29.1 C
Jakarta
Saturday, November 23, 2024

Gegara Pekerjaan, Risiko Bunuh Diri Dokter dan Wartawan Tinggi

KIAN tahun, perilaku bunuh diri yang dipicu depresi semakin mengkhawatirkan.
Bahkan, menurut World Health Organization, Indonesia akan mengalami ledakan
depresi pada 2020. Jika dibiarkan, itu akan memicu tingginya angka bunuh diri.

Hal tersebut diungkapkan dr
Brihastami Sawitri SpKJ dan dr Nalini Muhdi SpKJ (K) dalam workshop Surabaya
Suicide Update 2019 di FK Universitas Airlangga kemarin (6/9).

Saat ini saja, rata-rata dalam
sebulan Brihastami menerima sepuluh pasien yang mengaku punya keinginan
mengakhiri hidup. Jumlah itu didapatkan dari tiga rumah sakit tempatnya
berpraktik.

“Tiga sampai lima di antaranya bahkan pernah melakukan percobaan
bunuh diri,” kata dia.

Untuk laki-laki dan perempuan,
hampir sama jumlahnya. Hanya, perempuan masih lebih bisa diselamatkan ketimbang
laki-laki.

Perempuan yang berusaha bunuh diri
memilih menyayat nadi atau minum racun dosis kecil sehingga bisa diselamatkan.
Tapi, kalau laki-laki, mereka melompat dari gedung tinggi, menabrakkan diri,
atau minum racun dalam dosis besar. Kasus bunuh diri yang diketahui media massa
hanya sebagian kecil.

“Jadi, ini seperti fenomena gunung es. Yang diketahui hanya di atas
permukaan, sedangkan yang di bawah permukaan masih banyak lagi,” ujarnya.

Menurut Nalini, mayoritas
penyintas bunuh diri di Kota Surabaya merupakan usia remaja akhir dan usia
dewasa awal, yakni 15–29 tahun. Pemicu terbesar adalah stressor di pekerjaan.
Misalnya, deadline yang ketat, atasan yang menekan, atau lingkungan kerja yang
tidak bersahabat. Ide bunuh diri tak serta-merta muncul. Mereka lebih dulu
depresi.

Baca Juga :  Djaduk Butet

“Ada yang cepat depresi, ada pula yang lama depresinya,” lanjut dia.

Biasanya keinginan bunuh diri
muncul setelah mereka tiga bulan depresi tanpa mendapat perawatan memadai. Depresi diawali dengan adanya tekanan yang
bisa menimbulkan burnout atau kelelahan kerja. Itu terjadi bila seseorang
bekerja terus-menerus tanpa ada keseimbangan hidup. Padahal, setiap pekerja
butuh libur dan istirahat cukup.

Pekerjaan yang berisiko membuat
pekerjanya bunuh diri, menurut Nalini, adalah dokter dan wartawan. “dua pekerjaan itu memiliki waktu
bekerja yang tidak menentu. Mereka harus siap kapan saja ketika dibutuhkan,”
ungkapnya.

Selain itu, mereka yang bekerja
di malam hari rentan depresi dan bunuh diri. “Orang yang bekerja malam hari rentan bunuh diri. Sebab, kurang
tidur di malam hari bisa membuat stres,” kata dia.

Nalini mengatakan, bunuh diri
dapat dicegah dengan cara merawat diri sendiri. Seseorang perlu membiasakan
untuk mengalihkan perhatian dari sakit emosional seperti sedih, marah, merasa
gagal, dan frustrasi. ”Perlu dibiasakan berpikiran positif,” tuturnya.

Baca Juga :  Hakikat Berhari Raya

Seseorang juga harus terhubung
secara sosial agar dapat mencegah kesepian dan keputusasaan. Melibatkan diri
dalam komunitas kelompok atau kegiatan sosial yang positif menjadi salah satu
yang bisa dilakukan.

“Apabila memiliki tekanan pikiran, jangan ragu untuk menceritakannya
kepada orang lain,” kata Nalini. Selain itu, meluangkan waktu untuk melakukan
hal yang disenangi dapat merelaksasi pikiran. ”Jika cara tersebut masih belum
manjur, bisa menghubungi psikiater atau psikolog,” terang dia. (JPC/KPC)

PERINGATAN KECENDERUNGAN BUNUH DIRI

·        
Menunjukkan keputusasaan

·        
Kemarahan yang tak terkendali

·        
Bertindak impulsif atau terlibat dalam aktivitas
berisiko

·        
Merasa terjebak seperti tidak ada jalan keluar

·        
Penyalahgunaan alkohol atau narkoba

·        
Menjadi lebih pendiam dan tertutup

·        
Menarik diri dari teman, keluarga, dan
masyarakat

·        
Kecemasan, agitasi, tidak bisa tidur atau tidur
sepanjang waktu

·        
Mood yang berubah secara dramatis

KIAN tahun, perilaku bunuh diri yang dipicu depresi semakin mengkhawatirkan.
Bahkan, menurut World Health Organization, Indonesia akan mengalami ledakan
depresi pada 2020. Jika dibiarkan, itu akan memicu tingginya angka bunuh diri.

