27.3 C
Jakarta
Monday, April 29, 2024

Menang Nirkuasa

Dua hari lalu KPU akhirnya
mengumumkan hasil pemilu. Hasilnya: partai penguasa kalah. Hanya mendapat 115
kursi. Itu pun dicurigai sudah lewat penggelembungan suara. Hitungan pihak
oposisi partai itu hanya mendapat 97 kursi.Tapi partai penguasa itu tampaknya
akan tetap berkuasa: Partai Palang Pracharat. Partai ini memang berada di
belakang militer. Yang melakukan kudeta lima tahun lalu.

Yang dikudeta adalah perdana
menteri wanita: Yingluck Shinawatra. Adik kandung Thaksin Shinawatra, perdana
menteri sebelumnya.

Partai yang didukung keluarga
Shinawatra inilah yang menang: dapat 136 kursi. Yakni Partai Pheu Thai. Yang
menurut hitungan internal mendapat 137 kursi.

Pemenang ketiga ternyata juga
partai oposisi: Partai Future Forward. Di bawah pimpinan idola anak muda:
konglomerat muda, Thanathorn Juangroongruangkit. Mendapat 80 kursi.

Masih ada empat partai kecil lagi
yang akan bergabung ke oposisi. Menurut hitungan internal mereka oposisi akan
bisa menguasai 255 kursi. Dari 500 kursi DPR. Berarti cukup untuk menjadi
mayoritas. Dan bisa membentuk pemerintahan baru.

Bersejarah, kata mereka. 

Tumbanglah junta militer, pikir
mereka. 

Hiduplah demokrasi, teriak
mereka. 

Ternyata tidak. 

Hitungan mereka tidak sama dengan
hitungan KPU. 

Di Thailand cara menghitung hasil
pemilu juga sangat ruwet. Yakni sejak rezim militer mengubah sistem perolehan
kursi. Memang, di bawah kekuasaan militer itu, UU Pemilu diperbaharui. Di tahun
2016 lalu.

Kini partai yang gagal di semua
dapil pun bisa dapat kursi. Asal suara kecil-kecil di semua dapil itu
dikumpulkan di tingkat nasional. Begitu suara itu mencapai 30.000 partai
tersebut bisa dapat 1 kursi.

Baca Juga :  Kejutan Bukan

‘Harga’ satu kursi pun juga
diturunkan. Dari 71.000 suara menjadi hanya 30.000 suara.

Dengan cara itu kini ada 26
partai kecil yang bisa mendapat kursi di DPR.

Pihak oposisi sejak awal sudah
curiga. Cara baru ini dinilai sengaja diciptakan untuk menghadang partai besar.
Tujuannya: mempertahankan kekuasaan junta militer. Lewat pemilu yang seolah
demokratis.

Dan jangan lupa. 

Kalau pun gabungan oposisi bisa
mendapat 255 kursi, masih belum tentu juga bisa berkuasa.

Mengapa? Bukankah 255 kursi sudah
melebihi separo kursi di DPR?

Bukan. 

Sekarang, pemilihan perdana
menteri tidak hanya berlangsung di DPR. Harus juga dapat mengesahan DPD
(senat). Yang anggotanya 250 kursi.

Padahal yang mengusulkan calon
anggota senat itu pemerintah. Untuk dimintakan persetujuan raja.

Usulan pemerintah itu sudah
diajukan sebelum penobatan raja minggu lalu. Daftarnya sudah di tangan raja.
Mereka adalah utusan daerah, utusan suku dan utusan golongan. Yang dianggap
aspirasi mereka  tidak terwakili dalam partai-partai.

Di zaman Orde Baru saya pernah
diangkat jadi anggota MPR utusan golongan seperti itu. Saya tidak begitu tahu
prosesnya. Syaratnya banyak. Salah satunya harus terdaftar sebagai pemilih
dalam pemilu. Nama saya harus ada dalam DPT. 

Saya mengakui terus terang: saya
tidak terdaftar. Tidak pernah mendaftar. Tidak pernah ikut Pemilu.

