dengan menghilangkan kekayaan negara.

Kalau pun menkeu setuju harus minta izin DPR. Itu bukan perkara mudah.

Baca Juga :  Pemenang Sementara

Maka sebenarnya ada lebih 50 perusahaan BUMN yang statusnya sudah mati. Hanya mayatnya yang belum dikubur.

Kini wewenang menguburkan mayat itu sepenuhnya ada di Danantara. Paling hanya perlu minta persetujuan BP-BUMN.

Masalahnya: apakah BP-BUMN berani menyetujuinya. Rasanya pola lama masih akan terulang: tidak ada pejabat di BP-BUMN yang berani menyetujui pembubaran itu.

Satu-satunya yang bisa melakukannya adalah presiden. Kalau presiden yang membubarkan maka pertanggungjawaban hukumnya di presiden. Presiden punya diskresi untuk itu. Pejabat di bawah presiden rasanya masih takut kalau-kalau suatu hari kelak dilaporkan ke KPK atau ke Kejaksaan Agung.

Maka, saran saya, Danantara segera membuat usulan: mana saja perusahaan yang harus dibubarkan. Mintakan ke presiden untuk membubarkan mereka. Agar Danantara tidak disibukkan oleh pekerjaan yang sama sekali tidak menghasilkan.

Demikian pula soal aset. BUMN memiliki aset terlalu besar –dan aset itu nganggur. Sebenarnya inilah yang menyebabkan return to asset BUMN itu rendah.

Baiknya semua aset nganggur dilepaskan dari masing-masing perusahaan. Aset itu disatukan di satu bank aset. Langsung di bawah Danantara. Dengan demikian return to asset perusahaan BUMN bisa lebih baik.

Tahap berikutnya kelak semua aset dipindahkan ke Danantara. Perusahaan BUMN sewa aset itu ke Danantara. Begitulah praktik di konglomerasi swasta.

Memang wewenang Danantara kini sangat sentral. Tapi tetap saja yang dikelola adalah aset negara. Menurut UU yang sudah direvisi pejabat Danantara tetap dianggap pejabat negara. Uang Danantara tetaplah uang negara. Bukan uang perusahaan.

Soal ”pejabat negara” dan ”uang negara” inilah dua batu besar yang harus ditabrak Danantara. Batunya yang pecah atau kepalanya yang pecah.(Dahlan Iskan)

Umur Kementerian BUMN ternyata lebih pendek dari yang saya perkirakan. Saya pikir umurnya masih 15 hari sampai satu bulan. Ternyata hanya 10 hari dari tulisan Umur Pendek di Disway 22 September lalu, Kementerian BUMN sudah resmi bubar: 2 Oktober 2025. Hari itu DPR mengesahkan perubahan terbaru UU BUMN.

Kini istilah Kementerian BUMN tidak ada lagi di UU BUMN. Muncul penggantinya. Hanya setingkat badan: Badan Pengaturan BUMN. BP-BUMN.

Badan inilah yang memegang saham satu lembar di setiap perusahaan BUMN. Satu lembar itu disebut saham Merah Putih. Meski satu lembar punya hak veto. Bisa mengalahkan yang 99,99 persen.

Begitu kilat perubahan UU BUMN ini. Dalam setahun berubah dua kali. Yang pertama untuk melegalisasikan kelahiran Danantara. Yang kedua menghilangkan eksistensi Kementerian BUMN.

Perubahan pertama untuk membuat Kementerian BUMN tewas. Perubahan kedua untuk menguburkan mayatnya.

Kini kekuasaan mutlak pengelolaan BUMN ada di Danantara. Terkabullah keinginan lama menyatukan seluruh perusahaan BUMN.

BUMN yang tercerai berai itulah yang selama ini jadi alasan kenapa BUMN tidak maju. Tidak pernah bisa terjadi sinergi. Efisiensi tidak bisa tinggi. Sangat birokratis. Pengambilan putusan teramat lambat.

Kini semua itu sudah berlalu –seharusnya. Semua tergantung Danantara. Kini Danantara ibarat satu perusahaan konglomerat di Indonesia. Konglomerat terbesar. Mengalahkan Salim Group, Sinar Mas Group, Barito Pacific Group, dan grup apa pun di Indonesia.

Tentu Danantara tetap milik negara. Bukan milik pemerintah. Terutama bukan milik swasta. Dengan status milik negara bisakah Danantara sefleksible swasta. Apakah Danantara tidak sering-sering dipanggil DPR? Apakah keuangannya tidak harus diaudit Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK).

