25.4 C
Jakarta
Tuesday, April 22, 2025

Bazaar Danza

“Ini persis seperti di pasar Jerusalem,” ujar anak
muda itu. “Saya tidak merasa sedang di ibu kota Xinjiang,”
tambahnya. 

 Yang mengatakan itu adalah turis. Sepasang muda-mudi. Asal
Israel. Yang ke Xinjiang untuk pertama kali.

 “Anda seperti Jesus,” ujar saya padanya.

“Banyak yang mengatakan seperti itu,” jawabnya
tersipu. Sambil memeluk sang pacar. 

Wajahnya, rambutnya dan sosoknya mirip sekali dengan gambar
Jesus yang sering saya lihat. Apalagi anak muda ini juga sangat sederhana:
pakaiannya agak kumuh dan hanya pakai sandal butut.

Saya bertemu si ‘Jesus’ di satu tempat di Urumqi. Orang Tiongkok
menyebutnya Wulumuqi. Yakni tempat menarik yang turis pasti ke situ:
bazar. 

Pasar.

Sejak pasar itu direnovasi diberi nama International
Bazaar. 

Di pusat kota Urumqi.

Luasnya 12 km2. 

Itulah pasar yang sebenarnya sangat legendaris. Pun sejak zaman
jalur sutra sudah berstatus internasional. 

Di situlah pedagang dari Barat bertemu yang dari Timur. 

Seperti juga pasar sezaman. Yang ada di Kota Xi’an. Ibu kota
Dinasti Tang. 

Di situlah orang dari Timur (dong/东) bertukar barang
dengan orang Barat (xi/
西).

Itulah sejarahnya mengapa ‘barang’ dalam bahasa Mandarin disebut
‘dongxi’ /
东西.

Di bazaar ini saya tidak membeli satu pun dongxi. Terlalu banyak
dongxi yang dijual di situ. 

Baca Juga :  Ayo Isi Piringku dengan Pangan Lokal

Saya hanya melihat-lihat. Terutama melihat kecantikan
penjualnya. Saya seperti tidak lelah berjalan ke seluruh lorongnya. Banyak
sekali lima ‘i’ ada di pasar itu. 

Saya lihat semua penjualnya memang suku Uygur. Terlihat dari
wajah mereka. Dan banyaknya ‘i’ di para wanitanyi.

Rupanya ada kebijakan khusus. Orang suku mayoritas tidak boleh
berdagang di bazaar. Dengan demikian bazaar ini sangat Uygur. Mulai dari jenis
barang yang dijual, penataannya, ornamennya, lengkung-lengkung arsitekturnya
sampai ke pedagangnya.

Logat bahasa Mandarin mereka juga agak beda. Terpengaruh bahasa
Uygur. Yang masih lebih dominan mereka pakai dalam percakapan sehari-hari.

Di bazaar ini benar-benar sangat Uygur. 

‘Sangat Uygur’ itu juga bisa disebut ‘sangat mirip Timur
Tengah’.

Tidak heran bila si ‘Jesus’ tadi menilai bazaar Urumqi ini mirip
pasar di Jerusalem. 

Saya pernah ke Jerusalem tapi belum pernah ke pasarnya. Tapi
saya sudah ke pasar di Oman, di Abu Dhabi, dan di Dubai. Sangat mirip dengan
bazar di Urumqi. Atau sebaliknya. 

Intinya: berada di bazar ini seperti tidak sedang berada di
Tiongkok. Titik.

Saya lupa bertanya pada Fahri Hamzah. Apakah sempat ke bazar
internasional ini. Padahal ia bercerita juga baru kembali dari Xinjiang. Dan
menjadi begitu gemuk sepulang dari sana. 

Saya terlalu asyik bicara partai barunya. Lupa bicara
Urumqi-nya. 

Baca Juga :  Kisah Isra Mikraj, Penguji Keimanan Seorang Muslim

Bazar ini sudah bukan yang dulu. Yang semrawut.

Yang asli sudah dihancurkan. Tahun 2003 lalu. Dibangun yang
baru. Yang modern –dengan tetap mempertahankan kekhasan Uygur-nya.

Dua malam berturut-turut saya ke bazar ini. Bukan untuk mencari
dongxi, tapi kangen dengan suasananya.

Terutama suasana di lapangan terbuka di tengah-tengah bazaarnya.
Begitu banyak orang berkumpul di situ. Orang asli. Bercampur turis.

Mereka tidak hanya berkumpul. Mereka menari. Berjoget.
Dansa. 

Tari gaya Uygur. 

Dengan lagu Uygur. 

Agak mirip lagu Arab. Dengan tari yang juga agak mirip
zafin. 

Saya mencoba masuk gelanggang. Ikut menari. Tidak berani terlalu
dekat dengan yang banyak ‘i’ nya. Takut tidak konsentrasi. Agak susah tarinya.

Bukan main asyiknya mereka. Menikmati sekali dansa itu. Selama
lima jam. Dengan musik yang keras. 

Di seluruh Tiongkok orang Xinjiang-lah yang dikenal paling
pandai menari. Dan suka menari. Juga pandai menyanyi.

Alam yang keras membuat mereka banyak waktu. Juga perlu
kelembutan gaya.

Si ‘Jesus’ tampak terkagum-kagum menyaksikannya. Ia Yahudi
keturunan Maroko. Pacarnya Yahudi keturunan Rusia. Cantik. Tapi kecantikannya
terasa tenggelam di lautan ‘i’ bazaar itu.

