Setelah jalan bareng keliling kampus, saya diajak Prof Mun’im Sirry ke kantornya. Di lantai tiga. Di gedung jurusan teologi.
Lokasi gedung teologi dekat gedung rektorat yang ikonik. Saya berfoto dengan Prof Mun’im di depannya. Kebetulan ada mahasiswi S-2 asal Iran. Berjilbab. Dia berteman dengan istri Mun’im. Kami ajak dia berfoto sekalian. Yang memotret wanita berjilbab asal Kabul, Afghanistan.
Di latar belakang kami ada patung Yesus. Kecil. Sebesar ukuran badan manusia. Di kejauhan sana, di puncak dome gedung rektorat terlihat patung Bunda Maria. Tinggi sekali. Jauh lebih besar dari patung Yesus.
Yang seperti ini hanya ada di lingkungan Katolik. Tidak akan ada di dunia Kristen Protestan. Itu memang kampus universitas Katolik, Notre-Dame, di Indiana. Kesan sekilas: Bunda Maria lebih dibesarkan dibanding Yesus.
Saya pun naik ke lantai tiga gedung teologi. Sepi. Perkuliahan libur. Tapi para pengajar seperti Prof Mun’im tetap harus masuk. Setiap hari.
Dinding-dinding kantor Prof Mun’im penuh buku. Penuh sekali. Dinding kiri buku-buku pemikiran keagamaan berbahasa Inggris. Agama apa saja. Di dinding sebelah kanan semua buku berbahasa Arab. Banyak juga berbagai kitab tafsir Alquran.
Prof Mun’im punya buku baru. Setebal bantal. Berbahasa Arab. Langka. Ditulisnya tahun 1930-an tapi baru diterbitkan tahun 2000-an. Itu disengaja. Penulisnya sudah berwasiat agar buku tersebut diterbitkan setelah ia meninggal dunia.
Penulisnya orang Iraq. Ulama. Penerbitnya: Lebanon. Isinya: sejarah Nabi Muhammad versi penulis tersebut.
“Di buku ini Nabi Muhammad digambarkan sebagai manusia biasa yang hebat. Bukan manusia yang ‘ajaib’ yang memiliki keistimewaan keajaiban dari Tuhan.
“Apakah isinya negatif,” tanya saya.
“Tidak. Tapi akan menghebohkan,” jawab Prof Mun’im. “Masyarakat kita belum akan bisa menerima buku seperti itu,” katanya.
Mun’im punya keinginan menerjemahkannya. Ke dalam bahasa Indonesia. Dengan segala risikonya. Ia pernah mengambil risiko yang lebih besar (lihat Disway:Ahli Tafsir).
Prof Mun’im sudah 14 tahun di Notre-Dame. Satu-satunya orang Islam di jurusan teologinya. Ia tidak tahu akan berapa tahun lagi. Ia kerasan di situ. Ia bangga bisa jadi dosen pembimbing di universitas Katolik ini. Prestasi Notre-Dame, katanya, sangat tinggi.
“Jurusan teologi kami terbaik di dunia,” ujar Mun’im. Ia jadi direktur di salah satu programnya. Yakni program kajian “agama-agama dunia dan gereja-gereja di dunia”
Pernah berturut-turut ranking satu dunia. Sesekali tergeser Harvard tapi naik lagi ke nomor satu.
Di program yang ia pimpin tidak membahas Katolik. Ini universitas Katolik. Khusus untuk Katolik sudah ada jurusan tersendiri. Bahkan ada seminarinya.
Mahasiswa jurusan non agama di Notre-Dame wajib ambil mata kuliah kekatolikan di semester awal. Ini mirip sekolah-sekolah Muhammadiyah di NTT. Siswa Katolik pun harus ikut pelajaran dasar kemuhammadiyahan.
“Suasana belajar dan mengajar di sini mirip sekali dengan di pesantren,” katanya. Itulah rupanya yang membuat ia kerasan. Dari belajar di pesantren di Prenduan, Sumenep, ke mengajar di Notre-Dame, Indiana, Amerika.
Salah satu mata kuliah di programnya adalah ilmu Alquran. Tanpa Iman. Artinya Alquran di sini dipelajari sebagai ilmu seperti ilmu pada umumnya.
Mahasiswa tentu sering mempersoalkan is Alquran, ‘apa buktinya’. Pertanyaan seperti itu tidak hanya diajukan untuk kajian Alquran tapi juga kitab-kitab suci lainnya.
Sudah banyak buku karya ulama muda asal Sumenep, Madura, ini. Buku barunya yang segera terbit adalah kamus Alquran. Penyusunnya tiga orang profesor –yang dua ahli Alquran bukan Muslim. Keduanya berbahasa Arab dengan sangat baik.
Penyusunan kamus ini juga tidak diwarnai rasa Iman. Ini kamus ilmiah bagi yang ingin studi Alquran. Maka mereka bertiga sepakat dulu: kamus itu tidak diwarnai opini atau perasaan masing-masing.
“Ini kamus Alquran menurut Alquran sendiri,” ujar Prof Mun’im.
Misalnya di Alquran disebut kata Yasrib. Itu, menurut Alquran apa artinya. Mereka sepakat Yasrib adalah nama kota yang sekarang disebut Madinah. Kamus itu disusun untuk memudahkan para peneliti Alquran di universitas.
Saya lantas bercerita: dulu ada anak jenius dari Surabaya kuliah di Notre-Dame. Namanyi: Audry.
“Saya tidak tahu dia ambil jurusan apa,” kata saya.
“Tionghoa? Berkaca mata tebal?”
“Iya. Benar sekali”.
“Dia mahasiswi saya di jurusan teologi,” ujar Prof Mun’im. “Sudah lama tamat,” tambahnya.
Kami pun berjalan menuju perpustakaan universitas. Besar dan lapang. Maya menunggu di situ. Dia membaca buku sambil bekerja di laptopnyi. Maya tidak ikut perbincangan kami yang berat-berat soal teologi.
“Dapat tiga distributor,” ujar Maya sambil mengembalikan buku ke rak perpustakaan.
Dasar pengusaha. Di mana pun berusaha jualan. Dia lagi semangat-semangatnya jualan kripik tempe. Dia punya pabrik tempe. Punya produk kripik tempe.
Tiga distributor baru yang dia sebutkan tadi jauh-jauh: di Chicago dan Michigan.
Maya seperti Adi Susilo juga –yang jauh-jauh kuliah di Jerman dapat istri se-kampung (lihat Disway 26 Mei 2025: Istri Sekampung). Pun Maya. Jauh-jauh kuliah computer science di Purdue University akhirnya jualan tempe –makanan kesukaannyi saat masih di kampungnya di Bogor.(Dahlan Iskan)