Tayangan gambar “banteng ketaton” sempat mendominasi kanan-kiri panggung perhelatan besar PDI-Perjuangan di Sanur, Bali. Pekan lalu. Itu memang menggambarkan kondisi riil partai itu.
“Banteng terluka” yang di kanan bisa mewakili peristiwa luka yang menimpa sekjen partai, Hasto Kristiyanto. Gambar di kiri bisa mewakili luka yang ditimbulkan oleh proses pencalonan presiden di pilpres tahun lalu.
Sebenarnya kurang satu lagi “banteng terluka”-nya: mewakili luka yang lebih luas. Yakni masuknya secara total keluarga Jokowi ke Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Partai yang kini berlambang kepala gajah itu akan otomatis mengganggu banteng secara serius.
Memang tetap akan jadi perdebatan: siapa yang sebenarnya lebih terluka. Bisa saja Jokowi dan keluarga yang merasa lebih terluka: dipecat dari PDI-Perjuangan. Bisa juga PDI-Perjuangan yang terluka karena merasa dikhianati Presiden Jokowi.
Semua itu kini sudah menjadi masa lalu.
Masing-masing terlihat sudah mulai membenahi masa depan.
PSI sudah berkongres. Pun PDI-Perjuangan. Perhelatan di Sanur langsung pindah menyeberangi Benoa ke Nusa Dua. Dari acara bimbingan teknis di Sanur ke kongres dadakan di Nusa Dua. Dua-duanya bersentral di figur. Jokowi di PSI dan Megawati di PDI-Perjuangan.
Kalau pun massa nasionalis akan terpecah ke kedua partai kita akan bisa dengan mudah menggambarkannya. PDI-Perjuangan akan lebih didominasi oleh marhaenis ideologis. Sedangkan marhaenis yang pragmatis akan ikut Jokowi ke PSI.
Dua-duanya tidak mudah. Waini jualan ideologi tidak begitu laku lagi. Sedangkan yang pragmatis bisa seperti kutu loncat: tidak bisa dipegang ekornya.
Kelihatannya PDI-Perjuangan akan kembali ke lapangan perjuangan: lebih mengandalkan kader-kader militan. Seperti di awal kebangkitan PDI-Perjuangan dulu.
Waktu itu Megawati adalah “banteng ketaton”. Lukanya lebar menganga. Tanpa punya biaya untuk membeli perban. Waktu itu bantengnya masih muda berotot. Maka berhasil memenangkan pertarungan.
PDI-Perjuangan pun berkuasa.
Luka menganga itu pun sudah lama hilang. Bantengnya punya waktu untuk tumbuh lebih gemuk. Subur. Makmur.
Sepuluh tahun menjadi pemerintah banyak yang berubah.
Kenyataan besarnya: ketika kini benteng itu terluka lagi, zaman sudah berubah. Kader-kader militan di masa lalu sudah menua. Banyak juga yang sudah “realistis”. Banyak yang pindah kandang.
Sedangkan “militan baru” belum lagi lahir. Partai ini seperti agak jauh dari anak muda.
Memang masih ada yang tetap terlihat militan. Misalnya Adian Napitupulu –baru saja diangkat sebagai wakil sekjen bidang komunikasi.
Masih ada juga orang hebat seperti Said Abdullah dari Sumenep. Said baru saja diangkat jadi ketua bidang sumber daya. Tapi sudah ada yang jauh dari garis itu. Misalnya: banyak. Salah satunya, Cak Basuki dari Surabaya.
Rasanya perhelatan besar di Bali sejak Sabtu lalu banyak membahas kenyataan itu: mungkinkah PDI-Perjuangan kembali ke khitah-nya. Yakni jadi partai militan ideologis.
Ini sungguh tantangan yang amat besar. Terutama di saat usia Megawati sudah 74 tahun.
Tokoh militan seperti Bambang Wuryanto –lebih dikenal sebagai Bambang Pacul– ternyata masih dianggap tergolong militan. Masih didudukkan sebagai ketua bidang pemenangan Pemilu. Padahal Bambang disebut-sebut kurang militan lagi di saat Pilgub Jateng: calon gubernur PDI-Perjuangan, Jenderal Andika Perkasa kalah telak.
Usia Bambang Pacul juga sudah tidak muda lagi. Tahun depan sudah 70 tahun. Maka jabatan pemenangan Pemilu tidak sepenuhnya di tangan Bambang Pacul. Khusus untuk pemenangan di pilkada ada wakil ketua umum sendiri: Deddy Sitorus.
Ahok, Ganjar Prabowo, Azwar Anas, Bu Risma, Ribka Ciptaning juga masuk di jajaran wakil ketua umum. Ribca adalah produk militan lama. Selebihnya adalah militan yang lebih belakangan.
Memang ada Puan dan Prananda yang militan lebih muda. Kabar baiknya: keduanya sudah terlihat berangkulan. Tapi mereka belum jadi simbol pejuang militan –yang dalam istilah lama disebut “pasukan bawah tanah”.
Sulit membayangkan dua tokoh itu bisa kembali ke bawah tanah: menghadapi penderitaan hidup –secara fisik maupun ekonomi.
Tentu Puan masih ingat derita yang dialami Mega –ibunyi. Zaman itu saya beberapa kali satu mobil dengan Puan –yang masih terlihat remaja, berada di mobil bagian belakang konvoi Megawati. Dia tahu persis penderitaan ibunyi. Tapi itu sudah lama sekali. Apakah Puan masih bisa kembali ke masa nan lalu seperti itu.
PDI-Perjuangan rupanya lagi memerlukan identitas baru. “Banteng Ketaton” rupanya akan jadi identitas baru itu.(Dahlan Iskan)