28.9 C
Jakarta
Sunday, April 28, 2024

Penggemar Rilisan Fisik Terbesar Bukan Kalangan Tua

JAKARTA-CD terbaru Tulus hingga piringan hitam mendiang Broery Marantika
ada. Kaset pertama Karpet, yang disebut-sebut sebagai rekaman indie pertama
band Surabaya, juga ada.

“Koleksinya
memang dari era 1960-an. Kebanyakan band Indonesia yang lama-lama. Ada penyanyi
Asia Tenggara, seperti dari Singapura,” kata Erlangga Irawan.

Angga, sapaan
Erlangga, adalah pemilik Cempaka Music Store. Didirikan pada 2015, toko yang
bermarkas di Ketintang, Surabaya, itu didominasi rilisan fisik bergenre indie
rock.

’’Dari
pertama bikin Cempaka, emang lebih condong ke genre itu. Sebab, yang metal kan
sudah banyak,’’ paparnya. Namun, dia tidak menutup mata pada musik lain.

Di awal buka,
Angga melego banyak koleksi pribadi. ’’Setelah dipikir, sayang banyak yang
dilepas waktu itu,’’ kenangnya.

Namun,
seiring berjalannya waktu, dia mulai berburu. Dari kolektor, distributor lawas,
pasar loak, hingga toko album yang mengobral koleksinya lantaran akan tutup.
’’Kalau ngeloak, memang harus teliti. Yang sudah lama koleksi pasti ngerti yang
bagus seperti apa,’’ lanjutnya.

Dia juga
’’disuplai’’ temannya yang tinggal di luar negeri. Selain rilisan fisik
preloved, Cempaka Music Store menjual koleksi yang masih tersegel. Baru. ’’Ada
rilisan lama, misal kaset tahun 2000-an, tapi sealed. Ada yang memang kaset
baru. Biasanya dari label independen,’’ paparnya.

Pria yang
pernah tinggal di Jakarta itu menyatakan, kaset baru umumnya merupakan rilisan
eksklusif. Hanya dicetak dalam jumlah terbatas –bukan lagi produksi masal.

Walau banyak
tergeser layanan streaming, penjualan
rilisan fisik masih bagus. Bahkan, kata Angga, tren mengoleksi kaset pernah
mencapai puncak pada 2015–2017.

’’Saya
bertahan koleksi dan jual rilisan fisik karena passion dan percaya. Percaya
kalau masih banyak kolektor yang mencari,’’ lanjutnya.

Baca Juga :  Perjuangan Melaney Ricardo untuk Bisa Sembuh dari Covid-19

Di masa
pandemi Covid-19, misalnya, penjualan daring naik. ’’Toko (offline) sendiri
sudah tutup 2–3 bulan. Hanya buka by appointment,’’
paparnya.

Selama
pandemi, Angga mengaku mampu menjual rata-rata total 50 CD, kaset, serta vinyl.
Namun, perolehan itu masih jauh jika dibandingkan dengan Record Store Day
(RSD).

’’Hari raya’’
para kolektor dan pedagang rilisan fisik tersebut mampu menggenjot pendapatan
hingga 10 kali lipat. ’’Selisihnya jauh. Soalnya, koleksi ’ajaib’ dan langka
keluar semua. Toko yang biasanya online aja ikut melapak,’’ lanjutnya.

Penggemar
kaset, CD, maupun piringan hitam pun bukan cuma orang tua. ’’Dari data
Instagram toko, yang paling sering lihat kategori umur 18–35 tahun,’’ terang
Angga.

Cakupan
’’selera’’ pelanggan Cempaka Music Store pun beragam. Album pop oriental
1960-an asal Singapura juga punya peminat. ’’Kalau yang anti-mainstream seperti
itu, biasanya produser musik atau DJ. Lagu tadi dipakai untuk sampling karena
sound-nya enggak umum,’’ ungkapnya.

Dian Wahyunianto
termasuk yang setia pada rilisan fisik. Dia memulai koleksinya dari album
thrash metal, terutama Metallica.

’’Tapi,
karena thrash besar di era 1980-an, akhirnya mblakrak ke musik di tahun-tahun
itu juga,’’ papar Ian, sapaan Dian.

Karena itu,
nyaris seluruh koleksinya adalah kaset secondhand. Dia menjelaskan, kondisi
kaset yang dijual umumnya baik. ’’Kalau online, berdasar pengalaman dan
observasi, bakul (penjual) pasti menjual yang mulus. Beda kasus kalau hunting
di loakan,’’ ungkap kolektor asal Kediri itu.

