Tas Lebaran
Foto bersama cucu di depan tambak yang ada di kompleks PLTU di Lombok Timur.–
Suara takbir dari kampung sebelah itu terdengar sayup.
Ini Lombok Timur. Hujan menggutus di malam lebaran. Sudah lama. Sejak lepas tengah hari. Sejak saya merapat di dermaga Kayangan –baru tiba dari Pulau Moyo.
Pun sampai menjelang berbuka puasa, hujan belum berhenti. Lombok Timur sangat basah. Azan magrib terasa lebih lambat datang. Penantian saat berbuka terasa lebih lama.
Ikan bakar di atas panggangan itu terasa mengejek kami yang sudah lama menanti. Ejekannya terasa kejam. Ikan itu terlalu besar. Mulutnya menganga –bisa dimasuki bola tenis. Aroma bakarnya kian membuat perut melilit: ikan kerapu. Belum pernah melihat kerapu sebesar ini. Kerapu segar. Seberat 12 kg.
“Dari mana kerapu raksasa ini,” tanya saya.
“Dari situ,” jawabnya sambil menunjuk laut di sebelah tempat saya menginap ini. “Tadi mancing di sana,” tambahnya.
Hari pertama tiba di Lombok Timur kami berbuka dengan udang hasil menjala sendiri.
Keesokannya berbuka dengan sayur sepat khas Pulau Moyo. Makan sahur terakhir pun di Pulau Moyo. Lalu, di hari terakhir menjelang lebaran ini ganti menu kerapu di Lombok Timur.
Kerapu bakar. Kulupan daun pepaya. Sambal terasi campur tomat dan lemon cui. Dengan menu berbuka seperti ini rasanya puasa janganlah cepat berlalu. Nikmat yang mana lagi yang bisa dinanti.
Di malam lebaran ini takbir terasa jauh –sayup-sayup tercampur bunyi hujan di pepohonan kelapa. Sampai menjelang tengah malam pun hujan belum berhenti. Tapi idulfitri mestinya tetap jadi.
Bangun subuh hujan masih renyai-renyai. Saya ke teras. Menyalakan speaker mini. Joget olahraga pagi. Disaksikan mata ikan kerapu sisa di atas pemanggangan. Saat berbuka kemarin, 12 orang di keluarga kami ternyata tidak sanggup menghabiskan setengahnya.
Suara takbir pagi mulai terdengar. Ufuk timur mulai merona menguning. Rintik hujan total berhenti. Payung tidak jadi terpakai. Seragam baru melangkah di tanah basah: ke masjid desa sebelah.
Salat idulfitrinya ternyata sama: dua rakaat. Urutannya juga sama: kutbahnya setelah salat.
Yang tidak sama adalah acara sungkeman keluarga. Awalnya kami berencana sungkeman di serambi depan masjid. Ingin mengulangi yang pernah kami lakukan di halaman masjid Syekh Abdul Qadir Jaelani di Baghdad.
Kami, saat itu, jadi tontotan jamaah di Baghdad. Sungkeman cara Jawa. Lalu dihampiri cucu turunan ke-27 Syekh Abdul Qadir Jailani. Diajak makan bersama di rumah beliau di kompleks masjid.
Tapi masjid di kampung ini penuh sesak. Jamaah wanitanya sama banyak dengan yang laki-laki. Halaman pun terpakai. Tidak mungkin sungkeman di situ. Pindah ke tempat kami menginap. Seadanya. Halaman basah. Tempat parkir basah. Lapangan basketnya juga basah.
Bagi cucu-cucu, yang penting bukan sungkemannya: tapi nenek mereka. Terutama isi tasnyi. Lebaran bisa di mana saja, tapi tas itu harus ada.(Dahlan Iskan)