MALAM Rabu tengah pekan lalu, sepasang pengantin berusaha masuk ke jalur kotak-kotak (labirin) yang dibuat dari tali. Kedua mempelai masuk dari dua pintu yang berseberangan dan harus bisa bertemu di tengah-tengah.
Selama prosesi, pasangan pengantin ini ditemani tiga orang pantul (orang bertopeng) yang salah satunya bertugas sebagai penunjuk jalan. Dua Pantul lainnya sebagai pengiring yang melantunkan pantun-pantun, serta nasihat dalam bungkusan komedi.
Setelah melalui labirin dan beberapa kali salah jalan, kedua mempelai akhirnya bertemu di tengah. Selanjutnya, pasangan pengantin ini kemudian berjalan beriringan menuju pelaminan untuk menyambut tamu undangan dan warga yang datang.
Itulah sedikit gambaran pagelaran tradisi Jalan Liuk, ritual perkawinan janda dan duda yang digelar oleh Dewan Kesenian Balangan (DKB) di Desa Juai, Kecamatan Juai, Kabupaten Balangan, Kalimantan Selatan, Selasa (6/8/2024) malam.
Hampir semua warga setempat, bahkan warga dari beberapa kampung lainnya, hadir menyaksikan kearifan lokal yang masih dilestarikan dan dipertahankan di kecamatan yang terletak sekitar 250 kilometer utara Banjarmasin.
Tradisi Jalan Liuk ini biasanya dilaksanakan pada malam hari, sesudah digelarnya resepsi kedua mempelai di siang hari. Selain ditemani Pantul, saat acara Jalan Liuk dilaksanakan juga harus diiringi musik gamelan dari awal sampai akhir.
Jalan Liuk ini bukan hanya sekedar tradisi hiburan, tapi juga mengandung pembelajaran serta makna dibaliknya. Secara harfiah, jalan liuk artinya jalan yang berkelok-kelok.
Tradisi ini sebenarnya adalah nasihat bagi pasangan pengantin, bahwa dalam mengarungi kehidupan rumah tangga nantinya pasti akan mengalami berbagai masalah.
Kehidupan rumah tangga tidak akan hanya mengalami jalan yang lurus atau senang semata, melainkan juga kesusahan atau jalan yang berkelok (baliuk).
Jalur kotak-kotak yang menyerupai labirin itu biasanya dibuat dari tali Bilaran Tapah, juga ada obor yang berfungsi sebagai penerangan jalan. Bilaran sendiri merupakan tanaman merambat yang kerap digunakan oleh warga lokal untuk mengusir makhluk halus.
Konon tradisi ini sudah ada sekitar 60 tahun yang lalu. Hingga kini, tradisi Jalan Liuk masih dipertahankan dan tetap digelar meski jarang terdengar. Pegiat tradisi Jalan Liuk asal Juai, Rahmatullah mengatakan, tradisi ini mulanya digelar lantaran keterbatasan sang mempelai untuk menggelar resepsi besar.
“Jadi supaya tetap ada acara setelah akad nikah, maka digelarnya acara seperti ini,” ujarnya.
Tokoh lain, Yunizi mengatakan, tradisi ini umumnya digelar selalu pada malam hari. “Alasannya karena malu. Status mempelai yang merupakan janda dan duda tidak mau siang hari. Makanya selalu malam,” tandasnya.
Bakal Diusulkan ke UNESCO
Pagelaran Jalan Liuk malam itu merupakan salah satu upaya Dewan Kesenian Balangan untuk menjaga kelestariannya.
Saking uniknya tradisi ini ditambah sarat akan nilai budaya dan pesan moral, Jalan Liuk rencananya akan diusulkan ke UNESCO sebagai warisan budaya non benda.
“Mudahan tradisi ini bisa terpelihara, karena banyak pesan moral untuk menghadapi kehidupan berumah tangga,” kata ketua Dewan Kesenian Balangan, Fahmi Wahid.
Fahmi Wahid mengatakan, pihaknya bakal menyiapkan segala sesuatunya. Termasuk blue print dan berbagai dokumen pendukung agar niatan tersebut bisa terealisasi.
Bak gayung bersambut, rencana tersebut disambut baik pemerintah daerah. Sekertaris Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Balangan, M Diah Fadli menegaskan kesiapan pihaknya untuk memfasilitasi.
“Kami siap memfasilitasi kelengkapan dokumen pelaksana. Kalau memang mau mendatangkan tim dari pusat, kita siap buatkan profil kegiatan dan sebagainya,” tegasnya.
Diah Fadli juga menambahkan, pihaknya juga berencana memasukkan materi tradisi Jalan Liuk ini kedalam kurikulum yang diajarkan di mata pelajaran muatan lokal di sekolah-sekolah.
“Kebetulan ada banyak guru seni yang bisa mengkolaborasikan nata pelajaran muatan lokal dengan tradisi ini. Karena dalam kurikulum merdeka, mata pelajaran muatan lokal ini sifatnya wajib,” ujarnya.
Disinggung mengenai wacana untuk menerapkan Peraturan Daerah (Perda) pelestarian kebudayaan khusus, Diah Fadli mengaku masih belum bisa berbicara banyak. Kendati begitu, ia menegaskan siap untuk memperjuangkan sesuai kapasitas, agar tradisi seperti ini diperdakan.
“Dalam pengajuan perda, harus ada rancangan yang berlandaskan kajian-kajian. Tentu ini sangat memungkinkan, selama ada kolaborasi. Intinya kami siap memperjuangkan agar tradisi ini diperdakan,” tutupnya. (jpg)