Arena dansa seperti itu pasti tidak ada di Jerusalem. Bazaar
Xinjiang ternyata tidak sama –punya kelebihan dansanya.(Dahlan Iskan)

“Ini persis seperti di pasar Jerusalem,” ujar anak
muda itu. “Saya tidak merasa sedang di ibu kota Xinjiang,”
tambahnya. 

 Yang mengatakan itu adalah turis. Sepasang muda-mudi. Asal
Israel. Yang ke Xinjiang untuk pertama kali.

 “Anda seperti Jesus,” ujar saya padanya.

“Banyak yang mengatakan seperti itu,” jawabnya
tersipu. Sambil memeluk sang pacar. 

Wajahnya, rambutnya dan sosoknya mirip sekali dengan gambar
Jesus yang sering saya lihat. Apalagi anak muda ini juga sangat sederhana:
pakaiannya agak kumuh dan hanya pakai sandal butut.

Saya bertemu si ‘Jesus’ di satu tempat di Urumqi. Orang Tiongkok
menyebutnya Wulumuqi. Yakni tempat menarik yang turis pasti ke situ:
bazar. 

Pasar.

Sejak pasar itu direnovasi diberi nama International
Bazaar. 

Di pusat kota Urumqi.

Luasnya 12 km2. 

Itulah pasar yang sebenarnya sangat legendaris. Pun sejak zaman
jalur sutra sudah berstatus internasional. 

Di situlah pedagang dari Barat bertemu yang dari Timur. 

Seperti juga pasar sezaman. Yang ada di Kota Xi’an. Ibu kota
Dinasti Tang. 

Di situlah orang dari Timur (dong/东) bertukar barang
dengan orang Barat (xi/
西).

Itulah sejarahnya mengapa ‘barang’ dalam bahasa Mandarin disebut
‘dongxi’ /
东西.

Di bazaar ini saya tidak membeli satu pun dongxi. Terlalu banyak
dongxi yang dijual di situ. 

Baca Juga :  Ayo Isi Piringku dengan Pangan Lokal

Saya hanya melihat-lihat. Terutama melihat kecantikan
penjualnya. Saya seperti tidak lelah berjalan ke seluruh lorongnya. Banyak
sekali lima ‘i’ ada di pasar itu. 

Saya lihat semua penjualnya memang suku Uygur. Terlihat dari
wajah mereka. Dan banyaknya ‘i’ di para wanitanyi.

Rupanya ada kebijakan khusus. Orang suku mayoritas tidak boleh
berdagang di bazaar. Dengan demikian bazaar ini sangat Uygur. Mulai dari jenis
barang yang dijual, penataannya, ornamennya, lengkung-lengkung arsitekturnya
sampai ke pedagangnya.

Logat bahasa Mandarin mereka juga agak beda. Terpengaruh bahasa
Uygur. Yang masih lebih dominan mereka pakai dalam percakapan sehari-hari.

Di bazaar ini benar-benar sangat Uygur. 

‘Sangat Uygur’ itu juga bisa disebut ‘sangat mirip Timur
Tengah’.

Tidak heran bila si ‘Jesus’ tadi menilai bazaar Urumqi ini mirip
pasar di Jerusalem. 

Saya pernah ke Jerusalem tapi belum pernah ke pasarnya. Tapi
saya sudah ke pasar di Oman, di Abu Dhabi, dan di Dubai. Sangat mirip dengan
bazar di Urumqi. Atau sebaliknya. 

Intinya: berada di bazar ini seperti tidak sedang berada di
Tiongkok. Titik.

Saya lupa bertanya pada Fahri Hamzah. Apakah sempat ke bazar
internasional ini. Padahal ia bercerita juga baru kembali dari Xinjiang. Dan
menjadi begitu gemuk sepulang dari sana. 

Saya terlalu asyik bicara partai barunya. Lupa bicara
Urumqi-nya. 

Baca Juga :  Kisah Isra Mikraj, Penguji Keimanan Seorang Muslim

Bazar ini sudah bukan yang dulu. Yang semrawut.

Yang asli sudah dihancurkan. Tahun 2003 lalu. Dibangun yang
baru. Yang modern –dengan tetap mempertahankan kekhasan Uygur-nya.

Dua malam berturut-turut saya ke bazar ini. Bukan untuk mencari
dongxi, tapi kangen dengan suasananya.

Terutama suasana di lapangan terbuka di tengah-tengah bazaarnya.
Begitu banyak orang berkumpul di situ. Orang asli. Bercampur turis.

Mereka tidak hanya berkumpul. Mereka menari. Berjoget.
Dansa. 

Tari gaya Uygur. 

Dengan lagu Uygur. 

Agak mirip lagu Arab. Dengan tari yang juga agak mirip
zafin. 

Saya mencoba masuk gelanggang. Ikut menari. Tidak berani terlalu
dekat dengan yang banyak ‘i’ nya. Takut tidak konsentrasi. Agak susah tarinya.

Bukan main asyiknya mereka. Menikmati sekali dansa itu. Selama
lima jam. Dengan musik yang keras. 

Di seluruh Tiongkok orang Xinjiang-lah yang dikenal paling
pandai menari. Dan suka menari. Juga pandai menyanyi.

Alam yang keras membuat mereka banyak waktu. Juga perlu
kelembutan gaya.

Si ‘Jesus’ tampak terkagum-kagum menyaksikannya. Ia Yahudi
keturunan Maroko. Pacarnya Yahudi keturunan Rusia. Cantik. Tapi kecantikannya
terasa tenggelam di lautan ‘i’ bazaar itu.

Arena dansa seperti itu pasti tidak ada di Jerusalem. Bazaar
Xinjiang ternyata tidak sama –punya kelebihan dansanya.(Dahlan Iskan)

Terpopuler

Artikel Terbaru