33.8 C
Jakarta
Monday, April 29, 2024

Kejutan Bukan

Ini kejutan. Juga bukan. Tiba-tiba saja
Presiden Donald Trump mengunggah tweet. Selasa lalu: segera mengenakan tarif tambahan.
Dari 10 persen ke 25 persen. Untuk barang Tiongkok. Yang masuk Amerika. Senilai
200 miliar dolar.

Bukan kejutan karena sudah biasa Trump
belok tidak ngasih tanda di tikungan seperti itu. Kejutan
karena tweet itu hanya sehari sebelum keberangkatan Wakil Perdana Menteri
Tiongkok, Liu He, ke Washington. Untuk perundingan terakhir. Menjelang
disepakatinya pengakhiran perang dagang kedua negara.

Lalu untuk apa berangkat? Bukankah bunyi
tweet itu sama dengan tidak ada gunanya perundingan?

Liu He ternyata memang tidak jadi
berangkat hari itu. Lalu dipikir ulang. Tidak boleh ikut emosi. Akhirnya
berangkat juga. Tertunda satu hari. Toh masih sempat. Jadwal perundingannya
dimulai hari Kamis ini. Sampai Jumat besok. Pas saja. Dari bandara langsung ke
meja perundingan.

Hanya saja muncul pertanyaan: jadi atau
tidak. Perundingan kali ini final. Semua sepakat. Seperti yang rumusannya sudah
dibuat dalam 12 kali perundingan selama ini.

Tidak jadi pun tidak apa-apa. Liu He
sudah beli tiket pulang. Jumat malam. Ia sengaja memperpendek kedatangannya
kali ini. Berangkat lebih lambat. Pulang lebih cepat. Sebagai respons atas
tweet Trump itu.

Baca Juga :  Kisah Isra Mikraj, Penguji Keimanan Seorang Muslim

Siapa tahu Jumat pagi ada tweet baru
dari Trump. Apa pun isinya. Tiongkok sudah lebih siap menerima kenyataan baru:
tidak bisa melunakkan hati Trump.

Bocoran yang mengalir ke media: Amerika
menghendaki Tiongkok mengubah beberapa UU negaranya. Tiongkok berkeras tidak
mau.

Amerika menganggap Tiongkok tidak serius
dalam melakukan perubahan. Agar negara itu lebih terbuka. Terutama di bidang
perdagangan, investasi, teknologi, hak paten dan moneter. Tiongkok sudah
menyanggupi. Hanya saja bertahap. Agar tidak mengguncang stabilitas negara.

Bocoran lain: Amerika menghendaki tidak
ada lagi subsidi negara untuk BUMN Tiongkok. Terutama yang terkait dengan
program Made In China 2025. Yang, kasarnya, apa pun sudah bisa
dibuat Tiongkok di tahun itu. Sudah tidak perlu lagi Amerika.

Untuk program itu Tiongkok memang
memberi biaya ‘berapa pun’ kepada BUMN yang ditugasi.

Kalau Trump memang patriot cinta Amerika
ia pantas menghadang program Made In China 2025. Itulah
tonggak baru Tiongkok. Dalam mencapai tahapan baru: mengalahkan Amerika di
tahun 2030.

Apakah kenaikan tarif terbaru ini bisa
menggagalkan Made In China 2025?

Rasanya tidak.

Harus ada lagi seribu jalan dan seribu
sabuk untuk menghambat Tiongkok. Mulai dari Huawei sampai pertukaran guru
besar. Soal Huawei Anda sudah tahu. Soal pertukaran profesor kini lagi
hangat-hangatnya: begitu banyak profesor Tiongkok yang kini tidak bisa dapat
visa Amerika.

Baca Juga :  Kisah Wartawan Istana, Ani Yudhoyono dan Jus Kacang Hijau

Masih ada sabuk yang lebih menentukan:
Taiwan. Mungkin saja Tiongkok bisa dipancing untuk menyerbu Taiwan. Lalu
Amerika punya kekuatan hukum untuk menyerang Tiongkok.

Kapal perang Amerika terus saja dikirim.
Untuk melewati selat Taiwan. Berbagai keberatan dari Tiongkok diabaikan. Tetap
saja kapal perang itu melintas selat Taiwan.

Mulai Jumat besok ganti Tiongkok
mengadakan latihan perang. Dengan menggunakan senjata hidup. Menembak beneran.
Dengan peluru beneran. Di laut dekat Taipei.

Kawasan itu sudah dinyatakan ‘no sail
zone’. Tidak boleh ada kapal melintas. Apalagi perahu. Selama seminggu.

UU Dasar Tiongkok memang menyebut Taiwan
adalah salah satu propinsinya. Yang harus direbut. Kalau perlu dengan
kekerasan.

Berbagai usaha sudah dilakukan. Selama
69 tahun terakhir. Mulai dengan cara berdagang sampai ke penggerogotan diplomasi.
Hanya dengan kekerasan yang belum. Tahun depan adalah tahun ke 70 Tiongkok
menahan diri.

Amerika tampaknya tinggal tunggu kapan
Tiongkok terpancing. Yang akan menguras kekuatannya. Agar tidak jadi
mengalahkan Amerika.