Baca Juga :  Ini Ocehan Lia Ladysta yang Bikin Syahrini Meradang

Ian
menyatakan, momen terbagus buat berburu kaset adalah di RSD. Seluruh koleksi
–termasuk rilisan eksklusif nan langka dengan stok terbatas– ’’keluar’’ dari
sarangnya.

Demi
mendukung hobinya, Ian juga rela menyiapkan bujet ekstra buat pemutar kaset.
Dari tape compo beralih ke tape deck. Alasannya, dengan tape deck, kualitas
suara yang dihasilkan lebih detail. ’’Tape compo memang ada speaker dan
amplifier juga. Versatile, tapi akhirnya output kaset gak maksimal,’’
lanjutnya.

Adapun Rian
Ekky Pradipta mengoleksi kaset dan vinyl karena kebiasaan. Sejak kecil, dia
selalu dibelikan kaset oleh sang ayah yang juga seorang kolektor.

”Dulu 2010
belinya cuma Rp 500 ribu, sekarang udah Rp 15 juta. Dan, pernah ditawar Rp 25
juta, tapi nggak akan saya jual karena cuma punya satu,” ungkapnya. Jadi, kata
Rian, selain untuk koleksi, piringan hitam juga bisa menjadi investasi.

Menyadari
harga piringan hitam yang tak murah di era industri 4.0 ini, dia merawat ribuan
koleksinya itu dengan apik. Di tempatkan di satu ruangan khusus di dalam
rumahnya.

”Harus yang
ber-AC. Kalau kena panas, takutnya meletot,” ucapnya.

Selain karya
milik orang lain, Rian menuturkan bahwa ada satu album karya grup musiknya yang
dibuat dalam format piringan hitam. Yakni, album berjudul Hidup Lebih Indah
rilisan 2014 dan telah diproduksi sebanyak 500 keping.

Rencananya,
tahun ini D’Masiv juga bakal mengeluarkan double album yang akan diproduksi
dalam bentuk piringan hitam juga. ”Isinya lagu-lagu hits D’Masiv tapi
dinyanyikan secara live. Direkam di London,”
tutur Rian.

 

JAKARTA-CD terbaru Tulus hingga piringan hitam mendiang Broery Marantika
ada. Kaset pertama Karpet, yang disebut-sebut sebagai rekaman indie pertama
band Surabaya, juga ada.

“Koleksinya
memang dari era 1960-an. Kebanyakan band Indonesia yang lama-lama. Ada penyanyi
Asia Tenggara, seperti dari Singapura,” kata Erlangga Irawan.

Angga, sapaan
Erlangga, adalah pemilik Cempaka Music Store. Didirikan pada 2015, toko yang
bermarkas di Ketintang, Surabaya, itu didominasi rilisan fisik bergenre indie
rock.

’’Dari
pertama bikin Cempaka, emang lebih condong ke genre itu. Sebab, yang metal kan
sudah banyak,’’ paparnya. Namun, dia tidak menutup mata pada musik lain.

Di awal buka,
Angga melego banyak koleksi pribadi. ’’Setelah dipikir, sayang banyak yang
dilepas waktu itu,’’ kenangnya.

Namun,
seiring berjalannya waktu, dia mulai berburu. Dari kolektor, distributor lawas,
pasar loak, hingga toko album yang mengobral koleksinya lantaran akan tutup.
’’Kalau ngeloak, memang harus teliti. Yang sudah lama koleksi pasti ngerti yang
bagus seperti apa,’’ lanjutnya.

Dia juga
’’disuplai’’ temannya yang tinggal di luar negeri. Selain rilisan fisik
preloved, Cempaka Music Store menjual koleksi yang masih tersegel. Baru. ’’Ada
rilisan lama, misal kaset tahun 2000-an, tapi sealed. Ada yang memang kaset
baru. Biasanya dari label independen,’’ paparnya.

Pria yang
pernah tinggal di Jakarta itu menyatakan, kaset baru umumnya merupakan rilisan
eksklusif. Hanya dicetak dalam jumlah terbatas –bukan lagi produksi masal.

Walau banyak
tergeser layanan streaming, penjualan
rilisan fisik masih bagus. Bahkan, kata Angga, tren mengoleksi kaset pernah
mencapai puncak pada 2015–2017.