Saya selalu ikut gerakan
golputnya mahasiswa waktu itu.

Baca Juga :  Nasib Ibu Hamil dan Menyusui di Tengah Pandemi Covid-19

Sudah telat. Waktu pendaftaran
pemilih sudah lama ditutup. 

Tapi tiba-tiba semua persyaratan
saya terpenuhi. Entah siapa yang mengurus. Jadilah saya anggota MPR.

Satu-satunya yang tidak pakai
jas. Saat mengikuti sidang umum MPR. 

Saya selalu memilih tempat duduk
paling belakang. Saya sadar hari itu saya hanya akan jadi stempel demokrasi.
Karena itu saya merasa tidak pantas ambil fasilitas mobil. Juga tidak ambil gaji.
Tapi juga tidak berani interupsi. Saat secara aklamasi Pak Harto ditetapkan
jadi presiden lagi.

Hanya saja di hari terakhir lima
tahun kemudian seseorang datang ke kantor saya. Masih di Jalan Prapanca
Jakarta. “Saya tahu Pak Dahlan tidak pernah ambil gaji. Ini gaji bapak
selama lima tahun. Kalau tidak diambil hangus. Ambil saja. Sumbangkan ke
pesantren atau masjid,” katanya.

Saya tahu maksud kedatangannya.
Menyerahkan uang itu. Minta tanda tangan saya. Dan ia minta bagian. 

Bayangan saya semua utusan daerah,
suku dan golongan di Thailand itu mirip dengan yang saya alami saat muda dulu.
Mudah sekali. 

Penguasa militer Thailand hanya
perlu 126 saja dari 250 yang diangkat itu.

Satu-dua hari ini raja sudah akan
mengeluarkan persetujuan daftar anggota senat itu. Berarti perdana menteri
Thailand yang sekarang terpilih lagi. Lalu bisa segera membentuk pemerintahan
baru.

Sambil berusaha memadamkan
gejolak oposisi. Yang merasa ‘menang pemilu tapi kalah di kuasa’. Yang bertekad
mulai bergerak minggu depan.(Dahlan Iskan)

Dua hari lalu KPU akhirnya
mengumumkan hasil pemilu. Hasilnya: partai penguasa kalah. Hanya mendapat 115
kursi. Itu pun dicurigai sudah lewat penggelembungan suara. Hitungan pihak
oposisi partai itu hanya mendapat 97 kursi.Tapi partai penguasa itu tampaknya
akan tetap berkuasa: Partai Palang Pracharat. Partai ini memang berada di
belakang militer. Yang melakukan kudeta lima tahun lalu.

Yang dikudeta adalah perdana
menteri wanita: Yingluck Shinawatra. Adik kandung Thaksin Shinawatra, perdana
menteri sebelumnya.

Partai yang didukung keluarga
Shinawatra inilah yang menang: dapat 136 kursi. Yakni Partai Pheu Thai. Yang
menurut hitungan internal mendapat 137 kursi.

Pemenang ketiga ternyata juga
partai oposisi: Partai Future Forward. Di bawah pimpinan idola anak muda:
konglomerat muda, Thanathorn Juangroongruangkit. Mendapat 80 kursi.

Masih ada empat partai kecil lagi
yang akan bergabung ke oposisi. Menurut hitungan internal mereka oposisi akan
bisa menguasai 255 kursi. Dari 500 kursi DPR. Berarti cukup untuk menjadi
mayoritas. Dan bisa membentuk pemerintahan baru.

Bersejarah, kata mereka. 

Tumbanglah junta militer, pikir
mereka. 

Hiduplah demokrasi, teriak
mereka. 

Ternyata tidak. 

Hitungan mereka tidak sama dengan
hitungan KPU. 

Di Thailand cara menghitung hasil
pemilu juga sangat ruwet. Yakni sejak rezim militer mengubah sistem perolehan
kursi. Memang, di bawah kekuasaan militer itu, UU Pemilu diperbaharui. Di tahun
2016 lalu.