Pertanyaannya: bagaimana kalau Tiongkok
yang menang?(Dahlan Iskan)

Ini kejutan. Juga bukan. Tiba-tiba saja
Presiden Donald Trump mengunggah tweet. Selasa lalu: segera mengenakan tarif tambahan.
Dari 10 persen ke 25 persen. Untuk barang Tiongkok. Yang masuk Amerika. Senilai
200 miliar dolar.

Bukan kejutan karena sudah biasa Trump
belok tidak ngasih tanda di tikungan seperti itu. Kejutan
karena tweet itu hanya sehari sebelum keberangkatan Wakil Perdana Menteri
Tiongkok, Liu He, ke Washington. Untuk perundingan terakhir. Menjelang
disepakatinya pengakhiran perang dagang kedua negara.

Lalu untuk apa berangkat? Bukankah bunyi
tweet itu sama dengan tidak ada gunanya perundingan?

Liu He ternyata memang tidak jadi
berangkat hari itu. Lalu dipikir ulang. Tidak boleh ikut emosi. Akhirnya
berangkat juga. Tertunda satu hari. Toh masih sempat. Jadwal perundingannya
dimulai hari Kamis ini. Sampai Jumat besok. Pas saja. Dari bandara langsung ke
meja perundingan.

Hanya saja muncul pertanyaan: jadi atau
tidak. Perundingan kali ini final. Semua sepakat. Seperti yang rumusannya sudah
dibuat dalam 12 kali perundingan selama ini.

Tidak jadi pun tidak apa-apa. Liu He
sudah beli tiket pulang. Jumat malam. Ia sengaja memperpendek kedatangannya
kali ini. Berangkat lebih lambat. Pulang lebih cepat. Sebagai respons atas
tweet Trump itu.

Baca Juga :  Kisah Isra Mikraj, Penguji Keimanan Seorang Muslim

Siapa tahu Jumat pagi ada tweet baru
dari Trump. Apa pun isinya. Tiongkok sudah lebih siap menerima kenyataan baru:
tidak bisa melunakkan hati Trump.

Bocoran yang mengalir ke media: Amerika
menghendaki Tiongkok mengubah beberapa UU negaranya. Tiongkok berkeras tidak
mau.

Amerika menganggap Tiongkok tidak serius
dalam melakukan perubahan. Agar negara itu lebih terbuka. Terutama di bidang
perdagangan, investasi, teknologi, hak paten dan moneter. Tiongkok sudah
menyanggupi. Hanya saja bertahap. Agar tidak mengguncang stabilitas negara.

Bocoran lain: Amerika menghendaki tidak
ada lagi subsidi negara untuk BUMN Tiongkok. Terutama yang terkait dengan
program Made In China 2025. Yang, kasarnya, apa pun sudah bisa
dibuat Tiongkok di tahun itu. Sudah tidak perlu lagi Amerika.

Untuk program itu Tiongkok memang
memberi biaya ‘berapa pun’ kepada BUMN yang ditugasi.

Kalau Trump memang patriot cinta Amerika
ia pantas menghadang program Made In China 2025. Itulah
tonggak baru Tiongkok. Dalam mencapai tahapan baru: mengalahkan Amerika di
tahun 2030.

Apakah kenaikan tarif terbaru ini bisa
menggagalkan Made In China 2025?

Rasanya tidak.

Harus ada lagi seribu jalan dan seribu
sabuk untuk menghambat Tiongkok. Mulai dari Huawei sampai pertukaran guru
besar. Soal Huawei Anda sudah tahu. Soal pertukaran profesor kini lagi
hangat-hangatnya: begitu banyak profesor Tiongkok yang kini tidak bisa dapat
visa Amerika.

Baca Juga :  Kisah Wartawan Istana, Ani Yudhoyono dan Jus Kacang Hijau

Masih ada sabuk yang lebih menentukan:
Taiwan. Mungkin saja Tiongkok bisa dipancing untuk menyerbu Taiwan. Lalu
Amerika punya kekuatan hukum untuk menyerang Tiongkok.

Kapal perang Amerika terus saja dikirim.
Untuk melewati selat Taiwan. Berbagai keberatan dari Tiongkok diabaikan. Tetap
saja kapal perang itu melintas selat Taiwan.

Mulai Jumat besok ganti Tiongkok
mengadakan latihan perang. Dengan menggunakan senjata hidup. Menembak beneran.
Dengan peluru beneran. Di laut dekat Taipei.

Kawasan itu sudah dinyatakan ‘no sail
zone’. Tidak boleh ada kapal melintas. Apalagi perahu. Selama seminggu.

UU Dasar Tiongkok memang menyebut Taiwan
adalah salah satu propinsinya. Yang harus direbut. Kalau perlu dengan
kekerasan.

Berbagai usaha sudah dilakukan. Selama
69 tahun terakhir. Mulai dengan cara berdagang sampai ke penggerogotan diplomasi.
Hanya dengan kekerasan yang belum. Tahun depan adalah tahun ke 70 Tiongkok
menahan diri.

Amerika tampaknya tinggal tunggu kapan
Tiongkok terpancing. Yang akan menguras kekuatannya. Agar tidak jadi
mengalahkan Amerika.

Pertanyaannya: bagaimana kalau Tiongkok
yang menang?(Dahlan Iskan)

Terpopuler

Artikel Terbaru