’’Saya
bertahan koleksi dan jual rilisan fisik karena passion dan percaya. Percaya
kalau masih banyak kolektor yang mencari,’’ lanjutnya.

Baca Juga :  Perjuangan Melaney Ricardo untuk Bisa Sembuh dari Covid-19

Di masa
pandemi Covid-19, misalnya, penjualan daring naik. ’’Toko (offline) sendiri
sudah tutup 2–3 bulan. Hanya buka by appointment,’’
paparnya.

Selama
pandemi, Angga mengaku mampu menjual rata-rata total 50 CD, kaset, serta vinyl.
Namun, perolehan itu masih jauh jika dibandingkan dengan Record Store Day
(RSD).

’’Hari raya’’
para kolektor dan pedagang rilisan fisik tersebut mampu menggenjot pendapatan
hingga 10 kali lipat. ’’Selisihnya jauh. Soalnya, koleksi ’ajaib’ dan langka
keluar semua. Toko yang biasanya online aja ikut melapak,’’ lanjutnya.

Penggemar
kaset, CD, maupun piringan hitam pun bukan cuma orang tua. ’’Dari data
Instagram toko, yang paling sering lihat kategori umur 18–35 tahun,’’ terang
Angga.

Cakupan
’’selera’’ pelanggan Cempaka Music Store pun beragam. Album pop oriental
1960-an asal Singapura juga punya peminat. ’’Kalau yang anti-mainstream seperti
itu, biasanya produser musik atau DJ. Lagu tadi dipakai untuk sampling karena
sound-nya enggak umum,’’ ungkapnya.

Dian Wahyunianto
termasuk yang setia pada rilisan fisik. Dia memulai koleksinya dari album
thrash metal, terutama Metallica.

’’Tapi,
karena thrash besar di era 1980-an, akhirnya mblakrak ke musik di tahun-tahun
itu juga,’’ papar Ian, sapaan Dian.

Karena itu,
nyaris seluruh koleksinya adalah kaset secondhand. Dia menjelaskan, kondisi
kaset yang dijual umumnya baik. ’’Kalau online, berdasar pengalaman dan
observasi, bakul (penjual) pasti menjual yang mulus. Beda kasus kalau hunting
di loakan,’’ ungkap kolektor asal Kediri itu.

Baca Juga :  Ini Ocehan Lia Ladysta yang Bikin Syahrini Meradang

Ian
menyatakan, momen terbagus buat berburu kaset adalah di RSD. Seluruh koleksi
–termasuk rilisan eksklusif nan langka dengan stok terbatas– ’’keluar’’ dari
sarangnya.

Demi
mendukung hobinya, Ian juga rela menyiapkan bujet ekstra buat pemutar kaset.
Dari tape compo beralih ke tape deck. Alasannya, dengan tape deck, kualitas
suara yang dihasilkan lebih detail. ’’Tape compo memang ada speaker dan
amplifier juga. Versatile, tapi akhirnya output kaset gak maksimal,’’
lanjutnya.

Adapun Rian
Ekky Pradipta mengoleksi kaset dan vinyl karena kebiasaan. Sejak kecil, dia
selalu dibelikan kaset oleh sang ayah yang juga seorang kolektor.

”Dulu 2010
belinya cuma Rp 500 ribu, sekarang udah Rp 15 juta. Dan, pernah ditawar Rp 25
juta, tapi nggak akan saya jual karena cuma punya satu,” ungkapnya. Jadi, kata
Rian, selain untuk koleksi, piringan hitam juga bisa menjadi investasi.

Menyadari
harga piringan hitam yang tak murah di era industri 4.0 ini, dia merawat ribuan
koleksinya itu dengan apik. Di tempatkan di satu ruangan khusus di dalam
rumahnya.

”Harus yang
ber-AC. Kalau kena panas, takutnya meletot,” ucapnya.

Selain karya
milik orang lain, Rian menuturkan bahwa ada satu album karya grup musiknya yang
dibuat dalam format piringan hitam. Yakni, album berjudul Hidup Lebih Indah
rilisan 2014 dan telah diproduksi sebanyak 500 keping.

Rencananya,
tahun ini D’Masiv juga bakal mengeluarkan double album yang akan diproduksi
dalam bentuk piringan hitam juga. ”Isinya lagu-lagu hits D’Masiv tapi
dinyanyikan secara live. Direkam di London,”
tutur Rian.

 

Terpopuler

Artikel Terbaru