Seharusnya begitu. Ada anggapan dengan tidak diaudit BPK membuat Danantara lebih bebas melakukan korupsi. Seolah audit oleh BPK lebih hebat. Padahal kenyataannya tidak begitu. Audit oleh akuntan publik justru lebih sulit diajak ”kompromi”.

Baca Juga :  Cari Kelinci

Yang beranggapan diaudit BPK lebih ketat, pastilah tidak pernah merasakan sendiri bedanya diaudit BPK dan diaudit auditor swasta profesional. Apalagi auditor Danantara Group nanti harus yang disetujui BPK. Mestinya tidak ada masalah sama sekali.

Tentu tetap tidak mudah bagi Danantara untuk sefleksible grup Salim atau Barito Pacific. Di dalam Danantara kini ada hampir 1.100 perusahaan –termasuk anak, cucu, dan cicit. Dari 1.100 perusahaan itu 50 persennya dalam keadaan rugi. Yang berlaba besar hanya delapan perusahaan.

Maka secara teoretis lebih baik Danantara memiliki delapan perusahaan itu saja. Selebihnya bisa dijual. Tapi itu tidak mungkin. Danantara harus menerima BUMN apa adanya.

Lalu akan diapakan begitu banyak perusahaan?

Presiden Prabowo sepertinya sudah jengkel sampai ubun-ubun. Sampai akan mengerahkan KPK dan Kejaksaan Agung. Kesan yang mendalam di benak Presiden Prabowo adalah: begitu banyak korupsi dan pemborosan di BUMN. Tidak efisien. Return to asset-nya sangat rendah.

Kini Danantara harus menghilangkan ubun-ubun itu. Harusnya bisa. Pengelolaan BUMN sekarang lebih korporasi. Putusan bisa lebih cepat.

Dulu, untuk membubarkan perusahaan BUMN yang sudah mati pun tidak bisa. Harus izin DPR. Prosesnya panjang. Harus lewat menteri keuangan.

Membubarkan perusahaan –biar pun perusahaan itu sudah tidak beroperasi– dianggap sama dengan menghilangkan aset negara. Kementerian BUMN tidak punya hak menghapus aset. Harus minta persetujuan menteri keuangan. Menkeu tidak mungkin setuju. Menghapus aset sama dengan menghilangkan kekayaan negara.

Kalau pun menkeu setuju harus minta izin DPR. Itu bukan perkara mudah.

Baca Juga :  Pemenang Sementara

Maka sebenarnya ada lebih 50 perusahaan BUMN yang statusnya sudah mati. Hanya mayatnya yang belum dikubur.

Kini wewenang menguburkan mayat itu sepenuhnya ada di Danantara. Paling hanya perlu minta persetujuan BP-BUMN.

Masalahnya: apakah BP-BUMN berani menyetujuinya. Rasanya pola lama masih akan terulang: tidak ada pejabat di BP-BUMN yang berani menyetujui pembubaran itu.

Satu-satunya yang bisa melakukannya adalah presiden. Kalau presiden yang membubarkan maka pertanggungjawaban hukumnya di presiden. Presiden punya diskresi untuk itu. Pejabat di bawah presiden rasanya masih takut kalau-kalau suatu hari kelak dilaporkan ke KPK atau ke Kejaksaan Agung.

Maka, saran saya, Danantara segera membuat usulan: mana saja perusahaan yang harus dibubarkan. Mintakan ke presiden untuk membubarkan mereka. Agar Danantara tidak disibukkan oleh pekerjaan yang sama sekali tidak menghasilkan.

Demikian pula soal aset. BUMN memiliki aset terlalu besar –dan aset itu nganggur. Sebenarnya inilah yang menyebabkan return to asset BUMN itu rendah.

Baiknya semua aset nganggur dilepaskan dari masing-masing perusahaan. Aset itu disatukan di satu bank aset. Langsung di bawah Danantara. Dengan demikian return to asset perusahaan BUMN bisa lebih baik.

Tahap berikutnya kelak semua aset dipindahkan ke Danantara. Perusahaan BUMN sewa aset itu ke Danantara. Begitulah praktik di konglomerasi swasta.

Memang wewenang Danantara kini sangat sentral. Tapi tetap saja yang dikelola adalah aset negara. Menurut UU yang sudah direvisi pejabat Danantara tetap dianggap pejabat negara. Uang Danantara tetaplah uang negara. Bukan uang perusahaan.

Soal ”pejabat negara” dan ”uang negara” inilah dua batu besar yang harus ditabrak Danantara. Batunya yang pecah atau kepalanya yang pecah.(Dahlan Iskan)

Terpopuler

Artikel Terbaru