28.9 C
Jakarta
Friday, June 6, 2025

大同 Timur

Sambil menatap patung Budha di atas gunung di Shanxi, konsentrasi pikiran saya ke pusat riset kereta 1000 km/jam. Di manakah gerangan? Begitu sulit cari informasi. Saya ingin tahu apakah benar Tiongkok akan membangun jaringan kereta yang lebih cepat dari pesawat Boeing 777.

Waktu untuk mencari kian sempit. Dua hari sudah terlewatkan dengan hampa. Besok sudah harus kembali ke Beijing. Tinggal punya waktu sore itu. Atau besok paginya.

Kesabaran masa kini pun membuahkan hasil. Di gunung itu saya dipertemukan dengan seorang sopir. Ia biasa mengantar turis. Ia tidak bisa berbahasa Inggris. Tapi bahasa Mandarinnya mudah dipahami: tidak tercampur logat daerah.

Ia tahu di mana pusat riset itu!

Ia lulusan ”IKIP” di kota Datong. Ia lahir dan besar di kota itu. Ia bangga dengan Datong. Ia bercerita bahwa Datong pernah jadi ibu kota salah satu kekaisaran di Tiongkok.

Buktinya: tembok kota tuanya yang sangat luas itu.

“Di mana lokasi pusat riset itu?”

“Jauh sekali. Di luar kota. Dua jam dari kota Datong,” jawabnya.

Saya pun berhitung waktu: pulang pergi empat jam. Sempat. Harus. Itulah tujuan utama saya ke Datong. Kalau perlu tunda kepulangan ke Beijing. Atau geser ke kereta cepat yang lebih petang.

Satu setengah juta rupiah lagi hilang. Itulah yang ia minta untuk mengantar saya ke sana.

Maka pagi-pagi kami berkendara ke arah timur. Mobilnya seperti Innova, merknya Buick. Sebelum Tiongkok mampu memproduksi mobil sendiri mobil Amerika seperti Buick sangat laris di sana.

Baca Juga :  Catat Sejarah

Di sepanjang jalan kami ngobrol apa saja. Saya banyak bertanya tentang yang saya lihat: petani yang lagi menggarap tanah itu akan tanam apa.

“Mereka akan tanam kentang”.

“Kalau yang di sana…?”

“Kentang”.

“Di lereng gunung itu?”

“Kentang”.

“Kentang untuk apa saja?”

“Untuk mi. Mi kentang. Di sini masakan mi-nya terkenal. Harus coba,” katanya.

Kami terus melaju ke arah timur. Sudah lebih 100 km. Jalannya aspal bagus. Kecil. Satu mobil ke arah sana, satu mobil ke arah sini. Sepanjang perjalanan hanya ada kentang dan kebun buah –mirip apel tapi kecil-kecil.

“Dari mana ni tahu lokasi pusat riset ini? Kan jauh sekali. Di pelosok sekali…”.

“Wo pernah antar tamu ke dekat situ,” jawabnya.

“Women sudah dekat?”

”Sudah dekat”.

Di depan sana ada pertigaan. Ia belok kanan. Kami memasuki jalan besar dan lapang. Dua jalur. Masing-masing dua lajur. Tertanam barisan pohon di pemisah jalan, di kanan dan di kiri jalan. Sepi. Rapi.

Saya baca di gerbangnya: kawasan industri.

Ups… Di tempat begini pelosok ada kawasan industri. Masih baru. Sepi. Belum banyak pabrik berdiri. Salah satu yang terlihat besar adalah pabrik dari Jerman: Kohler.

Setelah membelah kawasan industri itu, mobil belok kiri. Ke jalan baru. Lebarnya empat lajur.

Di kanan jalan baru inilah terlihat ada benda sebesar gerbong kereta api memanjang panjang sekali. Warnanya seperti warna alumunium. Mungkin sebenarnya lebih besar dari kereta api hanya saja terlihat agak kecil karena posisinya agak jauh dari jalan.

Baca Juga :  Jembatan Merah

“Itu, yang panjang itu” katanya.

Saya pun memotret. Memvideo. Dari posisi agak jauh.

Benda itu adalah terowongan. Di atas tanah. Bukan terowongan bawah tanah. Panjangnya sekitar 2 km.

Terowongan itu kedap udara. Kalau ujung-ujungnya ditutup rapat dan udara di dalamnya disedot tidak ada udara di terowongan itu.

Berarti terowongan tersebut terbuat dari material yang amat kuat. Terutama kuat terhadap perbedaan yang atas tekanan udara.

Di dalam terowongan tanpa udara seperti itu kereta bisa melaju dengan kecepatan 1.000 km/jam. Apalagi roda keretanya tidak menempel di rel. Roda itu sedikit melayang di atas rel.

Saya memang tidak bisa masuk ke pusat riset itu. Tidak sempat urus izin. Setidaknya saya tahu di situlah riset besar ini dilakukan. Berarti benar adanya.

Di atas kantor pusatnya tertera huruf-huruf besar. Bunyinya: 高铁飞 试验基地.

Tidak lama saya di pusat riset kereta melayang itu. Lalu balik ke Datong. Kejar kereta balik ke Beijing.

Saya juga masih ingin melakukan riset yang lain: seperti apa rasanya mi terbuat dari kentang. Risetnya dua sekaligus: mi lebar yang disajikan dengan kuah dingin dan mi kenyal yang diberi sop panas.