Kini partai yang gagal di semua
dapil pun bisa dapat kursi. Asal suara kecil-kecil di semua dapil itu
dikumpulkan di tingkat nasional. Begitu suara itu mencapai 30.000 partai
tersebut bisa dapat 1 kursi.

Baca Juga :  Kejutan Bukan

‘Harga’ satu kursi pun juga
diturunkan. Dari 71.000 suara menjadi hanya 30.000 suara.

Dengan cara itu kini ada 26
partai kecil yang bisa mendapat kursi di DPR.

Pihak oposisi sejak awal sudah
curiga. Cara baru ini dinilai sengaja diciptakan untuk menghadang partai besar.
Tujuannya: mempertahankan kekuasaan junta militer. Lewat pemilu yang seolah
demokratis.

Dan jangan lupa. 

Kalau pun gabungan oposisi bisa
mendapat 255 kursi, masih belum tentu juga bisa berkuasa.

Mengapa? Bukankah 255 kursi sudah
melebihi separo kursi di DPR?

Bukan. 

Sekarang, pemilihan perdana
menteri tidak hanya berlangsung di DPR. Harus juga dapat mengesahan DPD
(senat). Yang anggotanya 250 kursi.

Padahal yang mengusulkan calon
anggota senat itu pemerintah. Untuk dimintakan persetujuan raja.

Usulan pemerintah itu sudah
diajukan sebelum penobatan raja minggu lalu. Daftarnya sudah di tangan raja.
Mereka adalah utusan daerah, utusan suku dan utusan golongan. Yang dianggap
aspirasi mereka  tidak terwakili dalam partai-partai.

Di zaman Orde Baru saya pernah
diangkat jadi anggota MPR utusan golongan seperti itu. Saya tidak begitu tahu
prosesnya. Syaratnya banyak. Salah satunya harus terdaftar sebagai pemilih
dalam pemilu. Nama saya harus ada dalam DPT. 

Saya mengakui terus terang: saya
tidak terdaftar. Tidak pernah mendaftar. Tidak pernah ikut Pemilu.

Saya selalu ikut gerakan
golputnya mahasiswa waktu itu.

Baca Juga :  Nasib Ibu Hamil dan Menyusui di Tengah Pandemi Covid-19

Sudah telat. Waktu pendaftaran
pemilih sudah lama ditutup. 

Tapi tiba-tiba semua persyaratan
saya terpenuhi. Entah siapa yang mengurus. Jadilah saya anggota MPR.

Satu-satunya yang tidak pakai
jas. Saat mengikuti sidang umum MPR. 

Saya selalu memilih tempat duduk
paling belakang. Saya sadar hari itu saya hanya akan jadi stempel demokrasi.
Karena itu saya merasa tidak pantas ambil fasilitas mobil. Juga tidak ambil gaji.
Tapi juga tidak berani interupsi. Saat secara aklamasi Pak Harto ditetapkan
jadi presiden lagi.

Hanya saja di hari terakhir lima
tahun kemudian seseorang datang ke kantor saya. Masih di Jalan Prapanca
Jakarta. “Saya tahu Pak Dahlan tidak pernah ambil gaji. Ini gaji bapak
selama lima tahun. Kalau tidak diambil hangus. Ambil saja. Sumbangkan ke
pesantren atau masjid,” katanya.

Saya tahu maksud kedatangannya.
Menyerahkan uang itu. Minta tanda tangan saya. Dan ia minta bagian. 

Bayangan saya semua utusan daerah,
suku dan golongan di Thailand itu mirip dengan yang saya alami saat muda dulu.
Mudah sekali. 

Penguasa militer Thailand hanya
perlu 126 saja dari 250 yang diangkat itu.

Satu-dua hari ini raja sudah akan
mengeluarkan persetujuan daftar anggota senat itu. Berarti perdana menteri
Thailand yang sekarang terpilih lagi. Lalu bisa segera membentuk pemerintahan
baru.

Sambil berusaha memadamkan
gejolak oposisi. Yang merasa ‘menang pemilu tapi kalah di kuasa’. Yang bertekad
mulai bergerak minggu depan.(Dahlan Iskan)

Terpopuler

Artikel Terbaru