Hal tersebut diungkapkan dr
Brihastami Sawitri SpKJ dan dr Nalini Muhdi SpKJ (K) dalam workshop Surabaya
Suicide Update 2019 di FK Universitas Airlangga kemarin (6/9).

Saat ini saja, rata-rata dalam
sebulan Brihastami menerima sepuluh pasien yang mengaku punya keinginan
mengakhiri hidup. Jumlah itu didapatkan dari tiga rumah sakit tempatnya
berpraktik.

“Tiga sampai lima di antaranya bahkan pernah melakukan percobaan
bunuh diri,” kata dia.

Untuk laki-laki dan perempuan,
hampir sama jumlahnya. Hanya, perempuan masih lebih bisa diselamatkan ketimbang
laki-laki.

Perempuan yang berusaha bunuh diri
memilih menyayat nadi atau minum racun dosis kecil sehingga bisa diselamatkan.
Tapi, kalau laki-laki, mereka melompat dari gedung tinggi, menabrakkan diri,
atau minum racun dalam dosis besar. Kasus bunuh diri yang diketahui media massa
hanya sebagian kecil.

“Jadi, ini seperti fenomena gunung es. Yang diketahui hanya di atas
permukaan, sedangkan yang di bawah permukaan masih banyak lagi,” ujarnya.

Menurut Nalini, mayoritas
penyintas bunuh diri di Kota Surabaya merupakan usia remaja akhir dan usia
dewasa awal, yakni 15–29 tahun. Pemicu terbesar adalah stressor di pekerjaan.
Misalnya, deadline yang ketat, atasan yang menekan, atau lingkungan kerja yang
tidak bersahabat. Ide bunuh diri tak serta-merta muncul. Mereka lebih dulu
depresi.

Baca Juga :  Djaduk Butet

“Ada yang cepat depresi, ada pula yang lama depresinya,” lanjut dia.

Biasanya keinginan bunuh diri
muncul setelah mereka tiga bulan depresi tanpa mendapat perawatan memadai. Depresi diawali dengan adanya tekanan yang
bisa menimbulkan burnout atau kelelahan kerja. Itu terjadi bila seseorang
bekerja terus-menerus tanpa ada keseimbangan hidup. Padahal, setiap pekerja
butuh libur dan istirahat cukup.

Pekerjaan yang berisiko membuat
pekerjanya bunuh diri, menurut Nalini, adalah dokter dan wartawan. “dua pekerjaan itu memiliki waktu
bekerja yang tidak menentu. Mereka harus siap kapan saja ketika dibutuhkan,”
ungkapnya.

Selain itu, mereka yang bekerja
di malam hari rentan depresi dan bunuh diri. “Orang yang bekerja malam hari rentan bunuh diri. Sebab, kurang
tidur di malam hari bisa membuat stres,” kata dia.

Nalini mengatakan, bunuh diri
dapat dicegah dengan cara merawat diri sendiri. Seseorang perlu membiasakan
untuk mengalihkan perhatian dari sakit emosional seperti sedih, marah, merasa
gagal, dan frustrasi. ”Perlu dibiasakan berpikiran positif,” tuturnya.

Baca Juga :  Hakikat Berhari Raya

Seseorang juga harus terhubung
secara sosial agar dapat mencegah kesepian dan keputusasaan. Melibatkan diri
dalam komunitas kelompok atau kegiatan sosial yang positif menjadi salah satu
yang bisa dilakukan.

“Apabila memiliki tekanan pikiran, jangan ragu untuk menceritakannya
kepada orang lain,” kata Nalini. Selain itu, meluangkan waktu untuk melakukan
hal yang disenangi dapat merelaksasi pikiran. ”Jika cara tersebut masih belum
manjur, bisa menghubungi psikiater atau psikolog,” terang dia. (JPC/KPC)

PERINGATAN KECENDERUNGAN BUNUH DIRI

·        
Menunjukkan keputusasaan

·        
Kemarahan yang tak terkendali

·        
Bertindak impulsif atau terlibat dalam aktivitas
berisiko

·        
Merasa terjebak seperti tidak ada jalan keluar

·        
Penyalahgunaan alkohol atau narkoba

·        
Menjadi lebih pendiam dan tertutup

·        
Menarik diri dari teman, keluarga, dan
masyarakat

·        
Kecemasan, agitasi, tidak bisa tidur atau tidur
sepanjang waktu

·        
Mood yang berubah secara dramatis

Terpopuler

Artikel Terbaru