Hasilnya: tanpa uji forensik pun pasti enaknya.(Dahlan Iskan)

Sambil menatap patung Budha di atas gunung di Shanxi, konsentrasi pikiran saya ke pusat riset kereta 1000 km/jam. Di manakah gerangan? Begitu sulit cari informasi. Saya ingin tahu apakah benar Tiongkok akan membangun jaringan kereta yang lebih cepat dari pesawat Boeing 777.

Waktu untuk mencari kian sempit. Dua hari sudah terlewatkan dengan hampa. Besok sudah harus kembali ke Beijing. Tinggal punya waktu sore itu. Atau besok paginya.

Kesabaran masa kini pun membuahkan hasil. Di gunung itu saya dipertemukan dengan seorang sopir. Ia biasa mengantar turis. Ia tidak bisa berbahasa Inggris. Tapi bahasa Mandarinnya mudah dipahami: tidak tercampur logat daerah.

Ia tahu di mana pusat riset itu!

Ia lulusan ”IKIP” di kota Datong. Ia lahir dan besar di kota itu. Ia bangga dengan Datong. Ia bercerita bahwa Datong pernah jadi ibu kota salah satu kekaisaran di Tiongkok.

Buktinya: tembok kota tuanya yang sangat luas itu.

“Di mana lokasi pusat riset itu?”

“Jauh sekali. Di luar kota. Dua jam dari kota Datong,” jawabnya.

Saya pun berhitung waktu: pulang pergi empat jam. Sempat. Harus. Itulah tujuan utama saya ke Datong. Kalau perlu tunda kepulangan ke Beijing. Atau geser ke kereta cepat yang lebih petang.

Satu setengah juta rupiah lagi hilang. Itulah yang ia minta untuk mengantar saya ke sana.

Maka pagi-pagi kami berkendara ke arah timur. Mobilnya seperti Innova, merknya Buick. Sebelum Tiongkok mampu memproduksi mobil sendiri mobil Amerika seperti Buick sangat laris di sana.

Baca Juga :  Catat Sejarah

Di sepanjang jalan kami ngobrol apa saja. Saya banyak bertanya tentang yang saya lihat: petani yang lagi menggarap tanah itu akan tanam apa.

“Mereka akan tanam kentang”.

“Kalau yang di sana…?”

“Kentang”.

“Di lereng gunung itu?”

“Kentang”.

“Kentang untuk apa saja?”

“Untuk mi. Mi kentang. Di sini masakan mi-nya terkenal. Harus coba,” katanya.

Kami terus melaju ke arah timur. Sudah lebih 100 km. Jalannya aspal bagus. Kecil. Satu mobil ke arah sana, satu mobil ke arah sini. Sepanjang perjalanan hanya ada kentang dan kebun buah –mirip apel tapi kecil-kecil.

“Dari mana ni tahu lokasi pusat riset ini? Kan jauh sekali. Di pelosok sekali…”.

“Wo pernah antar tamu ke dekat situ,” jawabnya.

“Women sudah dekat?”

”Sudah dekat”.

Di depan sana ada pertigaan. Ia belok kanan. Kami memasuki jalan besar dan lapang. Dua jalur. Masing-masing dua lajur. Tertanam barisan pohon di pemisah jalan, di kanan dan di kiri jalan. Sepi. Rapi.

Saya baca di gerbangnya: kawasan industri.

Ups… Di tempat begini pelosok ada kawasan industri. Masih baru. Sepi. Belum banyak pabrik berdiri. Salah satu yang terlihat besar adalah pabrik dari Jerman: Kohler.

Setelah membelah kawasan industri itu, mobil belok kiri. Ke jalan baru. Lebarnya empat lajur.

Di kanan jalan baru inilah terlihat ada benda sebesar gerbong kereta api memanjang panjang sekali. Warnanya seperti warna alumunium. Mungkin sebenarnya lebih besar dari kereta api hanya saja terlihat agak kecil karena posisinya agak jauh dari jalan.

Baca Juga :  Jembatan Merah

“Itu, yang panjang itu” katanya.

Saya pun memotret. Memvideo. Dari posisi agak jauh.

Benda itu adalah terowongan. Di atas tanah. Bukan terowongan bawah tanah. Panjangnya sekitar 2 km.

Terowongan itu kedap udara. Kalau ujung-ujungnya ditutup rapat dan udara di dalamnya disedot tidak ada udara di terowongan itu.

Berarti terowongan tersebut terbuat dari material yang amat kuat. Terutama kuat terhadap perbedaan yang atas tekanan udara.

Di dalam terowongan tanpa udara seperti itu kereta bisa melaju dengan kecepatan 1.000 km/jam. Apalagi roda keretanya tidak menempel di rel. Roda itu sedikit melayang di atas rel.

Saya memang tidak bisa masuk ke pusat riset itu. Tidak sempat urus izin. Setidaknya saya tahu di situlah riset besar ini dilakukan. Berarti benar adanya.

Di atas kantor pusatnya tertera huruf-huruf besar. Bunyinya: 高铁飞 试验基地.

Tidak lama saya di pusat riset kereta melayang itu. Lalu balik ke Datong. Kejar kereta balik ke Beijing.

Saya juga masih ingin melakukan riset yang lain: seperti apa rasanya mi terbuat dari kentang. Risetnya dua sekaligus: mi lebar yang disajikan dengan kuah dingin dan mi kenyal yang diberi sop panas.

Hasilnya: tanpa uji forensik pun pasti enaknya.(Dahlan Iskan)

Terpopuler

Artikel Terbaru

/