Sungguh piawai yang mengatur abolisi pada Tom Lembong dan amnesti untuk Hasto Kristiyanto ini: hampir pasti orang itu bernama Sufmi Dasco Ahmad.
Dasco-lah yang mengumumkan bahwa ”DPR sudah menyetujui usul presiden” untuk amnesti dan abolisi itu. Dasco adalah wakil ketua DPR. Juga wakil ketua umum Partai Gerindra.
Menurut UU, Presiden memang harus lebih dulu mengirim usulan ke DPR untuk memberi amnesti dan abolisi. Setelah DPR setuju, presiden akan mengeluarkan Keppres amnesti dan abolisi.
Publik begitu puas atas usulan abolisi Presiden Prabowo untuk Tom Lembong. Tidak satu pun suara sumbang yang muncul. Bahkan tokoh seperti Prof Mahfud MD, lewat ”Titik Terang”-nya memuji Prabowo begitu tinggi.
Kepiawaian Dasco pun terlihat dari caranya mengatur agar Hasto Kristiyanto dapat amnesti. Bukan abolisi. Rupanya Dasco tahu persis posisi publik Hasto tidak sama dengan Tom Lembong. Maka kalau abolisi diberikan hanya kepada satu orang Tom Lembong amnesti diberikan kepada 1.116 orang. Hasto hanya salah satu dari 1.116 itu –kita belum tahu siapa yang 1.115 orang.
Presiden biasanya memang memberi potongan khusus hukuman penjara bagi para narapidana yang berkelakuan baik. Yakni tiap menjelang Hari Kemerdekaan 17 Agustus. Tapi ini kan masih 1 Agustus. Apakah paket 1.116 itu adalah hadiah 17 Agustus yang dimajukan.
Amnesti biasanya diberikan kepada narapidana politik atau yang terkait dengan politik. Sedang ”Hadiah 17 Agustus” biasanya untuk narapidana biasa. Maka tetap bikin kepo siapa saja mereka yang 1.115 itu: adakah terkait dengan golongan kiri dan kanan yang ada di dalam penjara.
Bahwa salah satunya adalah sekjen partai besar PDI-Perjuangan, bisa saja dikait-kaitkan dengan politik. Atau tawar menawar politik.
Hanya beberapa jam setelah pengumuman amnesti, PDI-Perjuangan mengeluarkan penegasan: seluruh kader partai harus mendukung Presiden Prabowo.
Pasti PDI-Perjuangan sangat hore atas pemberian amnesti untuk sekjen mereka itu. Timing-nya yang begitu tepat –seperti tepatnya tanggal gajian anggota DPR. Yakni tepat di saat Ketua Umum PDI-Perjuangan Megawati Soekarnoputri membuka perhelatan besar partai itu di Bali.
Awalnya tiga hari sebelum perhelatan diharapkan Hasto divonis bebas oleh pengadilan. Keesokan harinya bisa terbang ke Bali. Bisa ikut hadir di perhelatan besar itu.
Skenario awal ini ternyata agak berantakan. Ternyata Hasto divonis 3,5 tahun penjara. Maka suasana awal perhelatan Bali pun berubah menjadi murung. Sedih. Campur jengkel. Marah.
Di saat seperti itulah berita amnesti tersiar. Betapa berubah suasana perhelatan Bali. Tinggal apakah Hasto sempat bergabung dan merayakan amnestinya di Bali. Apakah pengurusan administrasi amnesti bisa beres dalam hitungan jam. Atau apa salahnya perhelatan Bali yang diperpanjang satu hari.
Apalagi kalau perhelatan itu jadi belok kanan di tengah jalan: agenda yang awalnya bimbingan teknis partai, menjadi Kongres partai. Toh semua utusan Kongres ada di forum Bimtek itu.
Kalau pun Hasto tidak sempat hadir, toh yang diputuskan dalam Kongres hanya satu: mengukuhkan kembali Megawati sebagai ketua umum partai. Sekaligus formatur yang akan menyusun pengurus lengkap pimpinan pusat partai. Hampir pasti Hasto akan diangkat kembali sebagai sekjen –sebagai strategi ‘banteng ketaton’ PDI-Perjuangan: banteng yang sedang terluka.
Presiden Prabowo begitu piawai. Kalau pun ada suara miring atas amnesti Hasto sudah tertutup oleh bulat-bundarnya kepuasan publik atas abolisi untuk Tom Lembong.
Memang begitu marahnya publik atas dijeratnya mantan menteri perdagangan itu. Tokoh-tokoh moral turun semua: membela Tom Lembong. Tokoh-tokoh nasional. Di segala bidang.
Lembong tidak menerima uang sepeser pun dari keputusannya menyetujui impor gula putih. Para menteri sebelumnya juga melakukan hal yang sama: kenapa hanya Lembong yang dijerat perkara. Bahkan yang sebelumnya itu belum diuji apakah tidak terima uang seperti Lembong.
Juga tidak ada motif jahat apa pun di balik keputusan Lembong. Tidak ada mens rea. Satu-satunya kesalahan, menurut hakim, hanyalah karena keputusan Tom Lembong itu ”memperkaya orang lain” –pasal yang sangat mencelakakan.
Kalau pasal itu yang dipakai bukankah semua pejabat harus masuk penjara. Tidak hanya Tom Lembong yang ”memperkaya orang lain”. Semua tender proyek pasti akan ”memperkaya orang lain”.
Begitu sesat peradilan Tom Lembong. Lulusan Harvard, ahli perbankan kelas dunia, bisa kerja enak di negara mana pun, begitu mengabdi ke negara sendiri justru dijerat perkara.
Maka tidak sulit menghubung-hubungkannya: hanya karena Tom Lembong secara politik berada di seberang yang lagi berkuasa saat itu.
Di lain pihak, Hasto berada di waktu yang tepat. Tepat ketika Lembong dapat dukungan seluas Samudera Hindia. Nama Hasto diucapkan dalam satu kalimat dengan Tom Lembong. Hasto sendiri yakin perkaranya itu sepenuhnya perkara politik. Prof Mahfud pun berpendapat seperti itu.
Tom Lembong sendiri juga masih tergolong beruntung. Perkaranya terjadi di waktu ketika Presiden Prabowo berkuasa.
Banyak orang lain yang sebenarnya tidak jauh dari yang dialami Tom Lembong dan Hasto. Tapi mereka tidak berada di waktu yang tepat. Misalnya: Lin Cei Wei.
Tom Lembong tentu sempat sedih. Reputasinya dirusak begitu dahsyat. Orang seperti ia tidak bisa banyak balas dendam. Tidak ada aturan untuk menuntut hak apa pun bagi orang yang bernasib seperti Lembong dan Hasto. Maksimal hanya mengusap dada: nasib! (DAHLAN ISKAN)